Terima kasih atas kunjungan anda !!!! KAMI SIAP MENYAMPAIKAN AMANAH ANDA KEPADA YANG BERHAK

Rabu, 20 November 2013

Surjan, Pakaian Muslim Rancangan Para Wali






Tak banyak yang mengetahui bahwa surjan, baju khas Jawa, merupakan representasi dari baju Muslim sesungguhnya. Banyak yang menganggap surjan sekadar tradisi adat istiadat. Padahal, baju tersebut menyimpan ajaran Sunan Kalijaga.

Pendapat ini disampaikan Wakil Ketua PWNU DIY, M. Jadul Maula, dalam dialog “Menggali Tradisi Menemukan Jati Diri” yang diadakan di Teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Rabu (20/11).

Selanjutnya, pria yang akrab disapa Kang Jadul itu pun menjelaskan filosofi yang terdapat pada baju surjan. Baju Surjan memiliki lima kancing baju, tiga terdapat di bagian depan dan tertutup, dua sisanya terdapat di bagian leher. Lima kancing tersebut melambangkan rukun Islam yang berjumlah lima.

Tiga kancing di depan dan tertutup melambangkan rukun Islam yang tiga, yaitu Syahadat, Sholat, dan Puasa. Mengapa tertutup? Karena seseorang tidak butuh dilihat orang lain ketika menjalankan tiga hal tersebut.

“Itulah etika untuk menjalankan ibadah,” tambahnya.

Sedangkan dua rukun Islam sisanya, yakni Zakat dan Haji dilambangkan pada dua kancing yang terdapat di leher dan terlihat. Artinya, berbeda dengan Syahadat, Sholat, dan Puasa, dua ibadah ini justru perlu dipublikasikan kepada orang lain. Misalnya, ketika akan dan usai melaksanakan ibadah haji, tradisi orang Islam Indonesia adalah mengadakan tasyakuran atau walimatus safar.

Ketika baju Surjan yang memiliki lima kancing yang melambangkan rukun Islam tersebut digabungkan dengan Blangkon yang dikenakan di kepala, maka jadilah ia memiliki filosofi rukun Iman yang berjumlah enam.

“Artinya, martabat kita ditegakkan dengan rukun iman yang enam itu,” tegas Pengasuh Pesantren Kaliopak Piyungan, Bantul tersebut.

Kata Surjan sendiri berakar dari bahasa Arab, yakni Siraajan yang artinya lampu atau dalam bahasa Jawa disebut Pepadhang.

“Baju Surjan itu dirancang oleh para Wali untuk menegakkan rukun Islam dan Iman,” tandasnya.

Kang Jadul mengingatkan agar umat Islam tak hanya melihat surjan sebagai tradisi yang lepas dari ajaran wali. Dia mengaku heran, di kalangan umat Islam Tanah Air selama ini malah beredar pemahaman bahwa baju muslim adalah baju koko. Padahal, baju yang sering diasosiasikan sebagai baju taqwa ini merupakan baju buatan China.

Antara Ilmuwan dan Al 'Ulama

Sering kita jumpai pertanyaan dari beberapa orang yang ingin mengetahui apa perbedaan dan persamaan makna dari istilah Ilmuwan dengan Ulama. Apakah Ilmuwan hanya sebutan khusus untuk para ahli ilmu alam (eksakta) sedangkan Ulama sebutan untuk para ahli Ilmu Agama (baca:Dinul Islam)? Apakah telah terjadi berbagai pergeseran atau penyempitan makna, sehingga terjadi dikotomi keduanya? Adapula yang menganggap bahwa al ulama hanyalah orang-orang yang hanya mengurusi rutinitas ibadah pokok (makhdo) dalam rukun Islam dengan menafikan masalah lainya. Sehingga mereka menganggap para ulama tidak punya ilmu dan kemampuan dalam mengentaskan masalah pembangunan peradaban dan perkembangan iptek. Bukankah dimensi ibadah itu tidak hanya terbatas masalah rukun Islam yang lima perkara saja.
Untuk mencari kejelasannya, berikut ini kami ulas permasalahannya. Mudah-mudahan dapat membantu kita menyibak makna yang sebenarnya. Kita mencoba dengan menggali akar katanya, lalu menelusuri darimana munculnya.
1.  Definsi  Ilmuwan
Definisi Ilmuwan ialah orang yang bekerja dan mendalami dengan tekun dan sungguh-sungguh dalam bidang ilmu pengetahuan. Para ilmuwan bisa bekerja dalam bidang ilmu pengetahuan yang berbeda. Di sini diberikan beberapa contoh: Mereka yang belajar fisika ialah fisikawan. Yang belajar kimia ialah kimiawan. Yang belajar biologi ialah biolog. (sumber: id.wiktionary.org).
Dari definsi di atas jelas bahwa arahnya hanya kepada para ahli ilmu alam (eksakta) yang merupakan ayat kauniyah Allah. Akar kata ilmuwan dari dua suku kata Ilmu (serapan dari bahasa Arab) yang sudah mengindonesia, lalu ditambah dengan akhiran –wan yang menunjukkan penegasan sifat awalannya. Sebagai contoh pembanding, yaitu kata dermawan yang artinya orang yang suka berderma, membantu dengan harta atau bersifat sosial. Lantas, siapakah yang mempopulerkannya dan kapan munculnya istilah ilmuwan, wallahu’alam- secara jelas belum kami temui penjelasannya. Namun yang jelas kosa kata ini sudah menjadi kata baku dalam bahasa Indonesia.
2. Definisi Ulama
Secara bahasa, ulama berasal dari kata kerja dasar ‘alima (telah mengetahui); berubah menjadi kata benda pelaku ‘alimun (orang yang mengetahui – mufrad/singular) dan ulama (jamak taksir/irregular plural). Berdasarkan istilah, pengertian ulama dapat dirujuk pada al-Quran dan hadis. Yang sangat masyhur dalam hal ini adalah : انما يخشى الله من عباده العلماء (sesungguhnya yang paling takut kepada Allah diantara hambaNya adalah ulama- Qs.Fathir 28).
Nash yang jelas tentang lafadz al Ulama dalam al Quran di atas adalah berbentuk ism makrifat (khusus-dapat dikenali secara jelas) bukan berbentuk umum (ism nakirah), yaitu ulama. Artinya al Ulama adalah hamba Allah yang takut melanggar perintah Allah dan takut melalaikan perintah-Nya dikarenakan dengan ilmunya ia sangat mengenal keagungan Allah. Ia bertahuid (mengesakan) Allah dalam rububiyah, uluhiyah dan asma wa sifat. Mereka sangat berhati-hati dalam ucapan dan tindakan karena memiliki sifat wara, khowasy dan ’arif. Dalam sebuah hadits riwayat Muslim bersumber dari Anas yang membayankan atau menjelaskan terhadap al Qur-an Surah Fathir ayat 28 di atas dinyatakan bahwa :
العلماء اُمناء الله على خلقهِ
(“al ‘Ulama adalah pemegang amanah Allah atas makhluqnya”).
Jelas bahwa kata al Ulama bukan sekedar istilah dan kedudukan sosial buatan manusia. Bukan pula orang yang didudukan di lembaga bentukan pemerintahan sekular dengan subsidi dana. Namun kosa kata al Ulama berasal dari Kalamullah dan memiliki arti dan kedudukan sangat terhormat disisi Rabb. Hanya Allah yang mengetahui hakikat sebenarnya siapa dari hambaNya yang termasuk kategori al Ulama. Maka tidak berhak seseorang memproklamirkan dirinya sebagai al Ulama.
Secara tersirat kata rusul (ism nakirah) dapat berarti Rosulullah dan bisa pula al Ulama. Sedangkan arrusul (ism makrifat) artinya khusus ditujukan kepada Rosulullah. Berarti al Ulama memiliki tanggung jawab besar berupa amanah risalah yang telah dibawa para rasul untuk dijaga kemurniaannya, didakwahkan dan diamalkan. Kemudian ada juga satu lagi hadits dari sumber Anas, riwayat Muslim yang menyatakan :
العلماءُ امناء الرّسل مالن يٌخلط السلطانَ ودخل الدنياَ اذا خلط السلطان ودخل الدنيا فقد خان الرسل فاهذروهُ
(Al ‘Ulama pemegang amanah para rosul, selama ia tidak menggauli penguasa / ambisi kekuasaan, dan tidak cinta berat terhadap dunia / materialis, jika ia menjilat penguasa / ambisi kekuasaan, dan cinta berat terhadap dunia / materialis maka sungguh ia telah menghianati para rosul, maka berhati-hatilah kepadanya”).
Hadits ini menjelaskan al Qur-an Surah Assyura ayat 13 :
شرع لكم من الدين ما وصى به نوحآ والذي اوحينا اِليك وما وصّينا به ابراهيم وموسى وعيسى انْ اقيموا الدّين ولا تتفرّقوا فيه كبر على المشركين ما تدعوهم اليهِ الله يجتبى اليه من يشاء ويهدى من ينيب ـ
“Disyariatkan atas  kamu ad Din, (yaitu) apa yang Kami  wasiatkan dengannya kepada Nuh, dan apa-apa yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad),  dan apa-apa yang Kami wasiatkan dengannya kepada Ibrahim dan Musa dan Isa, bahwa tegakkanlah ad Din dan janganlah berpecah-belah didalamnya. Berat rasanya bagi orang-orang musyrik seruan kamu atas mereka, Allah menetapkan dengan seruan itu siapa yang dikehendakiNya, dan menunjuki dengannya orang-orang yang kembali (bertaubat)”.

Ciri lain seorang al ulama adalah memiliki kepekaan terhadap penderitaan ummat lalu mengupayakan jalan keluarnya (Qs.9:128). Ia umumnya dibangkitkan Allah di tengah-tengah qoum yang ummi (buta huruf, masyarakat biasa/kecil : Qs.62:2).

Kesimpulan
Al Ulama adalah kedudukan mulia dari Allah kepada hamba pilihan yang memahami ayat-ayat Allah berupa Ilmu kauniyah yang dibentangkan Allah di alam semesta dan Ilmu Syariah yang tertulis dalam kitabNya. Maka untuk mendapatkan definisi yang benar harus dikembalikan yang membuat istilah al Ulama (dalam hal ini Allah). Sedangkan Ilmuwan istilah yang muncul di masa mutaakhir, maka harus dikembalikan kepada pembuatnya (manusia). Dengan mencoba memahami sumber asal yang benar, insyaAllah akan menghasilkan keluaran yang benar pula.
Untuk lebih jelasnya coba perhatikan kembali dalilnya sebagai berikut:
  1. Dalam Qs. 35:27-28 dan al Hadits yang menjelaskannya, diperoleh ciri dari Al Ulama, yaitu yang memahami Ilmu Alam Semesta. Selain itu rasa takutnya kepada Allah sebagai faktor utama keulamaan. Ia dapat mencapai derajat demikian dikarenakan pengenalannya kepada Allah melalui ilmu sehingga muncul sifat dan perilaku taqwa.
  2. Dalam Qs. 42:13 dan Al Hadits yang menjelaskannya, diperoleh makna bahwa Ulama adalah yang memahami Ilmu Syariat Dinullah.
  3. Dalam Qs.62: 2, Ulama dibangkitkan Allah ditengah-tengah qoum yang ummi (buta alqur-an; masyarakat biasa/kecil), bukan orang yang sengaja hijrah ke kota besar untuk sekadar menyibukkan berceramah memenuhi panggilan tanpa bisa memprogram ummat.
  4. Dalam Qs.9: 128, Al Ulama memiliki kepekaan, kepedulian terhadap penderitaan ummat serta mampu memberikan solusi yang tepat atas dasar sunnah.
  5. Dalam Qs. 24 : 37, Al Ulama adalah lelaki yang mengutakan zikrullah (mendakwahkan Islam) diatas urusan bisnis dan pekerjaan pribadi demi mendapatkan keridhoanNya.
  6. Dalam Qs. 2 : 207-208, Al Ulama bercirikan pribadi-pribadi tangguh yang telah melakukan transaksi kepada Allah atas dirinya secara lahir-bathin serta hartanya. Kemudian berupaya untuk mengamalkan Dinul Islam secara kaffah dengan mengajak para ulama sedunia membangun kesepakatan dan kerjasama menuju hal itu. Ia bukanlah orang yang menjual Islam untuk kepentingan pribadi berupa materi, pujian, dan kedudukan.
Seorang ‘ilmuwan’ dapat masuk dalam golongan al ulama selama memilki aqidah tauhid yang lurus dan beramal sholeh dengan ilmu yang dibukakan Allah untuknya. Bahkan diantara para Nabi dan Rosulullah selain menyeru ummatnya kepada tauhid, merekapun dibekali Allah dengan ilmu ‘alam dan teknologi. Beberapa contohnya dari golongan Nabi dan Rosul antara lain pada Nabi Sholih, as., seorang ahli arsitektur bangunan yang kemudian diangkat Allah sebagai rosulNya untuk qoum Tsamud. Lalu Rosulullah Sulaiman, as., dengan istana megahnya dengan taman kaca, serta Nabi Dzulkarnain dengan tembok raksasanya. Kemudian dari kalangan sahabat Rosulullah Muhammad, SAW., kita mengenal Umar bin Khottob seorang ahli ilmu falaq yang mempelopori pembuatan almanak Qomariyah (Hijriyah). Ada pula dari kalangan ulama tempo dulu seperti Ibnu Sina, seorang ‘alim yang juga ahli dalam kedokteran dan sebagainya.
Adapun manusia yang hanya faham dan ahli mengenai ilmu eksakta (alam) tapi jahil mengenai Al Quran, maka belumlah termasuk al ulama. Bisa jadi ia hanyalah ilmuwan, cendikia atau intelektual dari golongan orang-orang kafir atau penganut sekularisme (munafiq), dan dari golongan moderat (muqtasidah) yang selalu mengambil jalan yang aman. Para penganut faham moderat ini, umumnya orang yang memiliki kedudukan di tengah masyarakat umum (kafir dan mukmin) sehingga takut menanggung resiko ujian dan hilang kedudukan apabila menyatakan dirinya muslim yang kaffah. Sebaliknya seorang ulama bisa jadi ia memahami ilmu ‘alam, eksakta (ilmuwan) sekaligus faham ilmu syariat dinullah, atau salah satunya saja, namun beraqidah lurus dan beramal sholih.
Maka, titik temu antara Ilmuwan dengan Al Ulama berpangkal pada masalah aqidah yang benar sebagai syarat pokok keulamaan. Ulama dan Ilmuwan bisa jadi satu kesatuan, dan ulama jelas bukan orang bodoh yang tidak faham urusan duniawiyah. Ilmu yang mereka miliki hanyalah sebagai jalan untuk mengenal Allah dan mendapat ridho-Nya, bukan ilmu pengetahuan sebagai tujuan akhir hidupnya. Kemudian dengan ilmunya ia mengajak manusia bertauhid kepada Allah subhanahuwata’ala bukan dengan ilmunya menyesatkan dirinya dan ummat, Naudzubillahi min dzalik. Wallahu’alam.

SUNNY vs SYI'AH

Syi'ah dan Sunny jelas sangat berbeda dalam prinsip Aqidahnya dan juga tata cara pelaksaan ibadahnya.

Jadi tidak mungkin Sunny dan Syi'ah itu bisa saling membenarkan, Syi'ah tidak mungkin membenarkan Sunny yang mengakui Khalifah pertama adalah Sayyidina Abu Bakar, berlanjut Sayyidina Umar, Utsaman dan Ali Rodyiyallahu 'anhum.

Demikian juga Sunny tidak akan mampu meyakini bahwa Sayyidina Abu Bakar dan Umar adalah para perampok seperti yang dituduhkan Syi'ah, apalagi sampai berani meyakini bahwa Sayyidatina 'Aisyah adalah pelacur, bahkan membayangkan saja tidak akan berani.

Tetapi, ketika perbedaan tajam itu akan menjadikan suasana NKRI tercerai berai, dan itulah yang akan menggembirakan musuh musuh Islam, maka sebaiknya dengan toleransi yang tinggi membiarkan perbedaan itu berjalan apa adanya, dan masing masing menggarap ladang dakwahnya dengan sopan santun, dan damai.

Selama ini kita telah beribadah dan belajar agama dengan tenang, tanpa ada yang melarang, tanpa ada ancaman.

Kedamaian itulah yang sekarang dicoba untuk diguncang, media yang mengatas namakan islam sangat penting menjalankan provokasi ini, berbagai issu politik dan sekterian dalam sehari selalu baru.

Kini mereka sedang gencar gencarnya mengidentikkan Tashowwuf adalah Syi'ah itu juga. Biar para awam kehilangan energi ilahiyyah dari para salik setelah dibunuhnya.

arrahmah.com, voa islam.com, nahi mungkar.com dll adalah sekian situs yang tidak punya misi visi lain kecuali menghasut dan meng adu domba Muslimin Nusantara.

Mereka tidak rela jika Ummat Islam Indonesia dengan berbagai variasi kebudayaannya menampilkan kerukunan dan keindahannya, mereka hanya ingin Indonesia ini menjadi miliknya, kemudian akan dibagi bagi kepada bolo kurowonya menurut seleranya.

Tidakkah kita belajar dari Negara negara Arab disana? mereka menginginkan hanya ideologinya saja yang boleh ada, lalu bagaimana akibatnya setelah mereka meminjam istilah Jihad dan Islam untuk memperkosa peradaban Ummat Manusia?

Yang ada dan akan berlanjut entah sampai kapan adalah perang, perang, perang, dan setiap detiknya akan ada nyawa yang melayang sia sia.

Sementara para penjual senjata berpesta pora, mereka dengan mudah membeli para pelacur yang juga korban perang itu sendiri dan wanita muslimah yang terhimpit keadaan atau korban perkosaan yang kemudian berputus asa.

Andai anda adalah manusia cerdas, baik itu dari kalangan Sunny, Syi'ah dan salafi, bahkan Ummat yang lain, anda akan menutup kemungkinan bangsa Indonesia perang saudara, karena sebejat bejat negara kita yang memang sangat memalukan ini, akan lebih baik tenang beribadah daripada kita sholat saja harus ada yang mengawalnya.

Minggu, 10 November 2013

Meluruskan Sejarah 'Islam' Indonesia

Peringatan Hari Pahlawan 10 November mengingatkan kita pada teriakan “Allahu Akbar, Allahu Akbar…” Bung Tomo, arek-arek Suroboyo, dan pasukan non reguler muslim Hizbullah-Sabilillah. Peristiwa ini didahului dengan fatwa Resolusi Jihad dari Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari yang menyerukan agar umat Islam melakukan jihad fi sabilillah atau perang di jalan Allah untuk mengusir penjajah yang ingin menguasai sebuah “darus salam” yang baru saja diproklamirkan.

Buku-buku sejarah yang dicetak di era Orde Baru hampir tidak pernah menyebut Resolusi Jihad itu sebagai bagian dari sejarah. Buku babon Sejarah Nasional Indonesia juga tidak menyebut kata Resolusi Jihad. Dengan model penulisan konvensional yang terfokus pada peran tokoh-tokoh heroik, buku sejarah enam jilid itu juga tidak menyebut nama KH Hasyim Asy’ari, padahal telah ditetapkan sebagai salah seorang Pahlawan Nasional di era Orde Lama.

Yang lebih membuat warga Nahdliyin tersenyum kecut, dalam buku Memoar Bung Tomo juga tidak menyebutkan nama KH Hasyim Asy’ari. Padahal berbagai dokumen foto dan kesaksian para sesepuh menyebutkan kedekatan seorang Bung Tomo, sosok yang paling populer dalam sejarah Hari Pahlawan, dengan seorang guru agama dan ulama besar asal Jombang itu, guru dari Bung Karno, Jenderal Sudirman dan para pejuang kemerdekaan.

Lagi-lagi, buku Memoar Bung Tomo itu juga dicetak di era Orde Baru yang nyaris selama 32 tahun berkuasa tidak memberikan ruang bagi NU untuk berkiprah, bahkan dalam catatan sejarah sekalipun. Posisi kedekatan NU dengan Soekarno di satu sisi, pilihan NU menjadi partai politik di sisi lain, serta gaya politik “tangan dingin” Orde Baru benar-benar memukul mundur NU dalam proses “pembangunan” Indonesia.

Baiklah, itu masa lalu, dan saat ini NU sudah semakin banyak ditulis dalam buku sejarah baik dalam buku-buku yang diterbitkan oleh NU sendiri maupun buku-buku sejarah “resmi”. Namun salah satu akibat dari penyingkiran sejarah NU adalah tercerabutnya Islam dan umat Islam dalam pusaran sejarah. Menyingkirkan NU dalam pusaran sejarah sama saja menggiring Indonesia menjadi negara sekuler dalam pengertiannya yang paling sederhana, terpisah dari agama (Islam).

Resolusi Jihad dan gema takbir arek-arek Suroboyo dan para santri dari berbagai pondok pesantren dalam revolusi berdarah di Surabaya 1945 mengingatkan kembali kepada serangkaian perjuangan kaum santri baik jiwa dan raga dalam mendirikan negara ini. Resolusi Jihad dan gema takbir mengingatkan bahwa pendirian negara bernama Indonesia ini dan upaya mempertahankannya dari segala bentuk penjajahan merupakan manifestasi dari ajaran agama Islam.

Peringatan Resolusi Jihad dan Hari Pahlawan sedianya mengingatkan bahwa spirit dan nilai-nilai agama harus tetap menjiwai proses penataan negara Indonesia yang baru saja dirombak besar-besaran sejak berakhirnya Orde Baru. Semangat dan keberanian para ulama untuk mendirikan negara dengan mengintegrasikan Islam dalam satu produk kebudayaan adiluhung bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945 dan merebut kembali Indonesia dari tangan penjajah harus diwariskan dari generasi ke generasi.

Rabu, 06 November 2013

Gus Dur Sudah Mengucapkan : Mantan Ajudannya, Sutarman Jadi Kapolri



Suatu pagi di tahun 2005 media cetak nasional memberitakan perihal mutasi perwira tinggi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia, sesuatu yang normal dan rutin terjadi sebagai bentuk penyegaran dan proses regenerasi.

Sudah menjadi kebiasaan rutin Gus Dur untuk mendengarkan perkembangan terkini dari berita-berita yang dibacakan oleh ajudan atau santrinya di pagi hari, sambil melayani para tamu yang berdatangan di rumahnya, di bilangan Ciganjur Jakarta Selatan.

Salah satu perwira yang mendapat promosi adalah mantan ajudan Gus Dur ketika menjadi presiden, Kombes Pol Sutarman yang naik pangkat menjadi Brigjend Pol dan menjabat sebagai Kapolda Kepulauan Riau. Karena secara langsung pernah berinteraksi dengan Gus Dur, berita tersebut juga dibacakan di hadapan Gus Dur. Kebetulan, yang menemani pagi itu Nuruddin Hidayat, salah seorang santri Gus Dur.

Nuruddin: “Pak, Pak Tarman dilantik jadi Kapolda Kepri, naik pangkatnya jadi bintang satu.”

Gus Dur : “O…ya, sebelumnya dia tugas dimana?

Nuruddin: “Di Polda Jatim Pak, terakhir sih Kapolwil Surabaya, nek mboten klentu (kalau tidak keliru),”

Nuruddin: “Pak Tarman niku (ini) ajudan sangking (dari) polisi yang terakhir gih (ya) Pak?

Gus Dur: “Ya, Sutarman gantiin Pak Halba”

Nuruddin: “Pak Tarman niku priyantun pundi (asalnya dari mana) Pak?”

Gus Dur: “Pak Tarman iku wong (orang) daerah sekitar Solo situ, tepatnya dimana, saya ngak tahu.”

Sejenak Gus Dur terdiam beberapa orang yang mengobrol bersamanya juga terdiam, menunggu mungkin ada satu hal penting yang diucapkan oleh Gus Dur.

Lalu…

Gus Dur: “Pak Tarman itu orang desa biasa bukan dari kalangan orang kaya, tapi mengko bakale dadi Kapolri” (Pak Tarman itu orang biasa dari desa bukan anaknya orang kaya, tapi nanti dia akan jadi Kapolri)”

Nuruddin: O…nggaten toh Pak (oh, begitu ya)……

Diam-diam Nuruddin pun mencatat ucapan Gus Dur dalam memorinya dan mengikuti terus tour of duty-nya Jendral Pol Sutarman.

Sutarman, lulusan Akademi Kepolisian 1981 ini mengawali kariernya di Kepolisian pada 1982, sebagai Kepala Staf Lalu Lintas Kepolisian Resor Bandung. Dalam waktu yang tidak lama, ia sudah menjadi Kepala Kepolisian Sektor Dayeuh, Bandung.

Kariernya melejit setelah menjadi ajudan Presiden Gus Dur pada 2000. Tahun 2004 sudah menjadi perwira menengah dan dipercaya sebagai Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya

Setelah ramalan Gus Dur tersebut, ia terus berkibar, menjadi Kapolda Kepulauan Riau, Kepala Sekolah Calon Perwira, Kapolda Jawa Barat, Kapolda Metro Jaya, sampai akhirnya menjadi Kepala Badan Reserse Kriminal Polri sejak 6 Juli 2011 dan dilantik menjadi Kapolri pada 25 Oktober 2013.

Saat nama Sutarman disebut-sebut sebagai calon Kapolri di media, Inayah Wahid, putri terakhir Gus Dur bersama Nuruddin Hidayat, berkunjung ke kantor redaksi NU Online. Kami asyik membicarakan sejumlah kisah kewalian Gus Dur ini, salah satunya kisah perjalanan karier Sutarman.

“Kita lihat saja bagaimana prosesnya, nanti kalau sudah benar-benar dilantik jadi Kapolri, baru kita tulis.” begitu kesimpulan bersama dari obrolan tersebut, dan ternyata, apa yang pernah diomongkan oleh Gus Dur tersebut benar.

Rabu, 30 Oktober 2013

Cak Nun: Jika Semuanya Dianggap syirik, "Mati" Aja Kamu !


Perempatan Ringin Gamping, Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin malam (28/10) diguyur hujan. Tapi tak mampu mengusir ribuan orang yang memenuhi lapangan untuk memperingati hari Sumpah Pemuda dan Pelantikan Pimpinan Cabang (PC) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Sukoharjo.

Kegiatan bertajuk Ngaji Kebangsaan itu menghadirkan Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun dan Kyai Kanjeng.

Ketika Cak Nun naik panggung, iringan tepuk tangan bergemuruh. Cak Nun kemudian memanggil Bupati Sukoharjo, Wardoyo Wijaya untuk naik atas panggung. Sekali lagi tepuk tangan gemuruh.

Cak Nun mengajak para pemuda IPNU maupun GP Ansor terutama bagi Bupati Sukoharjo dan para jamaah yang datang untuk terus melakukan ngaji pikiran agar bisa bener-bener menjadi orang beneran.

“Baru menjadi orang sudah bisa mensyirikan orang, apa apa kamu anggap syirik, nyanyi syirik, shalawatan syirik, keris syirik. “Nek kowe anggap kabeh syirik yo modar wae (Jika kamu anggap semuanya syirik, mati aja kamu, red),” ungkapnya.

Sontak suara “gerr...” keluar dari ribuan jamaah yang hadir pada malam tersebut.

Cak Nun menjelaskan, syirik itu tidak bisa dilihat dari luar, karena adanya di dalam. Bahwa yang dinamakan syirik adalah ketika menduakan Tuhan. Tidak ada hubungannya dengan roh maupun benda.

Jika memang di dalam keris tersebut terdapat pemusyrikan, lanjutnya, maka seharusnya yang dirusak bukanlah kerisnya, tapi orangnya.

Lebih lanjut Cak Nun menambahkan, jangan meragukan keberadaan GP Ansor dan Nahdlatul Ulama (NU) di negara Indonesia. Karena hanya NU yang bisa menjaga keberadaan NKRI ini tetap utuh.

“Bila ada yang mencoba menjatuhkan NKRI maka itu juga musuhnya NU, sebab, NKRI dan NU adalah harga mati,” imbuhnya.

Sementara Bupati Sukoharjo, Wardoyo Wijaya mengimbau kepada warganya hendaknya tetap menjaga NKRI, empat pilar kebangsaan harus tetap di jaga dan di pertahankan. “Empat pilar kebangsaan harus kita jaga dan kita pertahankan demi keutuhan bangsa dan negara yang kita cintai ini,” tegasnya.

Rabu, 23 Oktober 2013

"SESEORANG YANG MEMBENCI PECINTA RASULULLAH SAW"

Dahulu di masa seorang penyair hebat dan sangat terkenal yaitu syaikh Farazdaq dimana beliau selalu asyik memuji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mempunyai kebiasaan melakukan ibadah haji setiap tahunnya. Suatu waktu ketika beliau melakukan ibadah haji kemudian datang berziarah ke makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan membaca qasidah di makam beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,dan ketika itu ada seseorang yang mendengarkan qasidah pujian yang dilantunkannya, setelah selesai membaca qasidah orang itu menemui syaikh Farazdaq dan mengajak beliau untuk makan siang ke rumahnya, beliau pun menerima ajakan orang tersebut dan setelah berjalan jauh hingga keluar dari Madinah Al Munawwarah hingga sampai di rumah orang tersebut, sesampainya di dalam rumah orang tersebut memegangi syaikh Farazdaq dan berkata: “sungguh aku sangat membenci orang-orang yang memuji-muji Muhammad, dan kubawa engkau kesini untuk kugunting lidahmu”,

maka orang itu menarik lidah beliau lalu mengguntingnya dan berkata : “ambillah potongan lidahmu ini, dan pergilah untuk kembali memuji Muhammad”,

maka Farazdaq pun menangis karena rasa sakit dan juga sedih tidak bisa lagi membaca syair untuk sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau datang ke makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berdoa : “Ya Allah jika shahib makam ini tidak suka atas pujian-pujian yang aku lantunkan untuknya, maka biarkan aku tidak lagi bisa berbicara seumur hidupku, karena aku tidak butuh kepada lidah ini kecuali hanya untuk memuji-Mu dan memuji nabi-Mu, namun jika Engkau dan nabi-Mu ridha maka kembalikanlah lidahku ini ke mulutku seperti semula”, beliau terus menangis hingga tertidur dan bermimpi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berkata : “aku senang mendengar pujian-pujianmu, berikanlah potongan lidahmu”, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil potongan lidah itu dan mengembalikannya pada posisinya semula, dan ketika syaikh Farazdaq terbangun dari tidurnya beliau mendapati lidahnya telah kembali seperti semula, maka beliaupun bertambah dahsyat memuji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hingga di tahun selanjutnya beliau datang lagi menziarahi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kembali membaca pujian-pujian untuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan di saat itu datanglah seorang yang masih muda dan gagah serta berwajah cerah menemui beliau dan mengajak beliau untuk makan siang di rumahnya, beliau teringat kejadian tahun yang lalu namun beliau tetap menerima ajakan tersebut sehingga beliau dibawa ke rumah anak muda itu, dan sesampainya di rumah anak muda itu beliau dapati rumah itu adalah rumah yang dulu beliau datangi lalu lidah beliau dipotong, anak muda itu pun meminta beliau untuk masuk yang akhirnya beliau pun masuk ke dalam rumah itu hingga mendapati sebuah kurungan besar terbuat dari besi dan di dalamnya ada kera yang sangat besar dan terlihat sangat beringas, maka anak muda itu berkata : “engkau lihat kera besar yang di dalam kandang itu, dia adalah ayahku yang dulu telah menggunting lidahmu, maka keesokan harinya Allah merubahnya menjadi seekor kera”.

Dan hal yang seperti ini telah terjadi pada ummat terdahulu, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala :
فَلَمَّا عَتَوْا عَنْ مَا نُهُوا عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ

( الأعراف :166 )

“Maka setelah mereka bersikap sombong terhadap segala apa yang dilarang, Kami katakan kepada : “mereka jadilah kalian kera yang hina”. ( QS. Al A’raf : 166 )

Kemudian anak muda itu berkata: “jika ayahku tidak bisa sembuh maka lebih baik Allah matikan saja”, maka syaikh Farazdaq berkata : “Ya Allah aku telah memaafkan orang itu dan tidak ada lagi dendam dan rasa benci kepadanya”, dan seketika itu pun Allah subhanahu wata’ala mematikan kera itu dan mengembalikannya pada wujud yang semula.
Dari kejadian ini jelaslah bahwa sungguh Allah subhanahu wata’ala mencintai orang-orang yang suka memuji nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, karena pujian kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam disebabkan oleh cinta dan banyak memuji kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berarti pula banyak mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan semakin banyak orang yang berdzikir, bershalawat dan memuji nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalla, maka Allah akan semakin menjauhkan kita, wilayah kita dan wilayah-wilayah sekitar dari musibah dan digantikan dengan curahan rahmat dan anugerah dari Allah subhanahu wata’ala.

Jumat, 18 Oktober 2013

Antara Kyai dan Ulama

"KYAI Belum Tentu ULAMA, Tapi Kalau ULAMA Sudah Tentu KYAI"
Ada pernyataan menarik tentang pengertian "Kyai" dari KH. Musthofa Bisri Rembang (Gus Mus). Pada saat itu Gus Mus berkhutbah dalam pengajian haul KH Ali Maksum di Krapyak, Gus Mus (KH Mustofa Bisri Rembang) yang didaulat sebagai pembicara membawa hadirin pada suasana nostalgia, yakni masa-masa di saat beliau nyantri dulu... mengenang kearifan para Kyai zaman dahulu... khususnya para Kyai di lingkungan pesantren Krapyak yang pernah 'ngemong' beliau. Seperti KH. Ali Maksum, KH. Dalhar Munawwir, dan KHR. Abdul Qodir Munawwir. Beliau mengisahkan betapa manusiawinya para Kyai itu, dalam arti mampu memanusiakan manusia, sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing orang, tidak menelantarkan tetapi juga tidak mengekang. KH. Ali Maksum misalnya, sosok Kyai yang "mbapaki" dan tidak "ngiyaini", sehingga beliau di kalangan santri-santrinya lebih akrab disapa "Pak Ali", begitupun para kyai-kyai Krapyak generasi selanjutnya, juga disapa dengan sapaan "Pak" atau "Mbah". Salah satu hal yang khas dari Mbah Ali, khutbah Jum'atnya pendek-pendek, namun selalu bertemakan hal-hal penting yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Hal ini bisa dilihat pada gaya khutbah Mbah Zainal (KH Zainal Abidin Munawwir, pengasuh Ponpes Al-Munawwir Krapyak sekarang) yang terkesan pendek namun berbobot, baik itu tentang fiqh, aqidah, maupun tasawwuf. Beliau memahami kondisi masyarakat yang bermacam-macam, sehingga tidak menyamaratakan, santri tidak sama dengan pegawai kantor, pedagang bakso, atau musafir yang kebetulan mampir di masjid untuk shalat Jum'at. Terkadang tema yang dibahas oleh Mbah Zainal adalah bab Thoharoh alias 'sesuci', tentang apa itu air musta'mal, juga air mutanajjis, tema dan gaya khutbah semacam ini di Jakarta, di Kairo, atau di Saudi Arabia... Atau seperti kisah KH Abdul Jalil Mustaqim, pengasuh pesantren PETA Tulungagung. Beliau disowani seorang wanita yang ber-'profesi' sebagai penjaja seks yang minta doa penglaris. Kyai Jalil hanya manggut-manggut, menasehati dan mendoakan seperti apa yang diminta wanita itu, laris. Beberapa hari kemudian, beliau disowani oleh wanita yang sama, namun kali ini berbeda, wanita itu merengek-rengek minta bertaubat. Wanita itu berkisah, sangkin larisnya, sampai-sampai tidak kuat, merasa tersiksa, dan muncul keinginan untuk bertaubat.. wuih.. Wallahu A'lam... Dari contoh-contoh yang banyak dikisahkan itu, kita bisa melihat bagaimana para Kyai bergaul dengan masyarakat, merangkul, mendengarkan, memahami, dan memberi nasehat serta solusi bagi masalah mereka, dibalut dengan keikhlasan dan sikap 'ngemong', tidak menghakimi. Ibarat gula, mereka rela meleburkan diri di tengah masyarakat sebagai airnya, sehingga masyarakat pun turut menjadi manis. Sehingga, seperti dikatakan Gus Mus, dari wajah beliau-beliau itu tersirat cahaya kedamaian yang menular ke hati kita yang memandangnya. Beliau mencontohkan, setiap orang yang sowan ke ndalem Kyai Qodir (KHR. Abdul Qodir Munawwir), meski membawa berbagai macam kegundahan di hati, akan merasa plong, lega, ayem, ketika memandang wajah Sang Kyai yang disowani, seakan-akan semua masalahnya telah beres. Sangkin ayemnya... Nah, di ujung kisahnya, Gus Mus menyatakan kerinduannya terhadap sosok-sosok Kyai masa lalu... serta menawarkan satu definisi kata "Kyai" dalam konteks keindonesiaan, beliau (kira-kira) berujar begini; *"Saya punya definisi gelar 'Kyai' menurut versi saya sendiri, yakni ALLADZIINA YANDZURUUNAL UMMAH BI 'AYNIR ROHMAH; mereka yang memperhatikan Umat dgn pandangan Rahmat (Kasih Sayang). Kalau ada orang, pakaiannya ala Nabi, sorbannya lebar, jenggotnya panjang, tetapi nggak menyayangi umat, biarpun saya ditawari duit sejuta, nggak bakal mau manggil dia 'Kyai'.. Tetapi kalau ada orang yang ilmunya nggak terlalu tinggi, tetapi mengayomi umat, dicintai umat, dia pantas disebut 'Kyai'..."* Ungkapan Gus Mus ini sesuai dengan asal mula kata "Kyai" berupa kata "Ki" dan "Yai". Dalam kebudayaan kita, setiap hal yang memiliki kelebihan dalam sisi spiritual bisa digelari "Ki-Yai" atau "Kyai", tidak hanya sosok manusia, bahkan benda anorganik pun bisa, sebut saja Kyai Pleret si tombak, Kyai Cubruk si keris, atau Kyai Nogo Wilogo dan Kyai Guntur Madu si gong istimewa yang ditabuh saat Sekaten di Yogyakarta. Kata "Kyai" itu sebenarnya, sebagaimana diungkapkan KH Abdullah Faqih Langitan, adalah sinonim dari kata "Sheikh" dalam bahasa Arab. Secara terminologi (istilahi), arti kata "Sheikh" itu sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Bajuri adalah "man balagha rutbatal fadli", yaitu orang-orang yang telah sampai pada derajat keutamaan, karena selain pandai (alim) dalam masalah agama (sekalipun tidak 'allamah atau sangat alim), mereka mengamalkan ilmu itu untuk dirinya sendiri dan mengajarkan kepada murid-muridnya. Penyebutan "Kyai" itu berasal dari inisiatif masyarakat, bukan dari dirinya sendiri atau media massa. Sementara itu, makna kiai atau "Sheikh" dalam pengertian etimologi (lughotan) adalah "man balagha sinnal arbain", yaitu orang-orang yang sudah tua umurnya atau orang-orang yang mempunyai kelebihan, misalnya dalam hal berbicara atau mengobati orang (nyuwuk), tapi tidak pandai dalam masalah agama. Makanya, ada ungkapan begini: “AL-'AALIMU SYAIKHUN WALAW KAANA SHOGHIIRON” (Orang pandai itu "sheikh" walaupun masih kecil/muda).. “ WAL JAAHILU SHOGHIIRUN WALAU KAANA SYAIKHON” (dan orang bodoh itu kecil walaupun sudah tua).. Jadi, gelar "Kyai" sebenarnya memang diperuntukkan bagi mereka yang memiliki kelebihan dalam hal spiritual, dan kemudian diakui masyarakat. Berbeda dengan "Ulama" yang merupakan bentuk jamak dari kata "Alim" (orang yang berilmu), atau istilah kita "Ilmuwan". Gelar "Ulama" ini adalah gelar religius, sedangkan "Kyai" tidak. Kata "Ulama" jelas-jelas disebukan dalam surat Fathir ayat 28, “Innamaa Yakhsyalloohu Min 'Ibaadihil 'Ulamaa”. Dan di ayat itu tersurat secara gamblang bahwa kriteria Ulama yang dimaksud adalah berpengetahuan, kemudian pengetahuannya menjadi sebab dia mengenal serta bertaqwa kepada Allah. Jadi, ulama sudah tentu kyai, sedangkan kyai belum tentu ulama. Sehingga, konsekuensinya, gelar "Kyai" tidaklah seperti pengertian masyarakat dewasa ini. Pada umumnya, masyarakat menilai bahwa "Kyai" adalah gelar bagi orang yang ahli agama Islam. Kesimpulan ini mungkin didapatkan dari keadaan selama ini bahwa yang namanya kyai ya mesti berpengetahuan agama luas, akibat generalisasi obyek. Padahal pengertian Kyai lebih luas dari itu. Kita melihat manusia mengunyah dengan rahang bawah, begitu pula kambing, begitu pula sapi, begitu pula kucing, kemudian kita menyimpulkan bahwa semua makhluk hidup mengunyah dengan rahang bawah. Lalu, ketika kita melihat buaya misalnya, maka kita sadar bahwa kesimpulan kita salah, buktinya buaya mengunyah dengan rahang atas. Nah, kesimpulan macam ini, generalisasi, dalam bahasan ilmu Manthiq disebut metode Istiqro-i yang rentan salah. Nah, ocehan saya ini hanya bermaksud mendukung dhawuh Gus Mus di atas, bahwasanya Tokoh Spiritual Panutan Masyarakat alias "Kyai" adalah mereka yang mengayomi masyarakatnya dengan penuh kasih sayang, pengertian, mengikat namun tidak mengekang. Di kala menegur pun, ibarat memukul, adalah bagaikan pukulan sebiting sapu lidi, menyengat tapi tidak menyakitkan.. Sosok-sosok pengayom ibarat pohon beringin seperti inilah yang masyarakat rindukan. Tidak hanya bergelut di ranah pembahasan kitab dan penetapan hukum-hukum formal agama. Tetapi juga turut membaur bersama masyarakat, memberikan solusi bagi permasalahan mereka. Serta mau dan mampu membimbing masyarakat untuk memanfaatkan potensi yang dimiliki, terutama potensi intelektual dalam bidang apapun, demi kemaslahatan hidup masyarakat itu sendiri. Sehingga, Rahmah (kasih sayang) yang dimaksudkan tidak hanya berrotasi di lingkup manusia sebagai naas, basyar, maupun insan, tetapi juga melingkupi orbit yang jauh lebih luas yakni Alam Semesta... Rahmatan lil 'Aalamiin…

Semua Amalan NU Ada Dalilnya

Warga NU harus bangga dan mantap dengan semua amalan atau tradisi keagamaan yang dijalankan. Tak perlu menghiraukan kicauan kelompok yang gemar menuding bid’ah karena semua amalan dan tradisi itu ada dalilnya.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menyampaikan hal itu di hadapan mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta dalam kegiatan Kuliah Umum di Aula gedung PBNU, Kamis (17/10).
Kang Said, memulai penjelasan dengan membahas bab Sunnah Nabi. Dijelaskannya, sunnah itu terbagi menjadi 3 bagian, yaitu sunnah qauliyah (ucapan), sunnah fi`liyah (perilaku/pekerjaan) dan sunnah taqririyyah (pembenaran).
Ia menekankan penjelasan tentang sunnah taqririyah. “Kalau yang melakukan itu orang lain dan telah mendapatkan pembenaran dari Rasulullah, mendapat legitimasi, maka menjadi sunnah taqririyyah,” jelasnya.
“Contoh, sahabat Bilal setelah wudlu melakukan shalat dua rakaat lalu  Nabi malah tanya itu, shalat apa Bilal? Shalat ba’diyah wudu. Lalu kata Nabi, ya kamu benar, ayo kita menjalankan itu,” papar Kang Said di hadapan ratusan mahasiswa STAINU Jakarta.
Contoh yang paling penting, lanjut Kang Said, banyak sahabat yang memberikan pujian dan sanjungan kepada Rasulullah, lalu Rasulullah membenarkan hal itu, padahal Rasulullah tidak pernah memuji diri sendiri dan tidak pernah memberikan perintah itu. Ketika para sahabat memuji dan menyanjung Rasulullah, beliau membenarkan, seandainya hal itu tidak benar, pasti Rasulullah melarangnya.
“Contoh ada seorang penyair namanya Ka`ab Bin Zuhair memuji-muji Nabi setinggi langit, engkau orang hebat, engkau orang mulia, orang engkau orang yang gagah berani, engkau orang luar biasa,” tukas Kang Sadi sambil membaca syi`irnya Ka`ab Bin Zuhair
Kalau memuji-muji itu salah, tambah Kang Said, itu pasti dilarang. Rasulullah tidak melarangnya malahan Ka`ab Bin Zuhair diberi kenang-kenangan berupa selimut bergaris-garis (burdah) yang sedang dipakai oleh Rasulullah.
“Kalau nggak percaya, selimut itu masih ada di Museum Topkapi, Istambul, Turki, fakta masih ada, saya dua kali sudah lihat, jadi memuji-muji Nabi Muhammad, baca Diba, Barjanzi, Syarfulanam, Simtudduror, Burdah lilbusaeri, itu sunnah, bukan bid`ah!” tegasnya
Untuk memantapkan penjelasan sunnah taqririyah ini, Kang Said melanjutkannya dengan persoalan tawasul. Diceritakan, Suku Mudhar sedang dilanda paceklik selama 7 tahun karena tidak ada air, tidak ada gandum, untuk mengatasi hal itu tokoh-tokoh Suku Mudhar yang dipimpin oleh Labid Bin Rabi`ah datang menghadap kepada Rasulullah di Madinah, Rasulullah pun bertanya kepada rombongan ini.
“Ada apa datang kemari? Ataina, kami datang kepadamu, litarhamana, agar Engkau merahmati kami, jadi orang ini minta rahmat sama Rasulullah, bukan sama Allah. Kalau salah, pasti dilarang, enggak tuh, enggak dilarang,” tegas Kang Said seraya membaca syiiran Arab yang dibawakan oleh suku Mudhar tersebut.
Setelah mendapat penjelasan dari suku Mudhar ini, Nabi Muhammad kemudian berdoa kepada Allah agar segera menurunkan hujan di daerah suku Mudhar itu, hujan yang membawa rezeki dan berkah, bukan hujan banjir dan membawa malapetaka. Tidak lama kemudian rombongan suku Mudhar pulang, sebelum mereka sampai di  rumahnya masing-masing, di sana sudah turun hujan.
“Kalau mau tahu sejarah ini baca Al-Kamil fittarikh lil imam ibnil Atsir, 13 jilid, Tarikhul umam walmuluk Abu Ja`far Ibnu Jarir Athabari, 10 jilid, Tarikhul hadhar Islamiyah, Prof. Dr. Ahmad Syalabi, 9 jilid, Tarikh Ibnu Khaldun, 14 Jilid, baru tahu cerita ini, maka minta pada Allah lewat Nabi Muhammad itu sunnah, bukan bid`ah,” imbuhnya.
Untuk itu, Kang Said, menegaskan kepada para mahasiswa untuk tetap bangga menjadi warga NU, karena semua amalan-amalan warga NU memiliki dalil-dalil yang kuat.

Kamis, 17 Oktober 2013

WANITA PENGGODA YANG BERTAUBAT

Wanita penggoda yang bertaubat

يُحكى: أن قوما أمروا امرأة ذات جمال بارع أن تتعرض للربيع بن خثيم فلعلها تفتنه، وجعلوا لها إن فعلت ذلك ألف درهم، فلبست أحسن ما قدرت عليه من الثياب، وتطيبت بأطيب ما قدرت عليه، ثم تعرضت له حين خرج من مسجده، فنظر إليها فراعه أمرها،
Diceritakan : Suatu kaum memerintahkan seorang wanita cantik jelita untuk menggoda Rabi' bin khutsaim, dengan harapan wanita itu dapat menggodanya. Kaum itu menyediakan hadiah sebanyak seribu Dirham kepada wanita itu, jika ia berhasil melakukan hal tersebut. Ia pun memakai pakaian yang paling indah dan menggunakan parfum yang paling harum. Kemudian mulailah ia menggoda Rabi' bin Khutsaim saat Rabi' keluar dari Mesjid. Rabi' pun memandangnya dengan tetap waspada dari tipu daya wanita itu.

فأقبلت عليه وهي سافرة، فقال لها الربيع: كيف بك لو قد نزلت الحمى بجسمك، فغيرت ما أرى من لونك، وبهجتك؟ أم كيف بك لو قد نزل بك ملك الموت، فقطع منك حبل الوتين؟ أم كيف بك لو قد ساءلك منكر ونكير؟ فصرخت صرخة فسقطت مغشيا عليها، فوالله لقد أفاقت وبلغت من عبادة ربها
Wanita itu lalu mendekati Rabi'. Rabi' kemudian berkata kepadanya, "Apa yang akan terjadi denganmu jika kamu terkena demam yang dapat menjadikan warna kulit dan wajahmu berubah (buruk)? Apa yang akan terjadi denganmu jika malaikat Maut datang mencabut nyawamu? Apa yang akan kamu lakukan jika malaikat Mungkar dan Nakir bertanya kepadamu?"
Wanita itu berteriak histeris dan jatuh pingsan. Setelah sadar ia pun bertobat dan beribadah kepada Tuhannya. 

Sumber :
صفوة الصفوة - عبد الرحمن بن علي بن محمد أبو الفرج (3/ 191).
Shofwatus Shofwah - Abdurrahman bin Ali bin Muhammad Abu Farraj : 3/191

KISAH SYEKH BARSHISHA (AHLI IBADAH YANG SU'UL KHOTIMAH)

Bismillahirrohmanirrohim......

قال ابن عباس في قوله تعالى : كمثل الشيطان : كان راهب في الفترة يقال له : برصيصا ; قد تعبد في صومعته سبعين سنة ، لم يعص الله فيها طرفة عين ، حتى أعيا إبليس ، فجمع إبليس مردة الشياطين فقال : ألا أجد منكم من يكفيني أمر برصيصا ؟ فقال الأبيض ، وهو صاحب الأنبياء ، وهو الذي قصد النبي صلى الله عليه وسلم في صورة جبريل ليوسوس إليه على وجه الوحي ، فجاء جبريل فدخل بينهما ، ثم دفعه بيده حتى وقع بأقصى الهند فذلك قوله تعالى : ذي قوة عند ذي العرش مكين فقال : أنا [ ص: 35 ] أكفيكه ; فانطلق فتزيا بزي الرهبان ، وحلق وسط رأسه حتى أتى صومعة برصيصا فناداه فلم يجبه ; وكان لا ينفتل من صلاته إلا في كل عشرة أيام يوما ، ولا يفطر إلا في كل عشرة أيام ; وكان يواصل العشرة الأيام والعشرين والأكثر ; فلما رأى الأبيض أنه لا يجيبه أقبل على العبادة في أصل صومعته ; فلما انفتل برصيصا من صلاته ، رأى الأبيض قائما يصلي في هيئة حسنة من هيئة الرهبان ; فندم حين لم يجبه ، فقال : ما حاجتك ؟ فقال : أن أكون معك ، فأتأدب بأدبك ، وأقتبس من عملك ، ونجتمع على العبادة ; فقال : إني في شغل عنك ; ثم أقبل على صلاته ; وأقبل الأبيض أيضا على الصلاة ; فلما رأى برصيصا شدة اجتهاده وعبادته قال له : ما حاجتك ؟ فقال : أن تأذن لي فأرتفع إليك . فأذن له فأقام الأبيض معه حولا لا يفطر إلا في كل أربعين يوما يوما واحدا ، ولا ينفتل من صلاته إلا في كل أربعين يوما ، وربما مد إلى الثمانين ; فلما رأى برصيصا اجتهاده تقاصرت إليه نفسه . ثم قال الأبيض : عندي دعوات يشفي الله بها السقيم والمبتلى والمجنون ; فعلمه إياها . ثم جاء إلى إبليس فقال : قد والله أهلكت الرجل . ثم تعرض لرجل فخنقه ، ثم قال لأهله - وقد تصور في صورة الآدميين - : إن بصاحبكم جنونا أفأطبه ؟ قالوا : نعم . فقال : لا أقوى على جنيته ، ولكن اذهبوا به إلى برصيصا ، فإن عنده اسم الله الأعظم الذي إذا سئل به أعطى ، وإذا دعي به أجاب ; فجاءوه فدعا بتلك الدعوات ، فذهب عنه الشيطان . ثم جعل الأبيض يفعل بالناس ذلك ويرشدهم إلى برصيصا فيعافون . فانطلق إلى جارية من بنات الملوك بين ثلاثة إخوة ، وكان أبوهم ملكا فمات واستخلف أخاه ، وكان عمها ملكا في بني إسرائيل فعذبها وخنقها . ثم جاء إليهم في صورة رجل متطبب ليعالجها فقال : إن شيطانها مارد لا يطاق ، ولكن اذهبوا بها إلى برصيصا فدعوها عنده ، فإذا جاء شيطانها دعا لها فبرئت ; فقالوا : لا يجيبنا إلى هذا ; قال : فابنوا صومعة في جانب صومعته ثم ضعوها فيها ، وقولوا : هي أمانة عندك فاحتسب فيها . فسألوه ذلك فأبى ، فبنوا صومعة ووضعوا فيها الجارية ; فلما انفتل من صلاته عاين الجارية وما بها من الجمال فأسقط في يده ، فجاءها الشيطان فخنقها فانفتل من صلاته ودعا لها فذهب عنها الشيطان ، ثم أقبل على صلاته فجاءها الشيطان فخنقها . وكان يكشف عنها ويتعرض بها لبرصيصا ، ثم جاءه الشيطان فقال : ويحك ! واقعها ، فما تجد مثلها ثم تتوب بعد ذلك . فلم يزل به حتى واقعها فحملت وظهر حملها . فقال له الشيطان : ويحك ! قد افتضحت . فهل لك أن تقتلها ثم تتوب فلا تفتضح ، فإن جاءوك وسألوك فقل جاءها شيطانها فذهب بها . فقتلها برصيصا ودفنها ليلا ; فأخذ الشيطان طرف ثوبها حتى بقي خارجا من التراب ; ورجع برصيصا إلى صلاته . ثم جاء الشيطان إلى إخوتها في المنام فقال : إن برصيصا فعل بأختكم كذا وكذا ، وقتلها ودفنها في جبل كذا وكذا ; فاستعظموا [ ص: 36 ] ذلك وقالوا لبرصيصا : ما فعلت أختنا ؟ فقال : ذهب بها شيطانها ; فصدقوه وانصرفوا . ثم جاءهم الشيطان في المنام وقال : إنها مدفونة في موضع كذا وكذا ، وإن طرف ردائها خارج من التراب ; فانطلقوا فوجدوها ، فهدموا صومعته وأنزلوه وخنقوه ، وحملوه إلى الملك فأقر على نفسه فأمر بقتله . فلما صلب قال الشيطان : أتعرفني ؟ قال : لا والله ، قال : أنا صاحبك الذي علمتك الدعوات ، أما اتقيت الله أما استحيت وأنت أعبد بني إسرائيل ثم لم يكفك صنيعك حتى فضحت نفسك ، وأقررت عليها وفضحت أشباهك من الناس ، فإن مت على هذه الحالة لم يفلح أحد من نظرائك بعدك . فقال : كيف أصنع ؟ قال : تطيعني في خصلة واحدة وأنجيك منهم وآخذ بأعينهم . قال : وما ذاك ؟ قال : تسجد لي سجدة واحدة ; فقال : أنا أفعل ; فسجد له من دون الله . فقال : يا برصيصا ، هذا أردت منك ; كان عاقبة أمرك أن كفرت بربك ، إني بريء منك ، إني أخاف الله رب العالمين

Terjemahan Bebas

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menceritakan, ada seorang ahli zuhud bernama Barshisha. Dia beribadah dalam kuil selama tujuh puluh tahun yang tidak pernah bermaksiat sedikitpun. Lalu iblis ingin menggoda dengan ilmu hilah (rekayasa), maka pada suatu saat dia mengumpulkan para pembesar setan dan berkata, “Adakah di antara kalian yang mampu merusak Barshisha?” Setan putih berkata kepada Iblis, “Saya sanggup merusaknya.” Lalu ia berangkat ke tempat Barshisha dengan mengenakan pakaian ulama dan mengenakan sesuatu di atas kepalanya, lalu datang ke kuil Barshisha dan memanggilnya. Tetapi dia tidak menjawabnya.
Barshisha tidak berhenti dari beribadah kecuali setiap sepuluh hari sekali. Tidak pula dia berbuka puasa, kecuali setelah berlalu sepuluh hari. Tatkala setan putih tak mampu mengambil perhatian Barshisha, maka dia berpura-pura shalat dan beribadah di dalam kuil itu. Maka setelah Barshisha selesai dari shalat dan ibadahnya, dan ingin beranjak keluar, dia melihat setan putih itu tampil seperti ulama yang sedang shalat dan beribadah dengan bentuk yang sangat bagus. Lalu Barshisha bertanya kepadanya, “Kamu tadi memanggilku sementara aku sedang sibuk shalat, apa yang kamu perlukan?”
Dia menjawab, “Saya ingin bersamamu untuk belajar ilmu dan menirukan amalmu serta kita bersama beribadah sehingga aku bisa mendoakanmu dan kamu juga mendoakanku.”
Barshisha berkata, “Saya tidak bisa bersamamu, jika kamu seorang mukmin, maka kamu mendapatkan bagian dari doaku yang kutujukan bagi semua orang mukmin.” Kemudian dia beranjak shalat dan meninggalkan setan itu. Maka setan itu pun beranjak shalat dan setelah itu Barshisha tidak menoleh kepadanya selama empat puluh hari.
Setelah Barshisha selesai shalat, dia melihat setan sedang berdiri shalat. Tatkala dia melihat kesungguhannya, maka dia berkata kepadanya, “Apa yang kamu butuhkan?” Setan menjawab, “Saya ingin kamu memberi izin kepadaku untuk naik ke kuil bersamamu.” Lalu dia memberi izin naik di kuil dan beribadah bersama Barshisha beberapa waktu, tidak berbuka dan tidak berhenti dari ibadah kecuali setelah empat puluh hari bahkan terkadang sampai delapan puluh hari. Maka tatkala melihat kesungguhan dia dalam beribadah, Barshisha merasa rendah hati berada di hadapannya dan kagum terhadap kehebatan ibadah setan putih itu. Dan setelah lama beribadah bersama Barshisha, setan berkata kepadanya, “Saya ingin pergi karena saya memiliki teman selain kamu. Saya mendapat berita kamu lebih baik daripadanya, ternyata saya mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan perkiraan saya sebelumnya.”
Kemudian Barshisha merasakan sesuatu yang besar dalam batinnya sehingga tidak mau berpisah dengannya karena dianggap lebih baik ibadahnya daripada dirinya. Ketika setan hendak meninggalkannya, Setan berkata kepada Barshisha, “Sesungguhnya aku mempunyai beberapa doa yang akan aku ajarkan kepadamu supaya kamu dapat beramal dengannya, karena doa itu lebih baik dari apa yang engkau kerjakan. Dengan doa ini Allah akan menyembuhkan orang sakit dan menyembuhkan orang gila.” Barshisha menjawab, “Aku tidak ingin menjadi tabib atau menjadi orang yang dapat menyembuhkan orang lain, karena hal ini akan menyibukkanku dari ibadah. Aku khawatir kalau manusia akan mengetahui hal ini, maka mereka akan menggangguku dalam peribadatanku.” Namun, setan tetap saja mengajarinya. Kemudian kembalilah setan kepada Iblis, lalu Iblis berkata, “Demi Allah! Engkau telah menghancurkan lelaki itu.” Iblis pun berkata lagi, “Pergilah wahai Abyadh! (setan putih)!”
Ia pergi kepada seorang lelaki lalu ia mencekiknya, kemudian ia menjelma seorang tabib lalu berkata kepada keluarganya, “Sesungguhnya anakmu ini dalam keadaan gila, apakah kamu ingin ia diobati?” Mereka menjawab, “Ya.” Ia berkata, “Namun aku tidak mampu mengobati penyakit ini, tetapi akan aku tunjukkan kepada seseorang yang apabila dia berdoa kepada Allah, maka sembuhlah ia. Pergilah kamu kepada Barshisha, sesungguhnya dia memiliki beberapa doa yang apabila dia berdoa kepada Allah niscaya akan dikabulkan.” Mereka pun pergi kepada Barshisha dan meminta untuk diobati. Barshisha pun berdoa dengan doa yang telah diajarkan setan putih tadi, lalu setan pergi meninggalkan anak itu.
Demikianlah, setan putih terus mengganggu manusia lain dan menyuruhnya untuk berobat kepada Barshisha dan meminta doa kepadanya untuk kesembuhan (dengan tujuan untuk mengganggu peribadatan Barshisha).
Kemudian setan putih itu mengganggu seorang gadis Bani Israil yang memiliki tiga saudara laki-laki. Dahulu bapak mereka adalah raja Bani Israil, setelah bapaknya meninggal, ia digantikan saudara laki-lakinya, yaitu paman gadis itu. Setan menyiksa dan mencekik gadis tersebut. Lalu setan datang kepada keluarga tersebut dengan menjelma menjadi seorang dukun. Ia bertanya kepada saudara-saudaranya, “Inginkah kalian agar saudarimu itu aku obati?” Mereka menjawab, “Ya.” Ia berkata, “Penyakit yang menimpa saudarimu itu sangat keras yang tidak mampu aku mengobatinya, namun aku akan menunjukkan kepadamu seorang yang dapat dipercaya, yang mana engkau dapat meminta doa kepadanya. Apabila ilmu ghaibnya datang, niscaya dia akan berdoa untuk kesembuhannya itu, hingga nanti engkau akan yakin bahwa saudarimu akan sehat kembali dan hilang penyakitnya.”
Mereka berkata, “Siapakah orang itu?” Setan menjawab, “Barshisha.” Kemudian mereka bertanya, “Bagaimana kami dapat menghadapnya, sedangkan ia orang yang tinggi martabatnya dalam ibadah?” Setan menjawab, “Hendaklah kamu berada disamping peribadatannya hingga mendekatinya, lalu engkau menemuinya. Kalau engkau tidak menemuinya, maka tinggalkanlah saudarimu itu disampingnya. Kemudian katakanlah kepadanya, saudariku ini sebagai amanah bagimu, maka hendaklah engkau obati dia.”
Mereka pun menuruti nasihat setan putih untuk pergi ke tempat Barshisha itu, kemudian dia meminta Barshisha untuk mengobatinya. Barshisha pun enggan dan menolak permintaan mereka. Namun mereka berdiam sementara di dekat kuilnya sebagaimana yang diperintahkan oleh setan putih, lalu meninggalkan saudarinya itu di dekat kuilnya, seraya berkata, “Ini saudari kami.” Setelah selesai dalam shalatnya, ia menoleh kepada gadis yang begitu cantik itu, kemudian ia meninggalkannya walaupun tersentuh dalam hatinya sesuatu yang lain.
Datanglah setan mengganggu gadis itu dengan mencekiknya, lalu Barshisha berdoa dengan doa yang diajarkan setan dahulu. Setan itupun keluar dan pergi dari gadis itu. Kemudian dia mulai shalat lagi, setan itu datang kembali dan mengganggu sang gadis. Maka tanpa sengaja tubuh gadis itu terbuka dan setan membisikkan Barshisha, “Gaulilah gadis itu dan setelah itu kamu bisa bertaubat.” Dan setan pun berhasil, Barshisha menggauli gadis tersebut sehingga gadis itu hamil dan terlihat mengandung.
Kemudian setan berkata kepada Barshisha, “Celaka kamu Barshisha, bila perbuatanmu itu terungkap. Maukah kamu membunuhnya dan setelah itu kamu bisa bertaubat. Dan apabila keluarganya menanyakan, maka katakan pada mereka bahwa gadis itu dibawa kabur oleh setan yang telah mengganggunya dan kamu tidak kuasa melawannya.” Maka Barshisha masuk ke tempat gadis itu dan membunuhnya, lalu dikuburkan di lerang gunung. Pada saat Barshisha mengubur gadis itu, setan datang dan menarik ujung pakaian gadis itu sehingga tidak tertimbun tanah dan nampak. Kemudian Barshisha kembali ke kuil dan beribadah, tiba-tiba ketiga saudara gadis itu datang untuk menjenguk adik mereka. Mereka menanyakan keadaannya, “Wahai Barshisha, apa yang telah kamu lakukan terhadap adik kami?” Dia menjawab, “Setan datang dan aku tidak mampu melawannya.” Maka mereka percaya dan pulang. Pada saat malam hari dalam suasana duka, setan datang dalam mimpi saudara gadis itu yang paling besar dan memberitahukan kejadian yang menimpa adiknya. Namun, orang tersebut tidak mempercayai mimpi itu dan meyakininya berasal dari setan. Setelah tiga malam berturut-turut datang dalam mimpi saudara paling besar tadi, namun tidak dihiraukan maka setan mendatangi kakak yang kedua dan ketiga, memberitahukan seperti yang disampaikan kepada kakak yang pertama. Kemudian ketiganya saling menceritakan apa yang dilihat dalam mimpi mereka dan ternyata sama.
Pergilah mereka kepada Barshisha, lalu bertanya, “Apa yang engkau kerjakan dengan saudari kami?” Ia menjawab, “Bukankah telah aku beritahukan tentang hal itu, yakni dia dibawa setan?” Mereka merasa malu dengannya, lalu mereka mengatakan, “Demi Allah kami tidak menuduhmu,” Mereka pun pergi.
Lalu setan mendatangi mereka dan memberitahukan tempat dikuburnya adik mereka dengan ujung pakaiannya yang masih kelihatan. Lalu mereka pergi ke tempat yang ditunjukkan setan dan mendapati apa yang diberitakan olehnya.
Kemudian mereka pulang kepada keluarga dan familinya, lalu mereka bersama pasukan dan para pemuda mendatangi kuil Barshisha dengan membawa linggis dan kapak. Mereka menghancurkan kuil Barshisha dan menangkapnya lalu dibawa di hadapan raja. Setan kembali membisiki Barshisha, “Kamu membunuhnya kemudian kamu ingkar, akuilah perbuatan itu,” sehingga akhirnya Barshisha mengakui perbuatannya. Lalu sang raja menjatuhkan hukuman mati kepadanya dengan disalib di kayu.
Pada saat disalib, setan putih mendatanginya seraya berkata, “Apakah engkau mengenalku?” Barshisha menjawab, “Tidak.” Setan berkata lagi, “Akulah temanmu yang telah mengajarkanmu beberapa doa, lalu doa itu dikabulkan bagimu. Tapi alangkah sayangnya tatkala engkau diberi amanah, engkaupun berkhianat kepada keluarganya. Aku menyangka engkau adalah orang yang paling kuat beribadah diantara Bani Israil, bukankah engkau masih hidup?”
Iapun terus menggodanya, kemudian dia berkata lagi kepada Barshisha, “Tidaklah cukup dengan kesalahan yang engkau perbuat hingga engkau telah menyiksa dirimu. Jiwamu tertawa, demikian pula kamu telah ditertawakan oleh kebanyakan manusia. Apabila engkau mati dalam keadaan seperti ini, maka kamu tidak akan mendapatkan keberuntungan.” Barshisha menjawab, “Jadi apa yang harus aku perbuat?” Setan putih mengatakan, “Maukah kamu aku beri kesempatan, sehingga aku mampu menyelamatkanmu dari keadaan seperti ini. Aku akan memalingkan mata pasukan tentara itu, dan aku akan melepaskanmu dari tempat ini.”
Lalu Barshisha mengatakan, “Apa perbuatan itu?” Setan putih mengatakan, “Engkau harus sujud kepadaku.” Barshisha mengatakan, “Aku akan melakukannya.” Maka Barshisha pun sujud kepadanya. Kemudian setan putih berkata, “Hai Barshisha! Inilah yang aku kehendaki darimu sebagai kesudahan dari ibadah-ibadahmu, kamu telah mengingkari Tuhanmu. Sekarang aku melepaskan diri dari apa yang engkau perbuat, sesungguhnya aku takut kepada Allah Rabb semesta alam.”
(Kitab Tafsir Imam Al Qurthubi dalam tafsir QS. Al-Hasyr: 16-17 di Juz 18)

KISAH PANGGANG AYAM & PANGGANG MANUSIA

Seorang lelaki soleh melewati seorang yang sedang memanggang daging, lalu ia menangis.

Orang itu bertanya: kenapa engkau menangis? apakah engkau butuh daging?

Orang soleh itu menjawab: tidak... tetapi aku menangisi anak Adam. Binatang memasuki api dalam keadaan mati, sementara anak Adam memasuki api (neraka) dalam keadaan hidup."

Wahai Rabb... jasad kami tidak kuat menahan api neraka...

Ya Allah, haramkanlah api neraka atas jasad kami dan jasad setiap orang yang mengucapkan "aamiin"

Rabu, 16 Oktober 2013

Sayyidina Ali Jual-Beli dengan Dua Malaikat

Kisah ini diriwayatkan Ja’far bin Muhammad, yang memiliki sanad dari ayahnya, lalu dari kakeknya. Suatu ketika, cerita kakek Ja’far, Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramaLlahu wajhah mengunjungi rumahnya selepas silaturahim kepada Rasulullah.

Di rumah itu Ali menjumpai istrinya, Sayyidah Fathimah, sedang duduk memintal, sementara Salman al-Farisi berada di hadapannya tengah menggelar wol.

“Wahai perempuan mulia, adakah makanan yang bisa kau berikan kepada suamimu ini?” tanya Ali kepada istrinya.

“Demi Allah, aku tidak mempunyai apapun. Hanya enam dirham ini, ongkos dari Salman karena aku telah memintal wol,” jawabnya. “Uang ini ingin aku belikan makanan untuk (anak kita) Hasan dan Husain.”

“Bawa kemari uang itu.” Fathimah segera memberikannya dan Ali pun keluar membeli makanan.

Tiba-tiba ia bertemu seorang laki-laki yang berdiri sambil berujar, “Siapa yang ingin memberikan hutang (karena) Allah yang maha menguasai dan mencukupi?” Sayyidina Ali mendekat dan langsung memberikan enam dirham di tangannya kepada lelaki tersebut.

Fatimah menangis saat mengetahui suaminya pulang dengan tangan kosong. Sayyidina Ali hanya bisa menjelaskan peristiwa secara apa adanya.

“Baiklah,” kata Fathimah, tanda bahwa ia menerima keputusan dan tindakan suaminya.

Sekali lagi, Sayyidina Ali bergegas keluar. Kali ini bukan untuk mencari makanan melainkan mengunjungi Rasulullah. Di tengah jalan seorang Badui yang sedang menuntun unta menyapanya. “Hai Ali, belilah unta ini dariku.”

”Aku sudah tak punya uang sepeser pun.”

“Ah, kau bisa bayar nanti.”

“Berapa?”

“Seratus dirham.”

Sayyidina Ali sepakat membeli unta itu meskipun dengan cara hutang. Sesaat kemudian, tanpa disangka, sepupu Nabi ini berjumpa dengan orang Badui lainnya.

“Apakah unta ini kau jual?”

“Benar,” jawab Ali.

“Berapa?”

“Tiga ratus dirham.”

Si Badui membayarnya kontan, dan unta pun sah menjadi tunggangan barunya. Ali segara pulang kepada istrinya. Wajah Fatimah kali ini tampak berseri menunggu penjelasan Sayyidina Ali atas kejadian yang baru saja dialami.

“Baiklah,” kata Fatimah selepas mendengarkan cerita suaminya.

Ali bertekad menghadap Rasulullah. Saat kaki memasuki pintu masjid, sambutan hangat langsung datang dari Rasulullah. Nabi melempar senyum dan salam, lalu bertanya, “Hai Ali, kau yang akan memberiku kabar, atau aku yang akan memberimu kabar?”

“Sebaiknya Engkau, ya Rasulullah, yang memberi kabar kepadaku.”

“Tahukah kamu, siapa orang Badui yang menjual unta kepadamu dan orang Badui yang membeli unta darimu?”

“Allah dan Rasul-Nya tentu lebih tahu,” sahut Ali memasrahkan jawaban.

“Sangat beruntung kau, wahai Ali. Kau telah memberi pinjaman karena Allah sebesar enam dirham, dan Allah pun telah memberimu tiga ratus dirham, 50 kali lipat dari tiap dirham. Badui yang pertama adalah malaikat Jibril, sedangkan Badui yang kedua adalah malaikat Israfil (dalam riwayat lain, malaikat Mikail).”

Kisah yang bisa kita baca dari kitab al-Aqthaf ad-Daniyah ini menggambarkan betapa ketulusan Ali dalam menolong sesama telah membuahkan balasan berlipat, bahkan dengan cara dan hasil di luar dugaannya.

Keluasan hati istrinya, Fathimah, untuk menerima keterbatasan juga melengkapi kisah kebersahajaan hidup keluarga ini. Dukungan penuh dari Fathimah telah menguatkan sang suami untuk tetap bermanfaat bagi orang lain, meski untuk sementara waktu mengabaikan kepentingannya sendiri: makan.

Mbah Wahab dan Mbah Bisri Tentang Kurban 1 Sapi

Cerita ini mengisahkan tentang perbedaan jawaban antara dua tokoh pendiri NU asal Jombang, yakni KH Bisri Syansuri dan KH Abdul Wahab Hasbullah ketika ditanya seseorang tentang bolehkah berkurban 1 sapi tapi untuk 8 orang.

Mbah Bisri dan Mbah Wahab adalah teman seperjuangan sewaktu belajar di Makkah. Selain itu, Mbah Bisri adalah adik ipar Mbah Wahab sendiri.

Sudah bukan rahasia lagi, meski akrab, keduanya sering berbeda pendapat dalam menentukan suatu perkara. Bahkan keduanya pernah menggebrak meja dalam sebuah forum musyawarah karena perbedaan tersebut. Tapi selesai musyawarah, mereka kembali rukun selayak kakak adik.

Orang itu bertanya pada Mbah Bisri terlebih dahulu, "Yai, bolehkah saya berkurban 1 sapi untuk 8 orang?"

Mbah Bisri menjawab, "Tidak boleh, 1 sapi itu hanya untuk 7 orang, yang 1 nanti kurban pakai kambing." Ketentuan fiqih memang mengajarkan sebagaimana yang diungkapkan Mbah Bisri.

Mbah Bisri memang dikenal sebagai orang yang teguh memegang ilmu fiqih, sampai-sampai cucunya sendiri, KH Abdurraman Wahid (Gus Dur) dan juga Rais 'Aam PBNU KH Sahal Mahfudz, menyebut beliau sebagai "Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat".

Setelah mendengar jawaban dari Mbah Bisri orang itu merasa belum puas. “Bagaimana mungkin satu keluarga yang 7 naik sapi tapi yang 1 naik kambing. Alangkah kasihan yang 1 orang itu,” pikirnya.

Akhirnya orang itu bertanya pada Mbah Wahab dengan pertanyaan yang sama, seperti yang diajukan pada Mbah Bisri.

Lalu dijawab oleh Mbah Wahab, "Boleh saja."

"Tapi katannya 1 sapi itu hanya utuk 7 orang Yai?" orang itu bertanya lagi.

"Iya, memang untuk 7 orang," lalu beliau berbalik bertanya, "shahibul qurban yang terakhir itu umurnya berapa?"

"Masih kecil, Yai."

"Ya, kalau begitu kan nanti kambingnya itu untuk pijakan (ancek-ancek, dalam bahasa jawa) anak yang masih kecil itu, kalau dia mau naik sapi kan kasihan dia belum sampai jadi harus ada pijakannya dulu".

Mbah Wahab memang dikenal sebagai kiai yang diplomatis, tapi bukan berarti beliau tidak ahli fiqih. Jawaban dari Mbah Bisri dan Mbah Wahab sebenarnya intinya sama, cuma mereka berbeda cara dalam menghadapi umat.

Perbedaan cara bersikap antara Mbah Biri dan Mbah Wahab menunjukkan adanya perbedaan karakter kepribadian di antara kedua ulama kharismatik ini. Kepekaan membaca psikologi orang dan kepandaian diplomasi Mbah Wahab telah menghadirkan jawaban yang lebih menentramkan dan “rasional” menurut ukuran lawan bicaranya, tanpa sedikit pun menyimpang dari aturan fiqih yang ada. Semoga Allah melimpahkan rahmat pada keduanya. Aamin...

Gus Mus: Islam Kita Bukan ‘Islam Saudi Arabia’

Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH A Mustofa Bisri kembali menegaskan perbedaan antara muslimin Indonesia dan Arab Saudi. Meski keduanya menganut agama yang sama tapi masing-masing memiliki kekhasan budaya.

“Islam kita itu ya Islam Indonesia bukan Islam Saudi Arabia, bukan berarti kalau tidak pakai jubah dan sorban Islam kita tidak diterima,” katanya saat membuka Pameran Seni Rupa Nasirun di Bentara Budaya Yogyakarta, Selasa (2/10).

Kiai yang akrab disapa Gus Mus ini berpesan kepada umat Islam di Indonesia untuk meneladani Nabi Muhammad SAW secara tepat. Menurut dia, Nabi termasuk pribadi yang menghargai tradisi setempat dan berperangai menyenangkan.

“Rasulullah SAW memakai jubah, sorban dan berjenggot ya karena tradisi orang Arab seperti itu. Abu Jahal juga berpakaian yang sama, berjenggot pula. Bedanya kalau Rasul wajahnya mesem (sarat senyum) karena menghargai tradisi setempat. Nah, kalau Abu Jahal wajahnya kereng (pemarah). Silahkan mau pilih yang mana?” katanya disambut gelak tawa hadirin.

Gus Mus membuka pameran yang hadir dalam bentuk tabligh seni Rubuh Rubuh Gedhang itu dengan menabuh beduk. Ia menilai, acara sejenis seharusnya diadakan bukan hanya di Yogyakarta namun juga di seluruh penjuru Nusantara. Hal ini sebagai wujud kecintaan masyarakat pribumi terhadap tradisi dan budaya di Tanah Air.

Turut mengisi pada acara ini dalang Wayang Suket Slamet Gundono, Yusuf Chudlori (Gus Yusuf) Tegalrejo, Romo Sindunata, Kirun, Marwoto, Den baguse Ngarso, Djadug dan lainya. 

Sumber : nu.or.id

Senin, 14 Oktober 2013

Enam Amalan Sunnah di Idul Adha

Idul Fitri dan Idul Adha datang sekali dalam satu tahun. Keduanya adalah hari besar Islam dengan fadhilah yang berbeda. Masing-masing memiliki keutamaannya sendiri dan juga memeiliki kesunnahan yang berbeda. 
Ibadah sunnah tahunan ini mempunyai ciri khas masing-masing, Hari Raya Idul Fitri misalnya ditengarai dengan saling bermaaf-maafan, berkunjung kesanak family dan para kerabat. Berbeda dengan Hari Raya Idul Adha yang dikenal dengan Hari Raya Kurban atau Hari Raya Haji, karena pada hari itu kegiatan kurban dan ibadah haji dilaksanakan.
Sebagai ibadah tahunan, maka hendaknya kita laksanakan dengan sesempurna mungkin dengan menjalankan semua amalan-amalan sunnah pada hari tersebut dengan niat tulus dan mengharap pahala dari Allah SWT. Berikut kesunahan yang dianjurkan oleh para ulama’,
Pertama, Mengumandangkan takbir di Masjid-masjid, Mushalla dan rumah-rumah pada malam hari raya, dimulai dari terbenamnya matahari sampai imam naik ke mimbar untuk berkhutbah pada hari raya idul fitri dan sampai hari terakhir tanggal 13 Dzulhijjah pada hari tasyriq. Karena pada malam tersebut kita dianjurkan untuk mengagungkan , memuliakan dan menghidupkannnya, anjuran ini sebagaimana terdapat dalam Kitab Raudlatut Thalibin
فَيُسْتَحَبُّ التَّكْبِيرُ الْمُرْسَلُ بِغُرُوبِ الشَّمْسِ فِي الْعِيدَيْنِ جَمِيعًا، وَيُسْتَحَبُّ اسْتِحْبَابًا مُتَأَكَّدًا، إِحْيَاءُ لَيْلَتَيِ الْعِيدِ بِالْعِبَادَةِ
 Disunahkan mengumandangkan takbir pada malam hari raya mulai terbenamnya matahari, dan sangat disunahkan juga menghidupkan malam hari raya tersebut dengan beribadah.
Sebagian fuqaha’ ada yang memberi keterangan tentang beribadah dimalam hari raya, yaitu dengan melaksanakan shalat maghrib dan isya’ berjama’ah, sampai dengan melaksanakan shalat subuh berjama’ah.
Kedua, mandi untuk shalat Id sebelum berangkat ke masjid, hal ini boleh dilakukan mulai pertengahan malam, sebelum waktu subuh, dan yang lebih utama adalah sesudah waktu subuh, dikarenakan tujuan dari mandi adalah membersihkan anggotan badan dari bau yang tidak sedap, dan membuat badan menjadi segar bugar, maka mandi sebelum waktu berangkat adalah yang paling baik. Berbeda jika mandinya setelah pertengahan malam maka kemungkinan bau badan akan kembali lagi, begitu juga kebugaran badan.
يُسَنُّ الْغُسْلُ لِلْعِيدَيْنِ، وَيَجُوزُ بَعْدَ الْفَجْرِ قَطْعًا، وَكَذَا قَبْلَهُ، ويختص بالنصف الثاني من الليل
Disunnahkan mandi untuk shalat Id, untuk waktunya boleh setelah masuk waktu subuh atau sebelum subuh, atau pertengahan malam.
Kesunahan mandi adalah untuk semua kaum muslimin, laki-laki maupun perempuan, baik yang akan akan berangkat melaksanakan shalat Id maupun bagi perempuan yang sedang udzur syar’I sehingga tidak bisa melaksanakan shalat Id.
Ketiga, disunahkan memakai wangi-wangian, memotong rambut, memotong kuku, menghilangkan bau-bau yang tidak enak, untuk memperoleh keutamaan hari raya tersebut. Pada hakikatnya hal-hal tersebut boleh dilakukan kapan saja, ketika dalam kondisi yang memungkinkan, dan tidak harus menunggu datangnya hari raya, misalnya saja seminggu sekali saat hendak melaksanakan shalat jum’at. Dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab terdapat keterangan mengenai amalan sunnah ini,
والسنة أن يتنظف بحلق الشعر وتقليم الظفر وقطع الرائحة لانه يوم عيد فسن فيه ما ذكرناه كيوم الجمعة والسنة أن يتطيب
Disunnahkan pada hari raya Id membersihkan anggota badan dengn memotong rambut, memotong kuku, menghilangkan bau badan yang tidak enak, karena amalan tersebut sebagaimana dilaksanakan pada hari jum’at, dan disunnahkan juga memakai wangi-wangian.
Keempat, memakai pakaian yang paling baik lagi bersih dan suci jika memilikinya, jika tidak memilikinya maka cukup memakai pakaian yang bersih dan suci, akan tetapi sebagian ulama’ mengatakan bahwa yang paling utama adalah memakai pakaian yang putih dan memakai serban.
Berkaitan dengan memakai pakaian putih, ini diperuntukkan bagi kaum laki-laki yang hendak mengikuti jama’ah shalat Id maupun yang tidak mengikutinya, semisal satpam atau seseorang yang bertugas menjaga keamanan lingkungan, anjurannya ini tidak terkhususkan bagi yang hendak berangkat shalat saja, melainkan kepada semuanya.
Sedangkan untuk kaum perempuan, maka cukuplah memakai pakaian yang sederhana atau pakaian yang biasa ia pakai sehari-hari, karena berdandan dan berpakaian secara berlebihan hukumnya makruh, begitu juga menggunakan wangi-wangian secara berlebihan. Dalam Kitab Raudlatut Thalibin dijelaskan,
وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَلْبَسَ أَحْسَنَ مَا يَجِدُهُ مِنَ الثِّيَابِ، وَأَفْضَلُهَا الْبِيضُ، وَيَتَعَمَّمُ. فَإِنْ لَمْ يَجِدْ إِلَّا ثَوْبًا، اسْتُحِبَّ أَنْ يَغْسِلَهُ لِلْجُمُعَةِ وَالْعِيدِ، وَيَسْتَوِي فِي اسْتِحْبَابِ جَمِيعِ مَا ذَكَرْنَاهُ، الْقَاعِدُ فِي بَيْتِهِ، وَالْخَارِجُ إِلَى الصَّلَاةِ، هَذَا حُكْمُ الرِّجَالِ. وَأَمَّا النِّسَاءُ، فَيُكْرَهُ لِذَوَاتِ الْجَمَالِ وَالْهَيْئَةِ الْحُضُورُ، وَيُسْتَحَبُّ لِلْعَجَائِزِ، وَيَتَنَظَّفْنَ بِالْمَاءِ، وَلَا يَتَطَيَّبْنَ، وَلَا يَلْبَسْنَ مَا يُشْهِرُهُنَّ مِنَ الثِّيَابِ، بَلْ يَخْرُجْنَ فِي بِذْلَتِهِنَّ.
Disunnahkan memakai pakaian yang paling baik, dan yang lebih utama adalah pakaian warna putih dan juga memakai serban. Jika hanya memiliki satu pakaian saja, maka tidaklah mengapa ia memakainya. Ketentuan ini berlaku bagi kaum laki-laki yang hendak berangkat shalat Id maupun yang tidak. Sedangkan untuk kaum perempuan cukupla ia memakai pakaian biasa sebagaimana pakaian sehari-hari, dan janganlah ia berlebih-lebihan dalam berpakaian serta memakai wangi-wangian.
Sabda Nabi SAW berikut memberi penjelasan tentang memakai pakaian yang paling baik, riwayat dari Sahabat Ibnu Abbas RA,
كَانَ يلبس في العيد برد حبرة
Rasulullah SAW di hari raya Id memakai Burda Hibarah (pakaian yang indah berasal dari yaman).
Kelima, ketika berjalan menuju ke masjid ataupun tempat shalat Id hendaklah ia berjalan kaki karena hal itu lebih utama, sedangkan untuk para orang yang telah berumur dan orang yang tidak mampu berjalan, maka boleh saja ia berangkat dengan menggunakan kendaraan. Dikarenakan dengan berjalan kaki ia bisa bertegur sapa mengucapkan salam dan juga bisa bermushafahah (Bersalam-salaman) sesama kaum muslimin. Sebagaimana sabda Nabi SAW riwayat dari Ibnu Umar,
كَانَ يَخْرُجُ إلَى الْعِيدِ مَاشِيًا وَيَرْجِعُ مَاشِيًا
Rasulullah SAW berangkat untuk melaksanakan shalat Id dengan berjalan kaki, begitupun ketika pulang tempat shalat Id.
Selain itu dianjurkan juga berangkat lebih awal supaya mendapatkan shaf atau barisan depan, sembari menunggu shalat Id dilaksanakan ia bisa bertakbir secara bersama-sama di masjid dengan para jama’ah yang telah hadir. Imam Nawawi dalam Kitabnya Raudlatut Thalibin menerangkan anjuran tersebut,
السُّنَّةُ لِقَاصِدِ الْعِيدِ الْمَشْيُ. فَإِنْ ضَعُفَ لِكِبَرٍ، أَوْ مَرَضٍ، فَلَهُ الرُّكُوبُ، وَيُسْتَحَبُّ لِلْقَوْمِ أَنْ يُبَكِّرُوا إِلَى صَلَاةِ الْعِيدِ إِذَا صَلَّوُا الصُّبْحَ، لِيَأْخُذُوا مَجَالِسَهُمْ وَيَنْتَظِرُوا الصَّلَاة
Bagi yang hendak melaksanakan shalat Id disunahkan berangkat dengan berjalan kaki, sedangkan untuk orang yang telah lanjut usia atau tidak mampu berjalan maka boleh ia menggunakan kendaraan. Disunnahkan juga berangkat lebih awal untuk shalat Id setelah selesai mengerjakan shalat subuh, untuk mendapatkan shaf atau barisan depan sembari menunggu dilaksanakannya shalat.
Keenam, untuk Hari Raya Idul Adha disunnahkan makan setelah selesai melaksanakan shalat Id, berbeda dengan Hari Raya Idul Fitri disunahkan makan sebelum melaksanakan shalat Id. Pada masa Nabi SAW makanan tersebut berupa kurma yang jumlahnya ganjil, entah itu satu biji, tiga biji ataupun lima biji, karena makanan pokok orang arab adalah kurma. Jika di Indonesia makanan pokok adalah nasi, akan tetapi jika memiliki kurma maka hal itu lebih utama, jika tidak mendapatinya maka cukuplah dengan makan nasi atau sesuai dengan makanan pokok daerah tertentu.
 عن بريدة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يخرج يوم الفطر حتى يطعم ويوم النحر لا يأكل حتي يرجع
Diriwayatkan dari Sahabat Buraidah RA, bahwa Nabi SAW tidak keluar pada hari raya Idul Fitri sampai beliau makan, dan pada hari raya Idul Adha sehingga beliau kembali kerumah.
Diriwayatkan juga dari Sahabat Anas RA,  
أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا يَخْرُجُ يوم الفطر حتى يأكل تمرات ويأكلهن وترا
Rasulullah SAW tidak keluar pada hari raya Idul Fitri sampai beliau makan beberapa kurma yang jumlahnya ganjil.
Dengan demikian, anjuran makan pada hari raya Idul Adha adalah setelah selesai melaksanakan shalat Id, alanglah lebih baik jika ia makan kurma sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, akan tetapi jika tidak mendapati kurma, bolehnya ia makan dengan yang lain, misalnya nasi bagi rakyat Indonesia, disesuaikan dengan makanan pokok daerah tertentu.

Selasa, 08 Oktober 2013

KATA-KATA MUTIARA GUS MUS

1. Kebenaran kita berkemungkinan salah, kesalahan orang lain berkemungkinan benar. Hanya kebenaran Tuhan yang benar-benar benar.

2. Jangan banyak mencari banyak, carilah berkah. Banyak bisa didapat dengan hanya meminta. Tapi memberi akan mendatangkan berkah.

3. Tidak ada alasan untuk tak bersedekah kepada sesama. Karena sedekah tidak harus berupa harta. Bisa berupa ilmu, tenaga, bahkan senyum.

4. Apa yang kita makan, habis. Apa yang kita simpan, belum tentu kita nikmat. Apa yang kita infakkan justru menjadi rizki yang paling kita perlukan kelak.

5. Abadikan kebaikanmu dengan melupakannya.

6. Tawakkal mengiringi upaya. Doa menyertai usaha.

7. “Berkata baik atau diam” adalah pesan Nabi yang sederhana tapi sungguh penting dan berguna untuk diamalkan dan disosialisasikan.

8. Janganlah setan terang-terangan engkau laknati dan diam-diam engkau ikuti.

9. Mau mencari aib orang? Mulailah dari dirimu!

10. Hati yang bersih dan pikiran yang jernih adalah sesuatu anugerah yang sungguh istimewa. Berbahagialah mereka yang mendapatkannya.

11. Meski sudah tahu bahwa memakai kaca mata hitam pekat membuat dunia terlihat gelap, tetap saja banyak yang tak mau melepaskannya.

12. Awalilah usahamu dengan menyebut nama Tuhanmu dan sempurnakanlah dengan berdoa kepadaNya.

13. Wajah terindahmu ialah saat engkau tersenyum. Dan senyum terindahmu ialah yang terpantul dari hatimu yang damai dan tulus.

14. Ada pertanyaan yang ‘tidak bertanya’; maka ada jawaban yang ‘tidak menjawab’. Begitu.

15. Sambutlah pagi dengan menyalami mentari, menyapa burung-burung, menyenyumi bunga-bunga, atau mendoakan kekasih. Jangan awali harimu dengan melaknati langit!

16. Kalau Anda boleh meyakini pendapatmu, mengapa orang lain tidak boleh?


(Dikutip dari: Mencari Bening Air Mata Renungan A Mustofa Bisri karya Gus Mus dan di twitter beliau serta di website beliau www.gusmus.net).

Senin, 07 Oktober 2013

Sidang Itsbat: 1 Dzulhijjah Ahad, Idul Adha 15 Oktober 2013

Pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) menetapkan 1 Dzulijjah 1434 H jatuh pada Ahad, 6 Oktober 2013. Penetapan ini sekaligus menegaskan bahwa hari raya Idul Adha (10 Dzulhijjah) dilaksanakan 15 Oktober 2013.
Keputusan tersebut disepakati dalam Sidang Itsbat Awal Dzulhijjah 1434 H yang diselenggarakan Kemenag di Jakarta, Sabtu (5/10) setelah menerima laporan dari beberapa titik pemantauan hilal (rukyatul hilal) di Indonesia.

Sidang Itsbat dipimpin Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kemenag Abdul Djamil. Dia menuturkan, penetapan awal bulan haji ini didasarkan hisab yang menyatakan ketinggian hilal lebih dari dua derajat, sudut elongasi lebih dari tiga derajat, dan umur bulan lebih dari delapan jam, serta laporan tim rukyat yang berhasil melihat hilal.

“Maka diputuskan awal Dzulhijah jatuh pada Ahad, 6 Oktober 2013 dan Hari Raya Idul Adha jatuh pada Selasa, 15 Oktober 2013," katanya.

Sebelumnya, sebagaimana dilansir situs resmi Bimas Islam Kemenag, Kasubdit Pembinaan Syariah dan Hisab Rukyat Kemenag Dr H Ahmad Izzuddin menjelaskan, Tim Hisab Rukyat Kemenag berkesimpulan bahwa ijtimak menjelang awal Zulhijjah 1434 H M terjadi Sabtu ini, bertepatan pada 29 Zulqa’dah 1434 H sekitar pukul 07.35 WIB.

Saat matahari terbenam pada tanggal tersebut, papar Izzuddin, posisi hilal antara 02° 48' 52.33” (dua derajat empat puluh delapan menit enam detik) sampai 04° 44' 00.00 (empat derajat empat puluh empat menit).

Tim Hisab Kemenag juga menilai, penetapan ini sudah memenuhi syarat dengan kriteria penetapan awal bulan hijriyah tentang posibilitas keterlihatan bulan sabit (imkanur rukyat) dua derajat.

Selasa, 01 Oktober 2013

Kenapa Orang Gila Selalu Sehat?

Pernahkah anda berpikir, mengapa orang gila selalu sehat? Apa rahasianya? Beberapa kali kita berusaha memikirkan mengapa orang gila tidak pernah sakit? Tidak pernah kita melihat sekali pun ada orang gila kerokan di pinggir jalan, meminum obat, memakai koyok, atau bahkan sakit gigi sekalipun. Jawabannya adalah KARENA MEREKA TIDAK PERNAH STRESS !!!


Orang gila tidak pernah sakit karena mereka tidak pernah stress. Mereka tidak pernah berpikir macam-macam. Makanan apa pun mereka makan. Tidak seperti kita. Sudah ada ayam goreng, masih mencari sate kambing. Sudah ada soto kerbau, masih mencari pizza, hotdog, dan lain sebagainya. Sedangkan orang gila tidak pernah minta makanan macam-macam. Makanan apapun asal namanya makanan tetap mereka makan. Bahkan nasi basi pun mereka makan.

Kedua, orang gila itu selalu qona'ah. Mereka itu triman. Menerima apa pun pemberian Allah kepadanya. Tidak pernah menuntut macam-macam. Tidak seperti kita. Sudah diberi sepeda, masih minta motor. Sudah punya motor, masih minta mobil. Rumah sudah bagus, masih saja selalu merasa ada yang kurang. Akhirnya beli ini beli itu, renovasi ini renovasi itu. Ujungnya hutang sana sini untuk kebutuhan tersebut. Nah, ketika hutangnya sudah menggunung, jatuh sakitlah dia.

Orang gila itu entah punya pakaian ataupun tidak, mereka santai saja. Kalau mengantuk, ya tidur saja. Mereka tidak butuh tikar, apalagi kasur atau springbed. Ada lho diantara kita yang tidak bisa tidur di atas tikar. Gara-garanya karena sudah terbiasa tidur di springbed. Tidur tanpa AC juga tidak bisa.

Orang gila jarang sakit juga adalah karena mereka selalu berbahagia. Nyatanya mereka tampak selalu tersenyum. Betul kan? Orang yang selalu tersenyum pasti hatinya bahagia dan tenteram. Everething is running well, bahasa kerennya. Semuanya berlalu dengan baik-baik saja. Tidak pernah ada masalah. Kalaupun ada masalah, dia menganggap itu sebagai hiburan yang menyenangkan. Makanya dia senantiasa tersenyum.



Nah, kalau anda semua ingin selalu sehat jadilah "orang gila". Maksudnya, hiduplah dengan qona'ah, narimo, tidak usah punya keinginan macam-macam dan selalulah tersenyum. Mudah-mudahan anda sehat selalu walaupun selalu dan terus tersenyum.

--

Senin, 30 September 2013

SELAMATAN HARI KE-3, 7, 40, 100, SETAHUN, DAN 1000 HARI

Hukum selamatan hari ke-3, 7, 40, 100, setahun, dan 1000 hari dalam syari'at Islam diambil dari kitab "Al-Hawi lil Fatawi" karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2 halaman 178 sebagai berikut:

قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال
قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام , قال الحافظ ألو نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن سفيان قال: قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام

Artinya:
"Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Asyja'i dari Sufyan sambil berkata: TelaH berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi'in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.

Telah berkata al-Hafiz Abu Nu'aim di dalam kitab Al-Jannah: Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Malik, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepadaku Ubay, telah menceritakan kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah menceritakan kepadaku al-Asyja'i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut."

Selain itu, di dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 194 diterangkan sebagai berikut:

ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول

ِArtinya:
"Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat."

Tambahan:
=======
Anjuran Selamatan Kematian:
http://www.sarkub.com/2011/anjuran-untuk-tahlilan-7-hari-berturut-turut/

Mengapa para ulama mengajarkan kepada umat Islam agar selalu mendoakan keluarganya yang telah meninggal dunia selama 7 hari berturut-turut ?

Telah banyak beredar dari kalangan salafi wahhabi yang menyatakan bahwa tradisi tahlilan sampai tujuh hari diadopsi dari adat kepercayaan agama Hindu. Benarkah anggapan dan asumsi mereka ini?
Sungguh anggapan mereka salah besar dan vonis yang tidak berdasar sama sekali. Justru ternyata tradisi tahlilan selama tujuh hari dengan menghidangkan makanan, merupakan tradisi para sahabat Nabi Muhammad Saw dan para tabi’in.

Imam Ahmad bin Hanbal, seorang ahli hadits kenamaan mengatakan bahwa beliau mendapatkan riwayat dari Hasyim bin al-Qasim, yang mana beliau meriwayatkan dari Al-Asyja’i, yang beliau sendiri mendengar dari Sofyan, bahwa Imam Thawus bin Kaisan radliyallahu ‘anhu pernah berkata :

إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا، فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام

“Sesungguhnya orang mati difitnah (diuji dengan pertanyaan malaikat) didalam quburnya selama 7 hari, dan “mereka” menganjurkan (mensunnahkan) agar memberikan makan (pahalanya) untuk yang meninggal selama 7 hari tersebut”.

Riwayat ini sebutkan oleh Imam Ahmad Ahmad bin Hanbal didalam az-Zuhd [1]. Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) juga menyebutkannya didalam Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyah.[2] Sedangkan Thawus bin Kaisan al-Haulani al-Yamani adalah seorang tabi’in (w. 106 H) ahli zuhud, salah satu Imam yang paling luas keilmuannya. [3] Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974) dalam al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubraa dan Imam al-Hafidz as-Suyuthi (w. 911 H) dalam al-Hawil lil-Fatawi mengatakan bahwa dalam riwayat diatas mengandung pengertian bahwa kaum Muslimin telah melakukannya pada masa Rasulullah, sedangkan Rasulullah mengetahui dan taqrir terhadap perkara tersebut. Dikatakan (qil) juga bahwa para sahabat melakukannya namun tidak sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam. Atas hal ini kemudian dikatakan bahwa khabar ini berasal dari seluruh sahabat maka jadilah itu sebagai Ijma’, dikatakan (qil) hanya sebagian shahabat saja, dan masyhur dimasa mereka tanpa ada yang mengingkarinya. [4]

Ini merupakan anjuran (kesunnahan) untuk mengasihi (merahmati) mayyit yang baru meninggal selama dalam ujian didalam kuburnya dengan cara melakukan kenduri shadaqah makan selama 7 hari yang pahalanya untuk mayyit. Kegiatan ini telah dilakukan oleh para sahabat, difatwakan oleh mereka. Sedangkan ulama telah berijma’ bahwa pahala hal semacam itu sampai dan bermanfaat bagi mayyit.[5] Kegiatan semacam ini juga berlangsung pada masa berikutnya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam al-Hafidz as-Suyuthiy ;

“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku (al-Hafidz) bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (masa al-Hafidz) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasai awal Islam. Dan didalam kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’. [6]

Shadaqah seperti yang dilakukan diatas berlandaskan hadits Nabi yang banyak disebutkan dalam berbagai riwayat. [7] Lebih jauh lagi dalam hadits mauquf dari Sayyidina Umar bin Khaththab, disebutkan dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (5/328) lil-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852) sebagai berikut :

قال أحمد بن منيع حدثنا يزيد بن هارون حدثنا حماد بن سلمة عن علي بن زيد عن الحسن عن الحنف بن قيس قال كنت أسمع عمر رَضِيَ الله عَنْه يقول لا يدخل أحد من قريش في باب إلا دخل معه ناس فلا أدري ما تأويل قوله حتى طعن عمر رَضِيَ الله عَنْه فأمر صهيبا رَضِيَ الله عَنْه أن يصلي بالناس ثلاثا وأمر أن يجعل للناس طعاماً فلما رجعوا من الجنازة جاؤوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه فجاء العباس بن عبد المطلب رَضِيَ الله عَنْه فقال يا أيها الناس قد مات الحديث وسيأتي إن شاء الله تعالى بتمامه في مناقب عمر رَضِيَ الله عَنْه

“Ahmad bin Mani’ berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun, menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari ‘Ali bin Zayd, dari al-Hasan, dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku pernah mendengar ‘Umar radliyallahu ‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali seseorang masuk menyertainya, maka aku tidak mengerti apa yang maksud perkataannya sampai ‘Umar radliyallahu ‘anh di tikam, maka beliau memerintahkan Shuhaib radliyallahu ‘anh agar shalat bersama manusia selama tiga hari, dan juga memerintahkan agar membuatkan makanan untuk manusia. Setelah mereka kembali (pulang) dari mengantar jenazah, dan sungguh makanan telah dihidangkan, maka manusia tidak mau memakannya karena sedih mereka pada saat itu, maka sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib radliyallahu ‘anh datang, kemudian berkata ; wahai.. manusia sungguh telah wafat .. (al-hadits), dan InsyaAllah selengkapnya dalam Manaqib ‘Umar radliyallah ‘anh”.

Hikmah dari hadits ini adalah bahwa adat-istiadat amalan seperti Tahlilan bukan murni dari bangsa Indonesia, melainkan sudah pernah dicontohkan sejak masa sahabat, serta para masa tabi’in dan seterusnya. Karena sudah pernah dicontohkan inilah maka kebiasaan tersebut masih ada hingga kini.

Riwayat diatas juga disebutkan dengan lengkap dalam beberapa kitab antara lain Ithaful Khiyarah (2/509) lil-Imam Syihabuddin Ahmad bin Abi Bakar al-Bushiriy al-Kinani (w. 840).

وعن الأحنف بن قيس قال: “كنت أسمع عمر بن الحنطاب- رضي الله عنه- يقول: لا يدخل رجل من قريش في باب إلا دخل معه ناس. فلا أدري ما تأويل قوله، حتى طعن عمر فأمر صهيبا أن يصلي بالناس ثلاثا، وأمر بأن يجعل للناس طعاما، فلما رجعوا من الجنازة جاءوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه، فجاء العباس بن عبد المطلب قال: يا أيها الناس، قد مات رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فأكلنا بعده وشربنا، ومات أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا، أيها الناس كلوا من هذا الطعام. فمد يده ومد الناس أيديهم فأكلوا، فعرفت تأويل قوله “.رواه أحمد بن منيع بسند فيه علي بن زيد بن جدعان

“Dan dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku mendengar ‘Umar bin Khaththab radliyallahu ‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali manusia masuk bersamanya. Maka aku tidak maksud dari perkataannya, sampai ‘Umar di tikam kemudian memerintahkan kepada Shuhaib agar shalat bersama manusia dan membuatkan makanan hidangan makan untuk manusia selama tiga hari. Ketika mereka telah kembali dari mengantar jenazah, mereka datang dan sungguh makanan telah dihidangkan namun mereka tidak menyentuhnya karena kesedihan pada diri mereka. Maka datanglah sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib, seraya berkata : “wahai manusia, sungguh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam telah wafat, dan kita semua makan dan minum setelahnya, Abu Bakar juga telah wafat dan kita makan serta minum setelahnya, wahai manusia.. makanlah oleh kalian dari makanan ini, maka sayyidina ‘Abbas mengulurkan tanggan (mengambil makanan), diikuti oleh yang lainnya kemudian mereka semua makan. Maka aku (al-Ahnaf) mengetahui maksud dari perkataannya. Ahmad bin Mani telah meriwayatkannya dengan sanad didalamnya yakni ‘Ali bin Zayd bin Jud’an”.

Disebutkan juga Majma’ az-Zawaid wa Manba’ul Fawaid (5/159) lil-Imam Nuruddin bin ‘Ali al-Haitsami (w. 807 H), dikatakan bahwa Imam ath-Thabrani telah meriwayatkannya, dan didalamnya ada ‘Ali bin Zayd, dan haditsnya hasan serta rijal-rijalnya shahih ; Kanzul ‘Ummal fiy Sunanil Aqwal wa al-Af’al lil-Imam ‘Alauddin ‘Ali al-Qadiriy asy-Syadili (w. 975 H) ; Thabaqat al-Kubra (4/21) lil-Imam Ibni Sa’ad (w. 230 H) ; Ma’rifatu wa at-Tarikh (1/110) lil-Imam Abu Yusuf al-Farisi al-Fasawi (w. 277 H) ; Tarikh Baghdad (14/320) lil-Imam Abu Bakar Ahmad al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H).

Imam Suyuthi Rahimahullah dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi-nya mengtakan :

قال طاووس : ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام

“ Thowus berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “.

Sementara dalam riwayat lain :

عن عبيد بن عمير قال : يفتن رجلان مؤمن ومنافق, فاما المؤمن فيفتن سبعا واماالمنافق فيفتن اربعين صباحا

“ Dari Ubaid bin Umair ia berkata: “Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari “.

Dalam menjelaskan dua atsar tersebut imam Suyuthi menyatakan bahwa dari sisi riwayat, para perawi atsar Thowus termasuk kategori perawi hadits-hadits shohih.
Thowus yang wafat tahun 110 H sendiri dikenal sebagai salah seorang generasi pertama ulama negeri Yaman dan pemuka para tabi’in yang sempat menjumpai lima puluh orang sahabat Nabi Saw. Sedangkan Ubaid bin Umair yang wafat tahun 78 H yang dimaksud adalah al-Laitsi yaitu seorang ahli mauidhoh hasanah pertama di kota Makkah dalam masa pemerintahan Umar bin Khoththob Ra.

Menurut imam Muslim beliau dilahirkan di zaman Nabi Saw bahkan menurut versi lain disebutkan bahwa beliau sempat melihat Nabi Saw. Maka berdasarkan pendapat ini beliau termasuk salah seorang sahabat Nabi Saw.

Sementara bila ditinjau dalam sisi diroyahnya, sebgaimana kaidah yang diakui ulama ushul dan ulama hadits bahwa: “Setiap riwayat seorang sahabat Nabi Saw yang ma ruwiya mimma la al-majalla ar-ra’yi fiih (yang tidak bisa diijtihadi), semisal alam barzakh dan akherat, maka itu hukumnya adalah Marfu’ (riwayat yang sampai pada Nabi Saw), bukan Mauquf (riwayat yang terhenti pada sahabat dan tidak sampai kepada Nabi Saw).

Menurut ulama ushul dan hadits, makna ucapan Thowus ;

ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام

berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “, adalah para sahabat Nabi Saw telah melakukannya dan dilihat serta diakui keabsahannya oleh Nabi Saw sendiri.

(al-Hawi) li al-Fatawi, juz III hlm. 266-273, Imam As-Suyuthi).

Maka tradisi bersedekah selama mitung dino / tujuh hari atau empat puluh hari pasca kematian, merupakan warisan budaya dari para tabi’in dan sahabat Nabi Saw, bahkan telah dilihat dan diakui keabsahannya pula oleh beliau Nabi Muhammad Saw.

Wallahu A’lam.

[1] Lihat : Syarah ash-Shudur bisyarhi Hal al-Mautaa wal Qubur ; Syarah a-Suyuthi ‘alaa Shahih Muslim, Hasyiyah as-Suyuthi ‘alaa Sunan an-Nasaa’i dan al-Hafi lil-Fatawi lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi ; Lawami’ al-Anwar al-Bahiyyah (2/9) lil-Imam Syamsuddin Muhammad as-Safarainy al-Hanbali (w. 1188 H) ; Sairus Salafush Shalihin (1/827) lil-Imam Isma’il bin Muhammad al-Ashbahani (w. 535 H) ; Imam al-Hafidz Hajar al-Asqalani (w. 852 H) didalam al-Mathalibul ‘Aliyah (834).

[2] Lihat : Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyaa’ lil-Imam Abu Nu’aim al-Ashbahaniy : “menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Malik, menceritakan kepada kami Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, menceritakan kepada kami ayahku (Ahmad bin Hanbal), menceritakan kepada kami Hisyam bin al-Qasim, menceritakan kepada kami al-Asyja’iy, dari Sufyan, ia berkata : Thawus telah berkata : “sesungguhnya orang mati di fitnah (diuji oleh malaikat) didalam kuburnya selama 7 hari, maka ‘mereka’ menganjurkan untuk melakukan kenduri shadaqah makan yang pahalanya untuk mayyit selama 7 hari tersebut”.

[3] Lihat : al-Wafi bil Wafiyaat (16/236) lil-Imam ash-Shafadi (w. 764 H), disebutkan bahwa ‘Amru bin Dinar berkata : “aku tidak pernah melihat yang seperti Thawus”. Dalam at-Thabaqat al-Kubra li-Ibni Sa’ad (w. 230 H), Qays bin Sa’ad berkata ; “Thawus bagi kami seperti Ibnu Siirin (sahabat) bagi kalian”.

[4] Lihat ; al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra (2/30-31) lil-Imam Syihabuddin Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami ; al-Hawi al-Fatawi (2/169) lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthiy.

[5] Lihat : Syarah Shahih Muslim (3/444) li-Syaikhil Islam Muhyiddin an-Nawawi asy-Syafi’i.

[6] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/179) lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi.

(Dikutip dan di tata ulang seperlunya dari Abi Firas dan Ibn Abdillah Al-Katiby)