Terima kasih atas kunjungan anda !!!! KAMI SIAP MENYAMPAIKAN AMANAH ANDA KEPADA YANG BERHAK

Selasa, 09 Agustus 2016

Inilah Nama dan Tugas 6 Satuan Khusus yang Dimiliki Banser


Meski kiprah Barisan Ansor Serbaguna (Banser) hadir di hampir semua lini, tak sedikit dari masyarakat yang belum mengenal nama-nama, tugas dan fungsi beberapa santuan khusus yang dimiliki organisasi semiotonom Gerakan Pemuda Ansor ini. 


Dalam Peraturan Organisasi (PO) Pasal 23, Banser disebut sebagai organisasi yang bersifat keagamaan, kemanusiaan, sosial kemasyarakatan, dan bela negara. Untuk melaksanakan itu, Banser telah memiliki beberapa satuan khusus, di antaranya Densus 99 Asmaul Husna, Banser Tanggap Bencana (Bagana), Banser Relawan Kebakaran (Balakar), Banser Relawan Lalulintas (Balantas), Banser Kesehatan (Banser Husada), Banser Maritim (Baritim), dan Banser Protokoler.



Pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Barisan Ansor Serbaguna (Banser) di Tulunggung, Jawa Timur, yang berlangsung 5-7 Agustus 2016, PO untuk keenam satuan khusus itu juga menjadi bahan pembahasan. Untuk mengenal lebih jauh, berikut daftar satuan khusus dan unit lain yang sejenis dalam Banser.



1. Detasemen Khusus 99 Asmaul Husana (Densus 99)



Detasemen Khusus 99 Asmaul Husna selanjutnya disingkat Densus 99 adalah satuan tetap Banser yang bertugas mengamankan program-program keagamaan dan program-program sosial kemasyarakatan sebagai partisipasi GP Ansor kepada negara dalam menghadapi tantangan global dan upaya memerangi radikalisme agama dalam berbagai bentuk.



Satuan ini bertugas mengumpulkan, menganalisis dan melaporkan informasi kepada pimpinan dan berfungsi untuk melakukan pencegahan dan penangkalan terhadap berbagai upaya yang mengarah pada kekerasan atas nama agama, menjaga, memelihara, dan menjamin keamanan dan kenyamanan setiap warga negara dalam menjalankan agama dan kepercayaannya terutama adalah rasa aman dan nyaman kepada seluruh warga. “Satuan ini hanya berkedudukan di Satkornas saja. Namun anggotanya menyebar ke seluruh tanah air,” ungkap Kasatkornas Alfa Isneini.



2. Satuan Banser Tanggap Bencana (Bagana)



Barisan Ansor Serbaguna Tanggap Bencana merupakan satuan khusus Banser yang mengemban amanah melaksanakan program-program sosial kemasyarakatan GP Ansor serta memiliki kualifikasi khusus di bidang penanggulangan bencana. Fungsi dan tanggung jawabnya adalah pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi. 



Sedangkan tugas garapannya, merencanakan, mempersiapkan, mengkoordinasikan dan melaksanakan penanggulangan bencana. Satuan ini bertanggung jawab melaksanakan tugas dan fungsi penanggulangan bencana serta pembinaan personel. “Satuan ini dibentuk mulai di tingkat pusat hingga kekecamatan-kecamatan. Satuan ini sudah berdiri sejak 10 tahun yang lalu dan sudah terjun di mana-mana. Misalnya ketika Merapi erupsi, Gunug Kelud meletus, gempa bumi di Banjarnegara, dan lainnya. Bahkan sebelum itu Banser selalu kirim relawan bila ada bencana alam. Misalnya gempa bumi di Maumere Flores 12 Desember 1992. Banser waktu itu juga menurunkan tim relawannya. Begitu juga dengan tsunami Aceh,” papar Alfa. 



3. Satuan Khusus Barisan Ansor Serbaguna Penanggulangan Kebakaran (Balakar)



Satuan ini berfungsi dalam penanggulangan bahaya kebakaran, tanggap darurat dan rehabilitasi. Tugasnya melaksanakan fungsi tanggap darurat dan kemanusiaan dalam rangka penanggulangan bahaya kebakaran dan bertanggung jawab melaksanakan tugas dan fungsi penanggulangan bahaya kebakaran serta pembinaan personel. “Mengingat mahalnya peralatan. Maka satuan ini baru berdiri di beberapa perkotaan saja. Misalnya DKI Jakarta,” terang Alfa. 



4. Satuan Khusus Banser Lalu Lintas (Balantas)



Satuan ini berfungsi dalam penanganan peristiwa lalu lintas dan transportasi jalan, serta pengurangan risiko kecelakaan, guna terwujudnya kelancaran dan ketertiban berlalu lintas. ”Mulai dari pusat hingga desa-desa satuan ini suah terbentuk. Contoh setiap lebaran kita selalu membentuk posko-posko lebaran di semua kabupaten dan kota,” kata Alfa. 



5. Barisan Ansor Serbaguna Husada (Basada)



Basada adalah satuan khusus Banser yang mengemban tugas bantuan kemanusiaan di bidang kedokteran, kesehatan, dan norma hidup sehat bagi masyarakat khususnya di lingkungan Nahdlatul Ulama, GP Ansor dan masyarakat. “Satuan ini dibentuk mulai pusat sampai kecamatan,” jelas Alfa. 



5. Barisan Ansor Serbaguna Protokoler (Banser Protokoler)



Satuan khusus Banser ini memiliki kecakapan dalam manajemen acara kenegaraan, organisasi atau acara resmi di lingkungan Nahdlatul Ulama, GP Ansor, dan Banser. Satuan ini berfungsi mengatur, menata, dan mengelola acara kenegaraan, organisasi atau acara resmi sesuai dengan perencanaan kegiatan. Dengan tugas merencanakan, mempersiapkan, mengkoordinasikan dan melaksanakan keprotokolan di GP Ansor dan Banser. “Satuan Protokoler dibentuk mulai di pusat sampai ke ranting-ranting,” kata Alfa. 



6. Barisan Ansor Serbaguna Maritim (Baritim)



Baritim adalah satuan khusus yang mengemban fungsi dan tugas pengamanan, pemeliharaan, pelestarian, dan konservasi wilayah Maritim NKRI. “Sataun ini dibentuk di pusat dan semua daerah kepulauan dan daerah yang memiliki perairan,” tutur Alfa lagi. 



Selain satuan khusus tersebut, lanjut Alfa, Banser memiliki Corp Provost Banser (CPB). Tak seperti enam satuan khusus lainnya, korps pasukan ini lebih berurusan dengan internal organisasi. Ia berfungsi menegakkan marwah, etika dan disiplin organisasi di internal kesatuan Banser. CPB dibentuk dalam rangka upaya menertibkan dan mendisiplinkan jajaran Banser, demi terciptanya pasukan Banser yang semakin baik, taat aturan, dan profesional. “Corp Provost Banser inilah yang mengawasi dan menertibkan semua kegiatan Banser di semua lini,” tegas mantan Ketua PW GP Ansor Jawa Timur itu. 



Sebenarnya, lanjut Alfa, Banser masih memiliki dua satuan khusus lagi. Yakni, Satuan Khusus Banser Anti-Narkoba (Baanar) dan Banser Kepanduan. Namun, dalam Konbes Ansor lalu, disepakati dua satuan itu masuk di lembaga GP Ansor bersama dengan Rijalul Ansor. “Semua satuan tersebut dibentuk untuk meningkatkan profesionalitas Banser dalam berbakti dan menjalankan fungsi sosial di masyarakat. Jadi Banser memiliki kegiatan yang sangat padat dengan berbagai disiplin kegiatan,” tambahnya.

Hukum Membaca Al-Quran dengan Langgam Batak atau Jawa

Assalamu’alaikum wr. Wb. Redaksi Bahtsul Masail yang kami hormati, baru-baru ini kita mengikuti polemic mengenai boleh-tidaknya membaca al-Quran dengan langgam selain langgam Arab, misalnya dengan langgam Batak atau Jawa. Yang ingin saya tanyakan bolehkan membaca al-Quran dengan langgam Batak atau Jawa? Atas penjelasannya kami ucapkan terimakasih. Wassalamu’alaikum wr. wb (Munawwir/Sragen) <>
--
Assalamu’alaikum wr. Wb
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Membaca al-Quran merupakan ibadah yang sangat besar pahalanya, bahkan disunnahkan juga mengindahkan bacaannya. Sampai disini sebenarnya tidak ada persoalan. Persoalan kemudian timbul ketika membaca al-Quran dengan langgam non-Arab. Misalnya langgam Jawa atau Batak.
Untuk menjawab pertanyaan ini maka kami akan menghadirkan pandangan para ulama tentang pembacaan al-Quran dengan pelbagai langgam. Asy-Syasyi dalam kitab al-Hilah mendokumentasikan tentang perbedaan para ulama dalam menyikapi pembacaan al-Quran dengan pelbagai langgam. Menurutnya ada dua kalangan ulama, ada yang membolehkan dan ada yang tidak.
وَقَالَ الشَّاشِيُّ فِي الْحِيلَةِ فَأَمَّا الْقِرَاءَةُ بِالْأَلْحَانِ فَأَبَاحَهَا قَوْمٌ وَحَظَرَهَا آخَرُونَ
“Asy-Syasyi dalam kitab al-Hilah, adapun membaca (al-Qur`an) dengan pelbagai langgam maka sebagian kalangan membolehkan sedang kalangan yang lain melarangnya. (Lihat ar-Ramli, Hasyiyah ar-Ramli, juz, 4, h. 344)
Sedangkan imam Syafii cenderung untuk memerinci. Menurutnya membaca al-Quran dengan pelbagai langgam adalah boleh sepanjang tidak merubah huruf dari nazhamnya. Namun apabila sampai menambahi hurufnya maka tidak diperbolehkan.  
وَاخْتَارَ الشَّافِعِيُّ التَّفْصِيلَ وَإِنَّهَا إنْ كَانَتْ بِأَلْحَانٍ لَا تُغَيِّرُ الْحُرُوفَ عَنْ نَظْمِهَا جَازَ وَإِنْ غَيَّرَتْ الْحُرُوفَ إلَى الزِّيَادَةِ فِيهَا لَمْ تَجُزْ
“Asy-Syasyi dalam kitab al-Hilah, adapun membaca (al-Qur`an) dengan pelbagai langgam maka sebagian kalangan membolehkan sedang kalangan yang lain melarangnya. Imam Syafi’i memilih untuk merincinya, jika membacanya dengan pelbagai langgam yang tidak sampai merubah huruf dari nazhamnya maka boleh, tetapi apabila merubah hurufnya sampai memberikan tambahan maka tidak boleh” (Hasyiyah ar-Ramli, juz, 4, h. 344)
Pandangan imam Syafii sebenarnya ingin menegaskan bahwa boleh saja al-Quran dibaca dengan pelbagai langgam asalkan tidak merusak tajwid, mengubah orisinalitas huruf maupun maknanya. Pandangan imam Syafii tersebut kemudian diamini juga oleh ad-Darimi dengan mengatakan bahwa membaca al-Quran dengan pelbagai langgam adalah sunnah sepanjang tidak menggeser huruf dari harakatnya atau menghilangkannya. Sebab, menggeser atau menghilangkan huruf dari harakatnya adalah haram.  
وَقَالَ الدَّارِمِيُّ الْقِرَاءَةُ بِالْأَلْحَانِ مُسْتَحَبَّةٌ مَا لَمْ يُزِلْ حَرْفًا عَنْ حَرَكَتِهِ أَوْ يُسْقِطُ فَإِنَّ ذَلِكَ مُحَرَّمٌ
Ad-Darimi berkata, membaca dengan pelbagai langgam itu disunnahkan sepanjang tidak menggeser huruf dari harakatnya atau menghilangkannya karena hal itu diharamkan”. (Hasyiyah ar-Ramli, juz, 4, h. 344)
Dengan mengaju pada penjelesan singkat ini, maka jawaban kami atas pertanyaan di atas adalah boleh membaca al-Quran dengan langgam Batak atau Jawa sepanjang tidak menabrak sisi tajwid, makharij huruf, dan terpeliharanya orisinalitas makna al-Quran itu sendiri. 
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Sikapilah perbedaan pandangan dengan bijak. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari pada para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb

Amalan Antiejakulasi Dini


Assalamu ’alaikum wr. wb
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang saya hormati. Sebelumnya saya mohon maaf, karena saya mau menanyakan hal yang agak sensitif. Saya mohon nama saya dirahasiakan. Sudah hampir satu tahun saya mengalami masalah kehidupan seks. Saya selalu “keluar” duluan. Awalnya isteri sering protes, tetapi sekarang sudah tidak.

Namun sebagai seorang suami tentu saya merasa bersalah sebab tidak bisa membahagiakan isteri di ranjang. Saya sudah berobat ke mana-kemana, tapi hasilnya belum maksimal. Memang tidak cukup hanya berobat, tetapi berdoa juga sangat penting. Usaha dan doa harus seimbang. Pertanyaan saya adakah doa khusus yang diajarkan Nabi SAW atau doa dari para ulama mengenai masalah yang saya hadapi. Atas jawabannya saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum wr, wb
(Klaten/Nama dirahasiakan)

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Seorang isteri sudah semestinya menaati suaminya. Namun suami juga harus memenuhi hak-hak isterinya termasuk juga di dalamnya hak untuk mendapatkan kenikmatan seksual. Dalam hubungan intim dengan isteri suami jangan hanya mencari kepuasan diri sendiri, tetapi harus sama-sama saling menikmati.

Jika kemudian ada masalah dalam hubungan intim seperti pihak suami kurang bisa memuaskan isterinya karena mengalami ejakulasi dini, hal ini harus dikonsultasikan baik-baik dengan isteri dan dicari jalan keluarnya. Misalnya dengan melakukan konsultasi kepada dokter spesialis dan melakukan pengobatan. Dalam hal ini dukungan isteri mutlak diperlukan. 

Kami melihat bahwa penanya sudah melakukan upaya-upaya serius untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dalam kasus ini berobat menjadi keharusan, tetapi berdo’a juga tidak kalah pentingnya. Berobat dan berdo’a sudah semestinya berjalan beriringan.

Sedangkan do’a khusus yang diajarkan Nabi Muhammad SAW mengenai kasus ejakulasi dini sepanjang penelusuran kami dalam pelbagai literatur Islam klasik tidak ditemukan. Tetapi kami hanya menemukan doa yang dipanjatkan oleh Ibnul Mukadir, salah seorang tabi’in. Doanya sebagai berikut.


اَللَّهُمَّ قَوِّ ذَكَرِي فَإِنَّهُ مَنْفَعَةٌ لِأَهْلِي

Allahumma qawwi dzakarî fa innahû manfa’atun li ahlî. Artinya, “Ya Allah, kuatkan dzakarku karena sesungguhnya hal itu bermanfaat buat isteriku.”

Menurut keterangan yang terdapat dalam kitab Faidlul Qadir karya Abdurra’uf al-Munawi, Ibnul Munkadir memanjatkan do’a agar dikuatkan dzakarnya semata-mata untuk memenuhi apa yang menjadi hak isterinya. Dengan kata lain untuk memenuhi birahi isterinya. Sebab, syahwat-birahi perempuan itu ada pada laki-laki. Jika dibiarkan atau tidak “disentuh”, dikhawatirkan perempuan akan terjerumus ke dalam perzinahan.


وَكَانَ ابْنُ الْمُنْكَدِرِ يَقُولُ : اَللَّهُمَّ قَوِّ ذَكَرِي فَإِنَّهُ مَنْفَعَةٌ لِأَهْلِي. وَإِنَّمَا سَأَلَ قُوَّتَهُ لِيَخْرُجَ مِنْ حَقِّ زَوْجَتِهِ لَا لِقَضَاءِ النَّهْمَةِ لِأَنَّ الْمَرْأَةَ نَهْمَتُهَا فِي الرِّجَالِ فَإِذَا عَطَلهَا خِيفَ عَلَيْهَا الزِّنَا.

Artinya, “Ibnul Munkadir berdo’a, ‘Ya Allah, kuatkan dzakarku karena sesungguhnya hal itu bermanfaat buat isteriku’. Doa itu dipanjatkan agar Allah menguatkan dzakar Ibnul Munkadir semata-mata untuk memenuhi kewajibannya sebagai suami yang menjadi hak isterinya, bukan untuk mengumbar syahwatnya. Sebab, birahi perempuan itu ada pada laki-laki. Apabila dibiarkan, dikhawatirkan perempuan akan terjerumus ke dalam perzinahan,” (Lihat Aburra’uf al-Munawi, Faidlul Qadir, Darul Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, cet ke-1, 1415 H/1994 M, juz, IV, h 145).

Penjelasan yang terdapat dalam kitab Faidlul Qadir di atas sangat menarik untuk dicermati dan diperhatikan terutama bagi para suami. Sebab, acap kali kita mendengar berita di pelbagai media massa perselingkuhan perempuan yang sudah bersuami dengan alasan suaminya tidak bisa memuaskan atau membahagiakannya di ranjang. Kendati harus dicatat bahwa kekurangan suami itu bukan alasan pembenaran atas praktik zina dan menurunnya sikap harmonis.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Untuk para suami yang sedang mengalami masalah seperti yang dihadapi oleh penanya di atas kami sarankan terbuka kepada isteri dan segera berkonsultasi dengan dokter spesialis agar cepat mendapat penangangan. Mereka yang mengalami masalah ini tidak perlu frustasi. Insya Allah ada jalan keluarnya.

Sembari berobat jangan lupa berdoa. Doa Ibnul Munkadir bisa dijadikan alternartif di samping do’a-doa lain. Sedangkan para isteri sudah semestinya bersikap sabar dan mendukung suami dalam menyelesaikan problem yang dihadapi. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq
Wassalamu’alaikum wr. wb

Senin, 08 Agustus 2016

Nabi Muhammad SAW juga Memikirkan Teknologi

Nabi Muhammad Saw suatu ketika pernah digigit kalajengking. Usai menunaikan shalat Nabi tidak lantas wiridan tetapi langsung pergi ke dapur untuk mengambil air dan sarem (garam). Di samping itu, Muhammad juga membacakan surat al-ihklas dan annas. 

Cerita itu disampaikan KH Ahmad Nawawi dalam Haul KH Nur Kholiq Ma’ruf ke-3 yang berlangsung di pesantren Az Zahra desa Sekuro kecamatan Mlonggo kabupaten Jepara, Ahad (19/6). 

Kisah itu dipaparkan kiai asal Sarang Rembang, lantaran semasa masih hidup dirinya pernah diajak berpikir bersama dengan almarhum tentang cerita nabi tersebut. 

Ternyata, air putih dan garam dalam ilmu kedokteran merupakan antibiotik yang bisa menolak racun. Dari kisah itu, kiai yang mengelola lembaga An-Nawawiyah itu menjelaskan Nabi jelas memikirkan teknologi. Teknologi yang digabungkan dalam konteks qur’an. 

Jika ditarik dalam konteks kekinian, ilmu pengetahuan dan agama tidak boleh dipisahkan. Agama dan ilmu pengetahuan juga tidak boleh dipisahkan.  

Menurutnya itulah kemudian yang diterjemahkan KH Nur Kholiq Ma’ruf merintis Yayasan Az Zahra Sekuro yang di dalamnya mengelola SMP, SMK dan Pesantren. 

“Saya sempat berpikir Kiai Kholiq yang dulu alumnus Madrasah Gazaliyah Sarang dan murid Sayyid Abuya setelah pulang kemudian mendirikan pesantren salaf murni,” terangnya. 

Ternyata tidak anggapannya tidak terbukti. Selain pesantren salaf Az Zahra juga mengelola pendidikan formal SMP dan SMK. 

Az Zahra Berbagi 

Kegiatan yang dibarengkan dengan Haul Abuya Assayyid Maliki ke-12 ini paginya juga disemarakkan dengan Pasar Murah Ramadhan. Kegiatan yang fasilitasi H. Mukhlisin anggota DPR RI menggandeng Bulog dan PPI mendapat antusias dari masyarakat sekitar. 

Lutfiatin Anisah warga desa Jambu Timur RT.03 RW.01 Mlonggo Jepara itu mengaku senang dengan kegiatan tersebut. Karena barang-barang dijual di bawah harga pasaran. “Karena harga terjangkau saya membeli beras, bawang dan minyak,” terangnya kepada NU Online.  

Sebagai referensi, gula di pasaran di jual Rp16.000/kg di bazar dijual Rp12.000/kg. Minyak goreng dijual Rp11.800/kg di pasaran Rp13.000/kg. Daging dijual Rp85.000/kg di pasaran Rp90.000/kg. Beras dijual Rp7.800/kg di pasaran Rp8.500/kg. Bawang putih dan bawang merah dijual Rp.7.500/kg di pasaran Rp8.500/kg. 

H Abdur Rosyid Ma’ruf, sesepuh Az Zahra mengemukakan kegiatan merupakan bentuk kepedulian Az Zahra kepada masyarakat. Kedepan kegiatan itu rencananya menjadi agenda rutin tiap tahun.

Sumber : NU On-Line

Jumat, 05 Agustus 2016

Khutbah Jum’at dengan Bahasa Indonesia

Assalamu’alaikum wr. wb.. Nama saya Muchamad Wajihuddin asal kota Bogor. Saya mau bertanya seputar shalat Jumat. Apakah shalat Jum’at sah dengan khutbah menggunakan bahasa Indonesia? karena dalam kitab "Safinatunnaja" dan "Fathul Mu’in" disebutkan syarat khutbah Jumat diantaranya dengan bahasa Arab bil’arobiyah, dengan bahasa Arab.<>
Wa’alaikum salam wa rahamatullah wa barakatuh. Saudara penanya yang dimuliakan Allah Telah kita pahami bahwa khutbah Jum’at merupakan satu rangkaian yang harus dilaksanakan satu paket dengan shalat Jum’at. Artinya shalat Jum’at tidak dapat dinyatakan sah apabila khutbah Jum’at tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.
Saudara penanya yang kami hormati Memang benar, apabila kita membaca dua kitab yang anda sebutkan, sepintas lalu kita akan mendapat pemahaman bahwa syarat sah khutbah Jum’at adalah dengan bahasa Arab. Namun apabila kita mau meneliti lebih dalam penjelasan tentang kitab-kitab ini (syarah –syarahnya seperti I’anatut-Thalibin dan Kasyifatus-Saja), maka dapat kita temukan bahwa yang dimaksudkan dengan keharusan bahasa Arab adalah ketika seorang khotib menyampaikan rukun-rukun khutbah, bukan keseluruhan khutbah. Dalam I’anat at-Thalibin:
قوله: وشرط فيهما- أي في الخطبتين والمراد أركانهما، كما في التحفة، وعبارتها مع الأصل: ويشترط كونها - أي الأركان - دون ما عداها عربية الخ
Artinya: ungkapan penyusun kitab Fathl-Mu’in: dan disyaratkan di dalam pelaksanaan dua khutbah (dengan bahasa Arab), artinya adalah rukun-rukun khutbah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab at-Tuhfah. Adapun redaksi aslinya “syarat rukun khutbah”-bukan yang lain- adalah dengan bahasa Arab.
Dengan demikian khutbah yang disampaikan dengan bahasa Indonesia sebagaimana pertanyaan saudara, masih dihukumi sah selama rukun-rukunnya masih disampaikan dengan bahasa Arab dan tidak merusak kesinambungan (muwalat) antar rukun khutbah.
Hal ini juga pernah dibahas dalam forum muktamar NU ke-20 tahun 1954 di Surabaya. Jawaban ini mudah-mudahan bermanfaat dan menjadikan kita semakin yakin dengan ibadah shalat Jum’at yang kita lakukan. Amin.

Kamis, 04 Agustus 2016

Melawan Sihir dengan Muawwidzatain

Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul menceitakan bahwa suatu ketika rasulullah saw pernah sakit agak parah, maka datanglah dua malaikat kepadanya hendak mendiaknosa penyakit apa gerangan yang menimpa Rasulullah saw ini. Satu malaikat duduk di dekat kakinya dan yang satu duduk disebelah kepalanya.<>
Malaikat yang berada dekat di kaki Rasul berkata kepada malaikat yang berada disebelah kepala Rasulullah “apa yang engkau lihat?” temannya lalu  menjawab “ia (Rasulullah) terkena gendam” lalu bertanyalah ia “apa gendam itu?” “gendam itu sihir” jawabnya. Lantas “siapakah yang membuat sihir kepadanya (rasulallah)?”. Malaikat yang berad di kaki itu menjawab “Labid bin al-A’sham al-Yahudi, sihirnya berupa gulungan yang disimpan di sumur keluarga fulan di bawah batu besar. Suruhlah seseorang datang kesana untuk mengambil gulungan di bawah sumur itu lalu bakarlah!”
Pada pagi harinya Rasulullah saw mengutus Ammar bin Yasir dan kawan-kawannya untuk pergi ke sumur itu. Sesampainya di sana mereka kaget melihat air sumur yang berwarna merah seperti pacar. Setelah berusaha keras mencari di dalam sumur, akhirnya ditemukanlah gulungan yang dimaksud. Lalu dibakarlah gulungan itu sesuai petunjuk malaikat, maka terihatlah sebuah tali dengan sebelas simpulnya yang tidak bisa dibuka dengan tenaga. Maka Rasulullah saw menerima wahyu kedua surat Mu’awwidzatain yaitu qul a’uzu birabbil falaq dan qul a’uzu birabbin nas. Anehnya setiap Rasulullah saw membaca dua surat itu, maka terbukalah satu simpul tali itu dan demikian seterusnya hingga sebelas kali. Kisah ini diriwayatkan juga oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab Dalailun Nubuwwah.
Demikianlah fadhilah dua surat terakhir dari Al-Qur’an. Hal ini juga menunjukkan kemukjizatan al-qur’an yang apabila dibaca dan diniati dengan benar akan melahirkan keistimewaannya. Bukankah alqur’an adalah ‘al-muta’abbad bitilawatihi’ sesuatu yang bila dibaca merupakan ibadah. Demikian pula yang dianjurkan oleh sebagian ulama untuk terus membaca qul a’uzu birabbil falaq dan qul a’uzu birabbin nas dalam berbagai kesempatan terutama dalam menghadapi waktu jolorante menghadapi malam yang gelap dan siang yang terang.

Selasa, 02 Agustus 2016

Ini Cara Syar'i Menjadi Kaya

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang terhormat, menjadi kaya adalah impian banyak orang. Banyak cara ditempuh untuk mendapatkan kekayaan, mulai yang halal sampai yang haram. Tetapi baru-baru ini saya mendengar nasihat dari seoarang ustadz bahwa memotong kuku dengan rajin bisa menjadikan kaya.



Sedangkan caranya adalah dengan memotong kuku jari tangan sebelah kanan dimulai dari jari kelingking, tengah, jempol, manis, dan yang terakhir jari telunjuk. Baru kemudian jari tangan sebelah kiri dengan urutan yang sama. Yang ingin saya tanyakan adalah keterangan yang menyatakan urutan tersebut? Atas penjelasannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Ahmad Rojali/Pontianak)



Jawaban

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Penanya dan pembaca yang budiman, semoga Allah selalu merahmati kita semua. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa dalam pandangan fikih, hukum memotong kuku hukumnya adalah sunah. Dari sisi medis jelas memotong kuku lebih terkait dengan soal menjaga kebersihan dan kesehatan, di samping juga keindahan penampilan. Dalam memotong kuku sebaiknya didahulukan yang sebelah kanan. 



Disunahkan juga mencuci ujung jari setelah memotong kuku. Kesunahan ini menurut keterangan yang terdapat dalam kitab Hasyiyatul Jamal yang ditulis oleh Sulaiman Al-Jamal adalah karena ada pendapat (qila) yang menyatakan bahwa jika kita menggaruk dengan ujung jari sebelum dicuci akan memicu penyakit kusta. Waktu pemotongan kuku sebaiknya dilakukan pada hari Jumat sebelum berangkat menunaikan shalat Jumat, Kamis, atau Senin.


وَيُسَنُّ غَسْلُ رُءُوسِ الْأَصَابِعِ بَعْدَ قَصِّ الْأَظْفَارِ لِمَا قِيلَ إنَّ الْحَكَّ بِهِ قَبْلَ الْغُسْلِ يُورِثُ الْبَرَصَ وَالْأَوْلَى فِي قَصِّهَا أَنْ يَكُونَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ الْخَمِيسِ أَوْ الِاثْنَيْنِ


Artinya, “Disunahkan mencuci ujung-ujung jari setelah dipotong kukunya karena ada yang mengatakan bahwa menggaruk-garuk sebelum dicuci akan menyebabkan penyakit kusta. Yang utama memotong kuku dilakukan pada hari Jumat, Kamis atau Senin,” (Lihat Sulaiman Al-Jamal, Hasyiyatul Jamal, Beirut-Dar al-Fikr, juz III, halaman 361).



Sedang soal tertib atau urutan dalam memotong kuku, menurut para ulama bahwa tidak ada hadits sahih maupun hasan yang bisa dijadikan pegangan. Salah satu ulama yang menyatakan demikian adalah Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari-nya.



Kendati demikian menurutnya, An-Nawawi menyatakan bahwa sunah potong kuku tangan dimulai dari jari telunjuk kanan, tengah, manis, kelingking baru kemudian jempol. Sedangkan untuk jari tangan kiri dimulai dari jari kelingking, manis, tengah, telunjuk, baru kemudian yang terakhir jempol. Untuk kuku kaki disunahkan untuk dimulai dari jari kelingkingkan kaki kanan terus jari manis, tengah, telunjuk, sampai jempol. Kemudian kaki sebelah kiri dimulai dari jempol terus berurutan sampai yang terakhir adalah jari kelingking. Namun An-Nawawi pun dalam konteks ini tidak mencantumkan dasar atau dalil atas kesunahannya.


وَلَمْ يَثْبُتْ فِي تَرْتِيبِ الْأَصَابِعِ عِنْدَ الْقَصِّ شَيْءٌ مِنَ الْأَحَادِيثِ لَكِنْ جَزَمَ النَّوَوِيُّ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ بِأَنَّهُ يُسْتَحَبُّ الْبَدْاَءةُ بِمُسَبِّحَةِ الْيُمْنَي ثُمَّ بِالْوُسْطَى ثُمَّ الْبِنْصِرِ ثُمَّ الْخِنْصِرِ ثُمَّ الْإِبْهَامِ وَفِي الْيُسْرَى بِالْبَدْاَءةِ بِخِنْصِرِهَا ثُمَّ بِالْبِنْصِرِ إِلَى الْإِبْهَامِ وَيُبْدَأُ فِي الرِّجْلَيْنِ بِخِنْصِرِ الْيُمْنَى إِلَى الْإِبْهَامِ وَفِي الْيُسْرَى بِإِبْهَامِهَا إِلَى الْخِنْصِرِ وَلَمْ يَذْكَرْ لِلْاِسْتِحْبَابِ مُسْتَنِدًا


Artinya, “Tidak ada satu pun hadist shahih maupun hasan yang menjelaskan tentang tertib memotong kuku. Akan tetapi An-Nawawi menegaskan dalam Syarh Muslim-nya bahwa disunahkan untuk memulai memotong kuku tangan dimulai dari jari telunjuk tangan kanan, tengah, manis, kelingking, dan jempol. Untuk jari tangan sebelah kiri dimulai dari jari kelingking, manis, sampai jempol. Untuk kaki dimulai dari jari kelingking sebelah kanan sampai ke jempol, dan kaki sebelah kiri dimulai dari jempol sampai jari kelingking. Tetapi ia tidak menyebutkan dasar atas kesunahan tersebut,” (Lihat Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari, Beirut-Darul Ma’rifah, 1379 H, juz X, halaman 345).



Mengenai keterangan yang menyatakan bahwa memotong kuku—dengan urutan atau tertib yang telah dijelaskan dalam pertanyaan di atas—bisa menyebabkan seseorang menjadi kaya sebenarnya didasarkan pada keterangan hadits riwayat Waki’ dengan sanadnya dari A’isyah ra.



Dalam hadits tersebut dijelaskan mengenai anjuran urutan atau tertib pemotongan kuku. Yaitu, kuku jari kelingking, tengah, jempol, manis, baru kemudian jari telunjuk. Tertib pemotongan kuku yang demikian bisa menjadikan kaya. Tetapi menurut Ibnul Muflih salah seorang ulama terkemuka dari madzhab Hanbali, bahwa ini adalah pendapat dalam kitab Ar-Ri’ayah.


وَقَدْ رَوَى وَكِيعٌ بِإِسْنَادِهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا أَنْتِ قَلَّمْتِ أَظْفَارَكِ فَابْدَئِي بِالْخِنْصَرِ ، ثُمَّ الْوُسْطَى ، ثُمَّ الْإِبْهَامِ ، ثُمَّ الْبِنْصِرِ ، ثُمَّ السَّبَّابَةِ فَإِنَّ ذَلِكَ يُورِثُ الْغِنَى وَهَذَا قَوْلٌ فِي الرِّعَايَةِ


Artinya, “Sesungguhnya Waqi’ telah meriwayatkan melalui sanadnya dari A’siyah ra ia berkata, Rasulullah saw bersabda, ‘Apabila kamu memotong kuku mulailah dengan memotong kuku jari kelingking, tengah, jempol, manis, dan jari telunjuk karena hal itu bisa menjadikan kaya.’ Ini merupakan pendapat dalam kitabAr-Ri’ayah,’" (Lihat Ibnul Muflih, Al-Adab Asy-Syar’iyyah,  Beirut-Muassah ar-Risalah, cetakan Ke-3, 1419 H/1999 M, juz III, halaman 329).



Berangkat dari apa yang dikemukakan Ibnu Muflih di atas, saran yang dikemukakan oleh seorang ustadz untuk memotong kuku dengan rajin dengan urutan sebagaimana dikemukakan dalam pertanyaan di atas sebenarnya adalah pendapat yang dikemukakan dalam kitab Ar-Ri’ayah. Hemat kami, pandangan ini bisa saja diamalkan.



Namun hal penting yang harus diperhatikan ketika memahami pendapat dalam kitab Ar-Ri’ayah tersebut adalah tidak semata-mata dengan memotong kuku sebagaimana dijelaskan di atas, tetapi ada yang jauh lebih mendasar dan penting lagi untuk menjadi kaya yaitu bersikap jujur, bekerja keras sembari diiringi do’a.



Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Bersikaplah jujur, bekerja keras, dan jangan lupa berdoa agar menjadi orang yang berkecukupan. Di samping juga potong dan bersihkan kuku dengan rajin karena itu sunnah dan bisa menjaga kesehatan sehingga dengan kesehatan yang dimiliki kita bisa bekerja baik, dan insya Allah juga akan mendapat hasil baik pula. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.



Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Senin, 01 Agustus 2016

Inilah Kriteria Bid‘ah Dhalalah dan Bid‘ah Hasanah


Assalamu ‘alaikum wr.wb.

Pengasuh rubrik Bahtsul Masail NU Online yang terhormat. Pada Rabu (20/4) siang, saya menyaksikan acara Aswaja TV yang salah satu poin bahasannya adalah "Tidak semua bid‘ah itu adalah dhalalah (sesat)."


Saya mau meminta penjelasan lebih lanjut perihal kriteria seseorang boleh membuat bid'ah hasanah. Berikutnya saya mohon diberikan contoh-contoh yang termasuk bid'ah hasanah. Demikian mohon penjelasannya. Terima kasih. (Sukron Ma'mun)


Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman dan pembaca di mana pun berada, semoga selalu dirahmati Allah swt. Pada kesempatan ini kita mencoba melihat hadits-hadits Rasulullah SAW yang berkaitan dengan bid‘ah. Kita akan mengawalinya dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasai berikut ini.



عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي خُطْبَتِهِ: يَحْمَدُ اللَّهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ، ثُمَّ يَقُولُ: «مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ، إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ»، 



Artinya, “Dari Jabir bin Abdullah, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW dalam khothbahnya bertahmid dan memuji Allah SWT. Lalu Rasulullah SAW berkata, ‘Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tiada yang dapat menyesatkannya. Siapa yang Allah sesatkan jalan hidupnya, maka tiada yang bisa menunjuki orang tersebut ke jalan yang benar. Sungguh, kalimat yang paling benar adalah kitab suci. Petunjuk terbaik adalah petunjuk Nabi Muhammad SAW. seburuk-buruknya perkara itu adalah perkara yang diada-adakan. Setiap yang diada-adakan adalah bid‘ah. Setiap bid‘ah itu sesat. Setiap kesesatan membimbing orang ke neraka,’” (Lihat Ahmad bin Syu‘aib bin Ali Al-Khurasani, Sunan An-Nasai, Maktab Al-Mathbu‘at Al-Islamiyah, Aleppo, Cetakan Kedua, tahun 1986 M/ 1406 H).


Untuk memahami hadits riwayat An-Nasai, kita perlu menyandingkannya dengan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan di Shahih Bukhari sebagai berikut.


وقوله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وكل بدعة ضلالة" وهو من العام الذي أريد به الخاص بدليل قوله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المخرج في "الصحيح": "من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد". وقد ثبت عن الإمام الشافعي قوله: المحدثات من الأمور ضربان أحدهما: ما أحدث يخالف كتاباً أو سنة أو أثراً أو إجماعاً، فهذه البدعة الضلالة. وما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا، فهذه محدثة غير مذمومة. رواه البيهقي في "المدخل".



Artinya, “Ucapan Rasulullah SAW ‘Setiap bid‘ah itu sesat’ secara bahasa berbentuk umum, tapi maksudnya khusus seperti keterangan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, ‘Siapa saja yang mengada-ada di dalam urusan kami yang bukan bersumber darinya, maka tertolak’. Riwayat kuat menyebutkan Imam Syafi’i berkata, ‘Perkara yang diada-adakan terbagi dua. Pertama, perkara baru yang bertentangan dengan Al-Quran, Sunah Rasul, pandangan sahabat, atau kesepakatan ulama, ini yang dimaksud bid‘ah sesat. Kedua, perkara baru yang baik-baik tetapi tidak bertentangan dengan sumber-sumber hukum tersebut, adalah bid‘ah yang tidak tercela,’” (Lihat Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal, Halaman 206).


Imam Syafi’i dalam keterangan di atas jelas membuat polarisasi antara bid‘ah yang tercela menurut syara’ dan bid‘ah yang tidak masuk kategori sesat. Pandangan Imam Syafi’i kemudian dipertegas oleh ulama Madzhab Hanbali, Ibnu Rajab Al-Hanbali sebagai berikut.


وقال الحافظ ابن رجب الحنبلي: والمرادُ بالبدعة: ما أحدث مما لا أصل له في الشريعة يَدُل عليه، أما ما كان له أصل من الشرع يدل عليه، فليس ببدعة شرعاً، وإن كان بدعة لغة.



Artinya, “Ibnu Rajab Al-Hanbali mengatakan, ‘Yang dimaksud bid‘ah sesat itu adalah perkara baru yang tidak ada sumber syariah sebagai dalilnya. Sedangkan perkara baru yang bersumber dari syariah sebagai dalilnya, tidak termasuk kategori bid‘ah menurut syara’/agama meskipun masuk kategori bid‘ah menurut bahasa,’” (Lihat Ibnu Rajab Al-Hanbali pada Syarah Shahih Bukhari).


Perihal hadits Rasulullah SAW itu, Guru Besar Hadits dan Ulumul Hadits Fakultas Syariah Universitas Damaskus Syekh Mushtofa Diyeb Al-Bugha membuat catatan singkat berikut ini.


(أحدث) اخترع. (أمرنا هذا) ديننا هذا وهو الإسلام. (ما ليس فيه) مما لا يوجد في الكتاب أو السنة ولا يندرج تحت حكم فيهما أو يتعارض مع أحكامها وفي بعض النسخ (ما ليس منه). (رد) باطل ومردود لا يعتد به]



Artinya, “Siapa saja yang mengada-ada (membuat hal baru) di dalam urusan (agama) kami (agama Islam) yang bukan bersumber darinya (tidak terdapat dalam Al-Quran atau sunah, tidak berlindung di bawah payung hukum keduanya atau bertolak belakang dengan hukumnya), maka tertolak (batil, ditolak, tidak diperhitungkan),’ (Lihat Ta’liq Syekh Mushtofa Diyeb Al-Bugha pada Jamius Shahih Al-Bukhari, Daru Tauqin Najah, Cetakan Pertama 1422 H, Juz IX).


Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam, ulama madzhab Syafi’i abad 7 H kemudian membuat rincian lebih detail perihal bid‘ah beserta contohnya seperti keterangan sebagai berikut.


الْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِي عَصْرِ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ إلَى: بِدْعَةٍ وَاجِبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُحَرَّمَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَنْدُوبَةٍ، وَبِدْعَةٍ مَكْرُوهَةٍ، وَبِدْعَةٍ مُبَاحَةٍ، وَالطَّرِيقُ فِي مَعْرِفَةِ ذَلِكَ أَنْ تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيعَةِ: فَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْإِيجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ التَّحْرِيمِ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمَنْدُوبِ فَهِيَ مَنْدُوبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمَكْرُوهِ فَهِيَ مَكْرُوهَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمُبَاحِ فَهِيَ مُبَاحَةٌ، وَلِلْبِدَعِ الْوَاجِبَةِ أَمْثِلَةٌ.



Artinya, “Bid‘ah adalah suatu perbuatan yang tidak dijumpai di masa Rasulullah SAW. Bid‘ah itu sendiri terbagi atas bid‘ah wajib, bid‘ah haram, bid‘ah sunah, bid‘ah makruh, dan bid‘ah mubah. Metode untuk mengategorisasinya adalah dengan cara menghadapkan perbuatan bid‘ah yang hendak diidentifikasi pada kaidah hukum syariah. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut kewajiban, maka bid‘ah itu masuk kategori bid‘ah wajib. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut keharaman, maka bid‘ah itu masuk kategori bid‘ah haram. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut kesunahan, maka bid‘ah itu masuk kategori bid‘ah sunah. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut kemakruhan, maka bid‘ah itu masuk kategori bid‘ah makruh. Kalau masuk dalam kaidah yang menuntut kebolehan, maka bid‘ah itu masuk kategori bid‘ah mubah. Bid‘ah wajib memiliki sejumlah contoh,” (Lihat Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam As-Salami, Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam, Darul Kutub Ilmiyah, Beirut, Cetakan kedua, Tahun 2010, Juz II, Halaman 133-134).


Contoh bid‘ah wajib antara lain mempelajari ilmu nahwu (gramatika Arab) sebagai perangkat untuk memahami Al-Quran dan Hadits, mendokumentasikan kata-kata asing dalam Al-Quran dan Hadits, pembukuan Al-Quran dan Hadits, penulisan ilmu Ushul Fiqh. Sementara contoh bid‘ah haram adalah hadirnya madzah Qadariyah, Jabariyah, Murjiah, atau Mujassimah. Contoh yang dianjurkan adalah sembahyang tarawih berjamaah, membangun jembatan, membangun sekolah. Contoh bid’ah makruh adalah menghias mushhaf dengan emas. Sedangkan contoh bid’ah mubah adalah jabat tangan usai sembahyang subuh dan ashar, mengupayakan sandang, pangan, dan papan yang layak dan bagus. Contoh bid‘ah di Indonesia antara lain peringatan tahlil berikut hitungan hari-harinya, peringatan Isra dan Miraj dan lain sebagainya yang kesemuanya bahkan dianjurkan oleh agama. Contoh-contoh ini dapat dikembangkan sesuai tuntutan kaidah hukumnya seperti diterangkan Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam.


Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Semoga pengertian dan pembagian bid‘ah di atas dapat menurunkan intensitas kontroversi di masyarakat perihal bid‘ah. Kami selalu terbuka dalam menerima saran dan kritik dari para pembaca.


Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb