Terima kasih atas kunjungan anda !!!! KAMI SIAP MENYAMPAIKAN AMANAH ANDA KEPADA YANG BERHAK

Senin, 23 Juni 2014

SEMUA JENIS AMALAN PAHALANYA BISA DIHADIAHKAN KE MAYIT

PERTANYAAN :

Assalaamu'alaikum.. Kita semua tentu telah ma'lum,bahwa diperbolehkan menghadiahkan pahala amalan amalan ibadah kita pada mayit. Pertanyaannya "apakah semua jenis amalan ibadah bisa dihadiahkan pada mayit,atau hanya amalan ibadah tertentu saja yang bisa dihadiahkan pada mayit ? "
JAWABAN :

1.
Wa alaikumus salaam warohmatulloh, barang siapa yang beramal untuk dirinya sendiri kemudian mengucapkan "Yaa Allah semoga Engkau jadikan pahalanya untuk si fulan", maka pahala tersebut akan sampai kepada sifulan, baik masih hidup maupun sudah meninggal.
و في فتاوي شيخنا سعيد سنبل "من عمل لنفسه ثم قال اللهم اجعل ثوابه لفلان وصل له الثواب سواء حيا أو ميتا أي و سواء بطريق التبعية أو الإستقلال.
بغية المسترشدين ص :١٩٦ 
عن ابن عمر ما على أحدكم إذا أراد أن يتصدق لله صدقة تطوع أن يجعلها عن والديه إذا كانا مسلمين فيكون أجرها لهما و له مثل أجورهما بغير أن ينقص من أجورهما شيأ.
إرشاد العباد ص : ٣٥-٣٦
2.
الكتاب : تحقيق الآمال في ما ينفع الميت من الأعمال
الخلاصةقال شيخنا الإمام العلامة محمد العربي التباني المكي:
وقد تحقق وتلخص من كلام العلماء أن أربعة يصل ثوابها للميت بالإجماع. وهي: الصدقة، والدعاء، والاستغفار، وأداء الواجبات التي تقبل النية كأداء الدين عنه،
وأن الصوم يصح عنه ويصله ثوابه عند الإمام الشافعي في القديم وأبي ثور والمحققين من المحدثين، لعموم حديث عائشة رضي الله عنها عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم أنه قال: ((من مات وعليه صوم، صام عنه وليه))
وتحقق أيضاً أن القراءة على الأموات فعلها السلف الصالح كما هو مستفاد من كلام ابن قدامة وابن القيم وغيرهما من المنقول عن الأئمة الأقدمين من أهل الأثر كالخلال وغيره،
وأن عمل المسلمين شرقاً وغرباً لم يزل مستمراً عليها، وأنهم وقفوا على ذلك أوقافاً كما في فتوى الإمام ابن رشد المالكي، وكلام السيوطي الشافعي المنقول عن ابن عبد الواحد المقدسي الحنبلي وعن غيره، وكلام ابن قدامة في مغنيه، وابن القيم في كتابه الروح، بل صرح ابن قدامة وابن عبد الواحد المقدسي فيما نقله عنه السيوطي بإجماع المسلمين فيها، وخصها الثاني منهما بتأليف، كما ألف فيها السروجي وسعد الدين الديري الحنفيان وغيرهما، وقال ابن القيم: وهذا عمل سائر الناس حتى المنكرين في سائر الأعصار والأمصار من غير نكير من العلماء،
ونسب وصولها لجمهور السلف، والإمام أحمد، وعدمه إلى أهل البدع من أهل الكلام، وكذلك السيوطي وجمهور السلف والأئمة الثلاثة على الوصول، والعلامة المرغيناني الحنفي قال: للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة أو صوماً أو صدقة أو غيرها عند أهل السنة والجماعة، وكذلك قال البدر العيني الحنفي: يصل إلى الميت جميع أنواع البر من صلاة أو صوم أو حج أو صدقة أو قراءة قرآن أو ذكر إلى غير ذلك، والآثار الدالة على جواز انتفاع الشخص بعمل الغير كثيرة، قال العلامة المحقق الكمال بن الهمام: يبلغ القدر المشترك بين الكل ـ وهو أن من جعل شيئاً من
الصالحات لغيره نفعه الله به ـ مبلغ التواتر
3.
Semua jenis ibadah bisa di hadiahkan pada mayit :
وقال المحب الطبري : يصل للميت كل عبادة تفعل، واجبة أو مندوبة. وفي شرح المختار لمؤلفه: مذهب أهل السنة، أن للإِنسان أن يجعل ثواب عمله وصلاته لغيره ويصله.
إعانة الطالبين ج 1 ص20
وَنَقَلَ الْأَذْرَعِيُّ عَنْ شَرْحِ التَّنْبِيهِ لِلْمُحِبِّ الطَّبَرِيِّ أَنَّهُ يَصِلُ لِلْمَيِّتِ ثَوَابُ كُلِّ عِبَادَةٍ تُفْعَلُ عَنْهُ وَاجِبَةً كَانَتْ أَوْ مُتَطَوَّعًا عَنْهُ انْتَهَى
وَكُتُبُ الْحَنَفِيَّةِ نَاصَّةٌ عَلَى أَنَّ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ لِغَيْرِهِ صَلَاةً أَوْ صَوْمًا أَوْ صَدَقَةً وَفِي شَرْحِ الْمُخْتَارِ لِمُؤَلِّفِهِ مِنْهُمْ
مَذْهَبُ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ أَنَّ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ وَصَلَاتَهُ لِغَيْرِهِ وَيَصِلُهُ وَعَلَيْهِ فَلَا يَبْعُدُ أَنَّهُ لَهُ الصَّلَاةُ وَغَيْرُهَا عَنْهُ وَصَحَّ فِي الْبُخَارِيِّ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا أَنَّهُ أَمَرَ مَنْ مَاتَتْ أُمُّهَا وَعَلَيْهَا صَلَاةٌ أَنْ تُصَلِّيَ عَنْهَا وَالظَّاهِرُ أَنَّهُ لَا يَقُولُهُ إلا تَوْقِيفًا إيعَابٌ.
تحفة المحتاج
Wallohu a'lam bis showab.

Cak Nun: Pilih Presiden Bukan karena Iming-iming!

Sragen, NU Online
Emha Ainun Najib mengajak warga untuk menggunakan hak pilih pada pemilihan presiden dan wakil presiden pada 9 Juli nanti dengan niat karena Allah, bukan karena iming-iming. Ia menyampaikan hal itu pada taushiyah peringatan akhirusannah Pondok Pesantren Walisongo Sungkul Plumbungan Karangmalang Sragen.

“Jangan lupa tanggal 9 Juli nanti, sebagai warga negara Indonesia silakan menggunakan hak pilihnya untuk ikut andil dalam pesta demokrasi, namun kami berpesan jika sudah sampai bilik suara, jangan lupa mengucap bismillah niat saya memilih presiden karena Allah,” ungkap Cak Nun kepada para jama’ah, Sabtu (21/6) di lapangan Desa Plumbungan.

Menurut pria yang akrab disapa Cak Nun ini, jangan sampai kita memilih presiden karena ada iming-iming sesuatu atau mencari sesuatu.

“Jadi ketika sudah berniat karena Allah, entah pilihan kita jadi atau tidak itu adalah kehendak Allah dan insya’Allah orang yang niatnya benar akan bisa menerima hasil apa pun,” tegasnya.

Menurut Cak Nun, orang yang berselisih paham hingga menimbulkan permusuhan, itu terkadang justru melupakan hal yang pokok yang seharusnya menjadi prioritas. “Orang banyak yang meributkan tentang keripik singkong, gethuk singkong, dan makanan lain yang terbuat dari singkong, namun lupa bagaimana menanam singkong agar berkualitas,” sindirnya.

Oleh karena itu, lanjut dia, sekarang bukan saatnya untuk mencaci dan memuji, tapi kedamaian dan ketentraman harus diutamakan karena itu adalah hal pokok yang menjadi salah satu tujuan demokrasi itu sendiri.

Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, Dan Dzulhijjah

بسم الله الرحمن الرحيم
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 2 Tahun 2004
Tentang
PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL,
DAN DZULHIJJAH


Majelis Ulama Indonesia, setelah :

MENIMBANG  :  

a.  bahwa umat Islam Indonesia dalam melaksanakan puasa Ramadan, salat Idul Fitr dan Idul Adha, serta ibadah-ibadah lain yang terkait dengan ketiga bulan tersebut terkadang tidak dapat melakukannya pada hari dan tanggal yang sama disebabkan perbedaan dalam penetapan awal bulan-bulan tersebut;

b.  bahwa keadaan sebagaimana tersebut pada huruf a dapat menimbulkan citra dan dampak negatif terhadap syi’ar dan dakwah Islam;

c.  bahwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada tanggal 22 Syawwal 1424 H./16 Desember 2003 telah menfatwakan tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, sebagai upaya mengatasi hal di atas;

d.  bahwa oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah dimaksud untuk dijadikan pedoman.

MENGINGAT  : 

1.  Firman Allah SWT, antara lain

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu…(QS Yunus [10]: 5)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan ulil-amri di antara kamu. (QS. an-Nisa’ [4]: 59)

2.  Hadis-hadis Nabi s.a.w., antara lain

لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ، وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ (رواه البخاري ومسلم عن ابن عمر 94

 “Janganlah kamu berpuasa (Ramadhan) sehingga melihat tanggal (satu Ramadhan) dan janganlah berbuka (mengakhiri puasa Ramadhan) sehingga melihat tanggal (satu Syawwal). Jika dihalangi oleh awan/mendung maka kira-kirakanlah”.(H.R. Bukhari Muslim dari Ibnu Umar)

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ

“Berpuasalah (Ramadhan) karena melihat tanggal (satu Ramadhan). Dan berbukalah (mengakhiri puasa Ramadhan) karena melihat tanggal (satu Syawwal). Apabila kamu terhalangi, sehingga tidak dapat melihatnya maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga puluh hari”. (Bukhari Muslim dari Abu Hurairah).

عَلَيْكُمْ بِالسَّمْعِ، وَالطَّاعَةِ وَإِنْ وُلِّيَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيُّ

“Wajib bagi kalian untuk taat (kepada pemimpin), meskipun yang memimpin kalian itu seorang hamba sahaya Habsyi”. (H.R. Bukhari dari Irbadh bin Sariyah).

3.  Qa’idah fiqh:

حُكْمُ الْحَاكِمِ إلْزَامٌ وَيَرْفَعُ الْخِلَافَ

“Keputusan pemerintah itu mengikat (wajib dipatuhi) dan menghilangkan silang pendapat”.

MEMPERHATIKAN  : 
1.  Pendapat para ulama ahli fiqh; antara lain pendapat Imam al-Syarwani dalam Hasyiyah al-Syarwani:

وَمَحَلُّ الْخِلَافِ إذَا لَمْ يَحْكُمْ بِهِ حَاكِمٌ. فَإِنْ حَكَمَ بِهِ حَاكِمٌ يَرَاهُ وَجَبَ الصَّوْمُ عَلَى الْكَافَّةِ وَلَمْ يُنْقَضْ الْحُكْمُ إجْمَاعًا قَالَهُ النَّوَوِيُّ فِي مَجْمُوعِهِ وَهُوَ صَرِيحٌ فِي أَنَّ لِلْقَاضِي أَنْ يَحْكُمَ بِكَوْنِ اللَّيْلَةِ مِنْ رَمَضَانَ

"Perbedaan tersebut masih dianggap apabila pemerintah belum memberikan ketetapan hukum mengenai permasalahan tersebut, jadi apabila pemerintah telah memberikan keputusan, maka semuanya wajib berpuasa, dan keputusan pemerintah tersebut tidak boleh dilanggar - berdasarkan kesepakatan para ulama' -, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab Majmu'-nya. Penjelasan tersebut sangatlah jelas bahwa seorang hakim berhak memutuskan bahwa suatu malam adalah termasuk bulan romadhon."

2.  Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, tanggal 22 Syawwal 1424/16 Desember 2003.

2.  Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 05 Dzulhijjah 1424/24 Januari
2004.

Dengan memohon ridha Allah SWT
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN  :  FATWA TENTANG PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZULHIJJAH

Pertama  :  Fatwa
1.  Penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode ru’yah dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional.
2.  Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
3.  Dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Menteri Agama
wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait.
4.  Hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla’nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.

Kedua  :  Rekomendasi
Agar Majelis Ulama Indonesia mengusa-hakan adanya kriteria penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah untuk dijadikan pedoman oleh Menteri Agama dengan membahasnya bersama ormas-or-mas Islam dan para ahli terkait.

Jakarta, 05 Dzulhijjah 1424H
24 Januari 2004 M


MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA
Ketua
ttd
K.H. Ma’ruf Amin
Sekretaris
ttd
Drs. H. Hasanuddin, M.Ag

Kamis, 19 Juni 2014

Melaksanakan ta’addud al-Jum'ah


بسم الله الرحمن الرحيم

<<<<>>>>

Sebagaimana dalam literatur kitab-kitab Syafi’iyah dan yang lain, bahwa faktor-faktor tertentu dapat menjadi alasan untuk melaksanakan shalat jumat lebih dari satu tempat dalam satu kawasan diantaranya penuhnya masjid dengan jamaah, sulitnya dipertemukan antara dua belah pihak yang berseteru, dan karena jarak yang jauh  Pada era industrialisasi dan urbanisasi pekerja dari desa ke kota saat ini, seolah menuntut ‘alasan baru’ dalam melaksanakan ta’addud al-Jum'ah, kendatipun jarak antar satu kantor instansi, pabrik, terminal, rumah sakit atau lainnya dengan tempat yang lain tidak terlalu jauh
.Namun karena ada aturan kerja yang mengikat, ketertiban pegawai, kantor yang eksklusif (tertutup) dan sebagainya, memaksa masing-masing tempat tersebut untuk mengadakan salat jumat di tempatnya sendiri-sendiri. Banyak juga dari para pekerja tersebut yang berstatus sebagai pekerja kontrak yang berasal dari luar daerah, baik yang tinggal di asrama tempat kerjanya atau menyewa tempat tinggal daerah sekitar tempat kerjanya
Pertanyaan
a. Adakah kriteria lain yang memperbolehkan ta’addud al-Jumat selain udzur penuhnya masjid dengan
Jamaah, Sulitnya dipertemukan antara dua belah pihak yang berseteru dan karena jarak yang jauh
Dan jika ada, apa batasan kriteria ta’addud al-Jumat itu

Jawab
Ada, yaitu setiap hajat (keperluan) yang sampai pada taraf masyaqqah yang secara adat tidak tertahankan
Dasar Pengambilan

الترمسي جــ 3 صــ 212 - 213
(قوله الا لعسر الاجتماع) اي يقينا وظاهره ان الاوفق لضبطهم عسر الاجتماع بان تكون فيه مشقة لا تحتمل عادة ومن صور جواز التعدد ايضا وقوع تقاتل او خصام بين اهل جانبي البلد وان لم تكن مشقة فكل فئة بلغت اربعين تلزمها اقامة الجمعة ولو نقص عدد جانب او كل عن الاربعين لم تجب عليهم فيه ولا فى الاخر تأمل اهــ


بغية المسترشدين - (1 / 164)
مسألة) : وقع حرب واختلاف بين جندين في بلدة وتحزب كل ، وخاف بعض الرعية من حضور الجمعة في جامعها الأصلي ، فأحدثوا جمعة في محلهم غير الجمعة الأصلية ، حرم عليهم إقامتها والحال ما ذكر فضلاً عن ندبها أو أنها تلزمهم ، إذ لم يقل أحد من أئمة المذهب إن المعذورين بعذر من أعذار الجمعة والجماعة إذا اجتمع منهم أربعون في جانب من البلدة الواحدة يلزمهم أن يقيموا جمعة ، بل ولا من أئمة المذاهب الثلاثة ، إلا ما نقل عن الإمام أحمد من جواز تعددها للحاجة ، وإنما الخلاف فيما إذا كان المعذورون بمحل يجوز فيه تعدد الجمعة ، كما يعلم من عبارة التحفة وغيرها. والحاصل من كلام الأئمة أن أسباب جواز تعددها ثلاثة : ضيق محل الصلاة بحيث لا يسع المجتمعين لها غالباً ، والقتال بين الفئتين بشرطه ، وبعد أطراف البلد بأن كان بمحل لا يسمع منه النداء ، أو بمحل لو خرج منه بعد الفجر لم يدركها ، إذ لا يلزمه السعي إليها إلا بعد الفجر اهـ. وخالفه ي فقال : يجوز بل يجب تعدد الجمعة حينئذ للخوف المذكور ، لأن لفظ التقاتل نص فيه بخصوصه ، ولأن الخوف داخل تحت قولهم : إلا لعسر الاجتماع ، فالعسر عام لكل عسر نشأ عن المحل أو خارجه ؟ وانحصار التعدد في الثلاث الصور التي استدل بها المجيب المتقدم ليس حقيقة ، إذ لم يحصر العذر في التحفة والنهاية وغيرهما بل ضبطوه بالمشقة ، وهذا الحصر إما من الحصر المجازي لا الحقيقي إذ هو الأكثر في كلامهم ، أو من باب حصر الأمثلة ، فالضيق لكل عسر نشأ عن المحل والبعد ، ولكل عسر نشأ عن الطريق والتقاتل ولغيرهما ، كالخوف على النفس والمال والحر الشديد والعداوة ونحوها من كل ما فيه مشقة.
 

Pertanyaan
b. Apakah faktor efisiensi waktu, keamanan, keselamatan ketika menyeberang jalan-raya, minimnya jam istirahat kerja, larangan jum'atan di luar dari pihak perusahaan, dan lain sebagainya, dapat digolongkan kriteria yang memperbolehkan ta’addud al-Jumat


Jawaban
Sama dengan jawaban sub. A
 

Dasar Pengambilan
Sama dengan ibarat sub. A
 

Pertanyaan
 c. Jika jumlah mustauthinin (penduduk tetap) dalam mendirikan salat Jumat tidak mencapai 40 orang, bahkan tidak ada sama sekali, maka bagaimana pendapat musyawirin menyikapi fenomena ini -- PCNU kota Surabaya 

Jawaban
Boleh melakukan salat Jumat, namun setelah shalat Jum'ah dianjurkan melakukan salat Dzuhur sebagai langkah ihtiyath. Sedangkan dalam masalah tidak ada mustauthin (penduduk domisili tetap) sama sekali, maka menurut pendapat al-Ashah hukumnya tidak boleh

namun menurut Muqabil al-Ashah hukumnya boleh bagi muqimin
pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Abi Hurairah dan Imam Subki

Catatan Jumlah minimal anggota jamaah salat Jum.at menurut pendapat mu'tamad dalam madzhab Syafii adalah 40 orang, tetapi ada pendapat lain dalam madzhab Syafii yang menyatakan cukup 12 orang atau 4 orang

Dasar Pengambilan
إثمد العينين هامش بغية ص 36 ط. الحرمين
قال الإمام السبكى لم يقم عندى دليل على عدم انعقاد الجمعة بالمقيم غير السمتوطن
 
المجموع شرح المهذب - (ج 4 / ص 503) المكتبة الشاملة اصدار الثانى
وأما قول المصنف هل تنعقد بمقيمين غير مستوطنين فيه وجهان مشهوران (أصحهما) لا تنعقد اتفقوا على تصحيحه ممن صححه المحاملى وامام الحرمين والبغوى والمتولي وآخرون

المهذب - (ج 1 / ص 110) المكتبة الشاملة اصدار الثانى
وهل تنعقد بمقيمين غير مستوطنين فيه وجهان قال أبو علي بن أبي هريرة تنعقد بهم لانه تلزمهم الجمعة فانعقدت بهم كالمستوطنين وقال أبو إسحاق لا تنعقد بهم لان النبي صلى الله عليه وسلم خرج إلى عرفات وكان معه أهل مكة وهم في ذلك الموضع مقيمون غير مستوطنين فلو انعقدت بهم الجمعة لا قامها


المجموع شرح المهذب - (4 / 503)
(السادس) من تلزمه وتصح منه وفى انعقادها به خلاف وهو المقيم غير المستوطن ففيه الوجهان المذكوران في الكتاب (اصحهما) لا تنعقد به ثم أطلق جماعة الوجهين في كل مقيم لا يترخص وصرح جماعة بأن الوجهين جاريان في المسافر الذى نوى اقامة اربعة ايام وهو ظاهر كلام المصنف وغيره قال الرافعي هما جاريان فيمن نوى اقامة يخرج بها عن كونه مسافرا قصيرة كانت أو طويلة وشذ البغوي فقال الوجهان فيمن طال مقامه وفى عزمه الرجوع إلى وطنه كالمتفقه والتاجر قال فان نوى اقامة اربعة ايام يعني ونحوها من الاقامة القليلة لم تنعقد به وجها واحدا والمشهور طرد الخلاف في الجميع واما اهل الخيام والقرى الذين يبلغهم نداء البلد وينقصون عن اربعين فقطع البغوي بانها لا تنعقد بهم لانهم ليسوا مقيمين في بلد الجمعة بخلاف المقيم بنية الرجوع الي وطنه وطرد المتولي فيهم الوجهين والاول اظهر


فتح المعين مع حاشية اعانة الطالبين - (ج 2 / ص 58-59)
ولا تنعقد الجمعة بأقل من أربعين، خلافا لابي حنيفة - رحمه الله تعالى - فتنعقد عنده بأربعة، ولو عبيدا أو مسافرين. ولا يشترط عندنا إذن السلطان لا قامتها ولا كون محلها مصرا، خلافا له فيهما. وسئل البلقيني عن أهل قرية لا يبلغ عددهم أربعين، هل يصلون الجمعة أو الظهر ؟ فأجاب - رحمه الله -: يصلون الظهر على مذهب الشافعي. وقد أجاز جمع من العلماء أن يصلوا الجمعة، وهو قوي، فإذا قلدوا - أي جميعهم - من قال هذه المقالة، فإنهم يصلون الجمعة. وإن احتاطوا فصلوا الجمعة ثم الظهر كان حسنا. (قوله اي غير الامام الشافعي) اي باعتبار مذهبه الجديد فلا ينافي ان له قولين قديمين فى العدد ايضا احدهما اقلهم اربعة حكاه عنه صاحب التلخيص وحكاه فى شرح المهذب واختاره من اصحابه المزني كما قاله الاذرعي وكفى به سلفا في ترجيحه فإنه من كبار اصحاب الشافعي ورواة كتبه الجديدة وقد رجحه ايضا ابو بكر بن المنذر فى الاشراف كما نقله النووي فى شرح المهذب ثاني القولين اثنا عشر وهل يجوز تقليد هذين القولين ؟ الجواب نعم فإنه قول للامام نصره بعض اصحابه ورجحه

Jumat, 13 Juni 2014

KHOTIB KENTUT DI SAAT KHUTBAH

PERTANYAAN :
Ketika khotib sedang berkhutbah jum'at, di tengah tengah khutbahnya dia buang angin ( kentut ) ,, karna malu untuk mengakui, dirinya tetap melanjutkan khutbahnya, hingga selesai. Pertanyaan nya : Bagaimana hukum khutbahnya khotib tersebut,, batal atau tidak ?? dan jika batal apakah harus mengulangi khutbah lagi ??
JAWABAN :
Batal dan wajib mengulangi khutbah lagi.
Hasyiyah Asysyarqowi 1:564
وهو متطهر من الحدث والخبث مستتر قائم فيهما عند القدرة الخ 
قوله ( من الحدث ) اى الأصغر والأكبر ، فلو حدث في اثناء الخطبة استأنفها ، 
Dan dia ( khotib ) harus suci dari hadast & najis, menutupi aurat, berdiri di dalam ke 2 khotbah ketika mampu yg di maksud perkata'an kiyai mushonnif ( dari hadast ) yaitu harus suci dari hadast kecil & hadast besar .& jika hadast di pertengahan Khutbah maka harus di mulai lagi khutbahnya. 
Wallohu a'lam bis showab.

Kamis, 05 Juni 2014

CARA MENGHILANGKAN PENYAKIT RIYA'

PERTANYAAN :
Assalamualaikum Warohmatulloh. caranya agar tidak riya' apa aja ya… sukron forever.
JAWABAN :
Wa alaikumus salaam warohmatulloh, caranya agar tidak riya' dinukil dari kitab Mau'idhotul Mukminin Syeh Jamaludin Al Qosimi.
Sudah diketahui bahwa penyakit riya' adalah suatu perkara yang bisa menghilangkan pahala amalan amalan, penyebab murkanya Allah dan termasuk dosa besar yang menghancurkan maka pantaslah utk senantiasa berusaha sekuat tenaga dalam menghilangkan penyakit ini.
Dalam penyembuhan penyakit riya' ada dua jalan:
1. mencabut akar dan dan asalnya yg menjadikan penyakit ini bercabang cabang.
2. menolaknya secara langsung ketika dia datang.
Akar dan asalnya penyakit riya' adalah cinta pangkat, cinta pangkat ini jika dirinci maka menjadi 3, yaitu:
a. suka terhadap nikmatnya pujian
b. takut dari sakitnya celaan
c. tamak terhadap kepunyaan orang lain.
ketiga perkara itulah yg menyebabkan orang menjadi riya'.
Cara penyembuhannya adalah dengan mengetahui bahayanya riya' , mengetahui bahwa dia kehabisan waktu utk memperbaiki hatinya, terhalang dari petunjuk Allah, dan diakerat tentang derajatnya disisi Allah, siksaan2 dan murkanya Allah dan hinaan yang dhohir.
maka selama dia mau tafakkur tentang bahaya2 ini dan membandingkannya dengan apa yang didapatkan oleh orang2 ahli ibadah serta berhias dengan apa yg telah dilewatkannya dari pahala2 dan amalan2 maka akan menjadi mudah baginya menghilangkan rasa cinta tsb.
perumpamaannya yaitu seseorang mengetahui manis dan nikmatnya madu tetapi ketika dalam madu tsb ada racunnya maka dia akan menolaknya, lalu tujuan apakah yang diharapkan dari pujian orang sehingga dia memilih celaan Allah padanya sebab pujian mereka , padahal pujian mereka itu tdk akan menambahkan thd rizki, tdk pula ajal, serta tdk pula memberikan manfaat ketika dia fakir dan membutuhkan yaitu dihari kiamat.
sedangkan penyembuhan tama' terhadap kepunyaan orang lain adalah degan cara mengetahui bawa Allahlah yang menundukkan hati dengan memberi dan mencegah dan sesungguhnya semua makhluk tdk ikhtiyar baginya, tiada yang memberi rizki kecuali Allah. barang siapa yg tamak maka dia tdk akan sepi dari kehinaan dan kerugian dan jika dia mencapai apa yg diharapkan maka tidak akan sepi dari cobaan dan penghinaan, maka bagaimana dia bisa meninggalkan apa yang disisi Allah dengan harapan palsu dan persangkaan salah yang rusak.
semua hamba itu lemah , mereka tdk memiliki kebahayaan bagi dirinya sendiri juga kemanfaatan, maka ketika afat2nya hal2 ini sudah tertancap didalam hati jadilah dia kendor dalam suka tamak dan hatinya menghadap Allah, orang yg berakal tdk akan menyukai perkara yg banyak bahayanya dan sedikit manfaatnya.
ini adalah obat ilmiyah utk mencabut akarnya riya', adapun obat amaliyah yaitu dengan cara membiasakan diri menyembunyikan ibadah dan mengunci pintunya utk menolak riya' sebagaimana dia menutup pintu2 utk menolak kejahatan2 maka dirinya tdklah mengharapkan diketahui kecuali oleh Allah .
yang kedua adalah menolak riya' secara langsung ketika sedang melakukan ibadah.
ini juga harus diketahui karena barang siapa yang bersungguh2 dalam mencabut akarnya riya', memotong tama' dan menganggap remeh pujian makhluk serta celaan mereka maka setan tdk akan meninggalkan dia ditengah2 ibadah, bahkan dia akan menampakkan padanya bisikan2 riya' . ketika setan memberitahukan ttg penglihatan makhluk maka tolaklah dengan mengatakan : " apa keuntungan bagimu dan bagi makhluk baik mereka mengetahui ataupun tidak, sedangkan Allah mengetahui keadaannmu maka apa faedahnya pengetahuan selain Allah ?"ketika rasa senang terhadap nikmatnya pujian bergejolak maka ingatlah apa yg telah tertancap didalam hatinya yaitu bahaya2nya riya' , murkanya Allah dan kesengsaraan akherat.
بيان دواء الرياء وطريق معالجة القلب فيه : 
عرفت مما سبق أن الرياء محبط للأعمال وسبب للمقت عند الله تعالى ، وأنه من كبائر المهلكات ، وما هذا وصفه فجدير بالتشمير عن ساق الجد في إزالته . 
وفي علاجه مقامان : أحدهما : قلع عروقه وأصوله التي منها انشعابه . والثاني : دفع ما يخطر منه في الحال : 
المقام الأول في قلع عروقه وأصوله : 
وأصله حب المنزلة والجاه ، وإذا فصل رجع إلى ثلاثة أصول وهي : حب لذة المحمدة ، والفرار من ألم الذم ، والطمع فيما في أيدي الناس ، فهذه الثلاثة هي التي تحرك المرائي إلى الرياء . وعلاجه أن يعلم مضرة الرياء وما يفوته من صلاح قلبه ، وما يحرم عنه في الحال من التوفيق وفي الآخرة من المنزلة عند الله تعالى ، وما يتعرض له من العقاب والمقت الشديد والخزي الظاهر . فمهما تفكر العبد في هذا الخزي وقابل ما يحصل له من العباد والتزين لهم في الدنيا بما يفوته في الآخرة وبما يحبط عليه من ثواب الأعمال فإنه يسهل عليه قطع الرغبة عنه ، كمن يعلم أن العسل لذيذ ولكن إذا بان له أن فيه سما أعرض عنه . ثم أي غرض له في مدحهم وإيثار ذم الله لأجل حمدهم ، ولا يزيده حمدهم رزقا ، ولا أجلا ، ولا ينفعه يوم فقره وفاقته ، وهو يوم القيامة . 
وأما الطمع فيما في أيديهم فبأن يعلم أن الله تعالى هو المسخر للقلوب بالمنع والإعطاء ، وأن الخلق مضطرون فيه ، ولا رازق إلا الله ، ومن طمع في الخلق لم يخل من الذل والخيبة ، وإن وصل إلى المراد لم يخل عن المنة والمهانة ، فكيف يترك ما عند الله برجاء كاذب ووهم فاسد ، وقد يصيب وقد يخطئ ، وإذا أصاب فلا تفي لذته بألم منته ومذلته ، وأما ذمهم فلم يحذر منه ، ولا يزيده ذمهم شيئا ما لم يكتب الله عليه ، ولا يعجل أجله ، ولا يؤخر رزقه ، ولا يجعله من أهل النار إن كان من أهل الجنة ، ولا يبغضه إلى الله إن كان محمودا عند الله ، فالعباد كلهم عجزة لا يملكون لأنفسهم ضرا ، ولا نفعا ، فإذا قرر في قلبه آفة هذه الأسباب وضررها فترت رغبته ، وأقبل على الله قلبه ، والعاقل لا يرغب فيما يكثر ضرره ويقل نفعه ، فهذا من الأدوية العلمية القالعة مغارس الرياء . وأما الدواء العملي فهو أن يعود نفسه إخفاء العبادات وإغلاق الأبواب دونها كما تغلق الأبواب دون الفواحش فلا تنازعه نفسه إلى طلب علم غير الله به . 
المقام الثاني في دفع العارض منه أثناء العبادة : 
وذلك لا بد أيضا من تعلمه ، فإن من جاهد نفسه بقلع مغارس الرياء وقطع الطمع واستحقار مدح المخلوقين وذمهم فقد لا يتركه الشيطان في أثناء العبادة ، بل يعارضه بخطرات الرياء ، فإذا خطر له معرفة اطلاع الخلق دفع ذلك بأن قال : ما لك وللخلق علموا أو لم يعلموا والله عالم بحالك فأي فائدة في علم غيره ، فإن هاجت الرغبة إلى لذة الحمد ذكر ما رسخ في قلبه من قبل من آفة الرياء وتعرضه للمقت الإلهي وخسرانه الأخروي . 
Wallohu a'lam bis showab.

Senin, 02 Juni 2014

Hukum Mempercayai Hari Naas (Hari Sial)

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-3
Di Surabaya Pada Tanggal 12 Rabiuts Tsani 1347 H. / 28 September 1928 M.


58. Mempercayai Hari Naas

Pertanyaan: Bolehkah berkeyakinan terhadap hari naas, misalnya hari ketiga atau keempat pada tiap-tiap bulan, sebagaimana tercantum dalam kitab Lathaiful Akbar?

Jawaban: Muktamar memilih pendapat yang tidak membolehkan.

Keterangan, dalam kitab:
1. Al-Fatawa Al-Haditsiyah, hal. 28

مَنْ يَسْأَلُ عَنِ النَّحْسِ وَمَا بَعْدَهُ لَا يُجَابُ إِلَّا بِالْإِعْرَاضِ عَنهُ وَتَسْفِيْهِ مَا فَعَلَهُ وَيُبَيِّنُ لَهُ قُبْحَهُ، وَأََنَّ ذَلِكَ مِنْ سُنَّةِ الْيَهُوْدِ لَا مِنْ هَدْيِ الْمُسْلِمِيْنَ المتوكلين على خالقهم وبارئهم الَّذين لَا يَحْسَبُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. وَمَا يُنْقَلُ مِنَ الْأَيَّامِ الْمَنْقُوْطَةِ وَنَحْوِهَا عَنْ عَلِيٍّ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ بَاطِلٌ كَذِبٌ لَا أَصْلَ لَهُ فَلْيَحْذَرْ مِنْ ذَلِكَ

     Barangsiapa yang bertanya tentang hari sial dan sesudahnya maka tidak perlu dijawab, melainkan dengan berpaling, menganggap bodoh tindakannya dan menjelaskan keburukannya, dan menjelaskan bahwa semua itu merupakan kebiasaan orang yahudi, bukan petunjuk bagi orang Islam yang bertawakal kepada penciptanya yang tidak pernah menggunakan hisab (perhitungan hari baik dan buruk).

     Sedangkan keterangan menegenai hari-hari apes dan semacamnya yang dinukil dari Ali karramallahu wajhah adalah batil dan merupakan suatu kebohongan yang tidak memiliki dasar, karena itu berhati-hatilah kalian dari hal-hal tersebut.