Jika kita merasa telah alim, dan sudah banyak ilmu yang kita peroleh,
apa arti ilmu kita di hadapan ilmu iblis. Ilmu apa yang tidak dia
ketahui? Sayangnya, ia tidak mengamalkan ilmunya dan tidak tulus bersama
Allah. Allah tidak menerimanya. Kalaupun ilmu kita diterima, apakah
kita satu-satunya orang berilmu?
Apa arti ilmu kita di hadapan orang-orang sebelum kita? Imam Ahmad ibn Hanbal hafal ribuan hadits, begitu pula Imam al-Hakim.
Bagaimana kita akan tertipu dengan beberapa hadits yang kita hafal, namun tidak kita amalkan?
Imam Syafi’i hafal al-Qur’an di usia tujuh tahun. Ia juga hafal kitab hadits al-Muwaththa’, dengan seluruh sanadnya pada usia sepuluh tahun. Guru-gurunya, terutama Imam Malik, mendudukkannya di atas kursi tempat mereka berfatwa, ketika usianya belum genap dua belas tahun. Sampai-sampai karena tubuhnya yang kurus, ia harus minum pada siang hari bulan Ramadan, karena tidak kuat dan belum wajib berpuasa. Jadi, ia mengajar sambil minum di atas kursinya itu.
Bagaimana ilmu kita dibandingkan ilmu mereka?
Dengan karunia Allah yang diberikan kepada mereka?
Soal dedikasi? Kita juga tidak perlu tertipu (dengan amal kita).
Jika kita berjuang, kita berjuang dengan perut kenyang. Padahal orang-orang sebelum kita berjuang dengan perut lapar. Mereka tidak memiliki apa-apa selain sebiji kurma, atau bahkan separuhnya. Setelah itu mereka tidak mempunyai apa-apa lagi.
Apabila orang beriman mau menelaah kehidupan orang-orang saleh zaman dulu, ia pasti tidak akan tertipu dengan amalnya. Ia akan melihat hakikat penyembahan kepada Allah, sehingga ia terpacu untuk terus meningkatkan amalnya dengan tetap menyadari bahwa amalnya itu tidak lain adalah anugerah Allah.
----
Habib Ali ibn Zainal Abidin Abdurrahman Al-Jufry
Apa arti ilmu kita di hadapan orang-orang sebelum kita? Imam Ahmad ibn Hanbal hafal ribuan hadits, begitu pula Imam al-Hakim.
Bagaimana kita akan tertipu dengan beberapa hadits yang kita hafal, namun tidak kita amalkan?
Imam Syafi’i hafal al-Qur’an di usia tujuh tahun. Ia juga hafal kitab hadits al-Muwaththa’, dengan seluruh sanadnya pada usia sepuluh tahun. Guru-gurunya, terutama Imam Malik, mendudukkannya di atas kursi tempat mereka berfatwa, ketika usianya belum genap dua belas tahun. Sampai-sampai karena tubuhnya yang kurus, ia harus minum pada siang hari bulan Ramadan, karena tidak kuat dan belum wajib berpuasa. Jadi, ia mengajar sambil minum di atas kursinya itu.
Bagaimana ilmu kita dibandingkan ilmu mereka?
Dengan karunia Allah yang diberikan kepada mereka?
Soal dedikasi? Kita juga tidak perlu tertipu (dengan amal kita).
Jika kita berjuang, kita berjuang dengan perut kenyang. Padahal orang-orang sebelum kita berjuang dengan perut lapar. Mereka tidak memiliki apa-apa selain sebiji kurma, atau bahkan separuhnya. Setelah itu mereka tidak mempunyai apa-apa lagi.
Apabila orang beriman mau menelaah kehidupan orang-orang saleh zaman dulu, ia pasti tidak akan tertipu dengan amalnya. Ia akan melihat hakikat penyembahan kepada Allah, sehingga ia terpacu untuk terus meningkatkan amalnya dengan tetap menyadari bahwa amalnya itu tidak lain adalah anugerah Allah.
----
Habib Ali ibn Zainal Abidin Abdurrahman Al-Jufry
Tidak ada komentar:
Posting Komentar