Terima kasih atas kunjungan anda !!!! KAMI SIAP MENYAMPAIKAN AMANAH ANDA KEPADA YANG BERHAK

Senin, 23 Juni 2014

SEMUA JENIS AMALAN PAHALANYA BISA DIHADIAHKAN KE MAYIT

PERTANYAAN :

Assalaamu'alaikum.. Kita semua tentu telah ma'lum,bahwa diperbolehkan menghadiahkan pahala amalan amalan ibadah kita pada mayit. Pertanyaannya "apakah semua jenis amalan ibadah bisa dihadiahkan pada mayit,atau hanya amalan ibadah tertentu saja yang bisa dihadiahkan pada mayit ? "
JAWABAN :

1.
Wa alaikumus salaam warohmatulloh, barang siapa yang beramal untuk dirinya sendiri kemudian mengucapkan "Yaa Allah semoga Engkau jadikan pahalanya untuk si fulan", maka pahala tersebut akan sampai kepada sifulan, baik masih hidup maupun sudah meninggal.
و في فتاوي شيخنا سعيد سنبل "من عمل لنفسه ثم قال اللهم اجعل ثوابه لفلان وصل له الثواب سواء حيا أو ميتا أي و سواء بطريق التبعية أو الإستقلال.
بغية المسترشدين ص :١٩٦ 
عن ابن عمر ما على أحدكم إذا أراد أن يتصدق لله صدقة تطوع أن يجعلها عن والديه إذا كانا مسلمين فيكون أجرها لهما و له مثل أجورهما بغير أن ينقص من أجورهما شيأ.
إرشاد العباد ص : ٣٥-٣٦
2.
الكتاب : تحقيق الآمال في ما ينفع الميت من الأعمال
الخلاصةقال شيخنا الإمام العلامة محمد العربي التباني المكي:
وقد تحقق وتلخص من كلام العلماء أن أربعة يصل ثوابها للميت بالإجماع. وهي: الصدقة، والدعاء، والاستغفار، وأداء الواجبات التي تقبل النية كأداء الدين عنه،
وأن الصوم يصح عنه ويصله ثوابه عند الإمام الشافعي في القديم وأبي ثور والمحققين من المحدثين، لعموم حديث عائشة رضي الله عنها عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم أنه قال: ((من مات وعليه صوم، صام عنه وليه))
وتحقق أيضاً أن القراءة على الأموات فعلها السلف الصالح كما هو مستفاد من كلام ابن قدامة وابن القيم وغيرهما من المنقول عن الأئمة الأقدمين من أهل الأثر كالخلال وغيره،
وأن عمل المسلمين شرقاً وغرباً لم يزل مستمراً عليها، وأنهم وقفوا على ذلك أوقافاً كما في فتوى الإمام ابن رشد المالكي، وكلام السيوطي الشافعي المنقول عن ابن عبد الواحد المقدسي الحنبلي وعن غيره، وكلام ابن قدامة في مغنيه، وابن القيم في كتابه الروح، بل صرح ابن قدامة وابن عبد الواحد المقدسي فيما نقله عنه السيوطي بإجماع المسلمين فيها، وخصها الثاني منهما بتأليف، كما ألف فيها السروجي وسعد الدين الديري الحنفيان وغيرهما، وقال ابن القيم: وهذا عمل سائر الناس حتى المنكرين في سائر الأعصار والأمصار من غير نكير من العلماء،
ونسب وصولها لجمهور السلف، والإمام أحمد، وعدمه إلى أهل البدع من أهل الكلام، وكذلك السيوطي وجمهور السلف والأئمة الثلاثة على الوصول، والعلامة المرغيناني الحنفي قال: للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة أو صوماً أو صدقة أو غيرها عند أهل السنة والجماعة، وكذلك قال البدر العيني الحنفي: يصل إلى الميت جميع أنواع البر من صلاة أو صوم أو حج أو صدقة أو قراءة قرآن أو ذكر إلى غير ذلك، والآثار الدالة على جواز انتفاع الشخص بعمل الغير كثيرة، قال العلامة المحقق الكمال بن الهمام: يبلغ القدر المشترك بين الكل ـ وهو أن من جعل شيئاً من
الصالحات لغيره نفعه الله به ـ مبلغ التواتر
3.
Semua jenis ibadah bisa di hadiahkan pada mayit :
وقال المحب الطبري : يصل للميت كل عبادة تفعل، واجبة أو مندوبة. وفي شرح المختار لمؤلفه: مذهب أهل السنة، أن للإِنسان أن يجعل ثواب عمله وصلاته لغيره ويصله.
إعانة الطالبين ج 1 ص20
وَنَقَلَ الْأَذْرَعِيُّ عَنْ شَرْحِ التَّنْبِيهِ لِلْمُحِبِّ الطَّبَرِيِّ أَنَّهُ يَصِلُ لِلْمَيِّتِ ثَوَابُ كُلِّ عِبَادَةٍ تُفْعَلُ عَنْهُ وَاجِبَةً كَانَتْ أَوْ مُتَطَوَّعًا عَنْهُ انْتَهَى
وَكُتُبُ الْحَنَفِيَّةِ نَاصَّةٌ عَلَى أَنَّ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ لِغَيْرِهِ صَلَاةً أَوْ صَوْمًا أَوْ صَدَقَةً وَفِي شَرْحِ الْمُخْتَارِ لِمُؤَلِّفِهِ مِنْهُمْ
مَذْهَبُ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ أَنَّ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ وَصَلَاتَهُ لِغَيْرِهِ وَيَصِلُهُ وَعَلَيْهِ فَلَا يَبْعُدُ أَنَّهُ لَهُ الصَّلَاةُ وَغَيْرُهَا عَنْهُ وَصَحَّ فِي الْبُخَارِيِّ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا أَنَّهُ أَمَرَ مَنْ مَاتَتْ أُمُّهَا وَعَلَيْهَا صَلَاةٌ أَنْ تُصَلِّيَ عَنْهَا وَالظَّاهِرُ أَنَّهُ لَا يَقُولُهُ إلا تَوْقِيفًا إيعَابٌ.
تحفة المحتاج
Wallohu a'lam bis showab.

Cak Nun: Pilih Presiden Bukan karena Iming-iming!

Sragen, NU Online
Emha Ainun Najib mengajak warga untuk menggunakan hak pilih pada pemilihan presiden dan wakil presiden pada 9 Juli nanti dengan niat karena Allah, bukan karena iming-iming. Ia menyampaikan hal itu pada taushiyah peringatan akhirusannah Pondok Pesantren Walisongo Sungkul Plumbungan Karangmalang Sragen.

“Jangan lupa tanggal 9 Juli nanti, sebagai warga negara Indonesia silakan menggunakan hak pilihnya untuk ikut andil dalam pesta demokrasi, namun kami berpesan jika sudah sampai bilik suara, jangan lupa mengucap bismillah niat saya memilih presiden karena Allah,” ungkap Cak Nun kepada para jama’ah, Sabtu (21/6) di lapangan Desa Plumbungan.

Menurut pria yang akrab disapa Cak Nun ini, jangan sampai kita memilih presiden karena ada iming-iming sesuatu atau mencari sesuatu.

“Jadi ketika sudah berniat karena Allah, entah pilihan kita jadi atau tidak itu adalah kehendak Allah dan insya’Allah orang yang niatnya benar akan bisa menerima hasil apa pun,” tegasnya.

Menurut Cak Nun, orang yang berselisih paham hingga menimbulkan permusuhan, itu terkadang justru melupakan hal yang pokok yang seharusnya menjadi prioritas. “Orang banyak yang meributkan tentang keripik singkong, gethuk singkong, dan makanan lain yang terbuat dari singkong, namun lupa bagaimana menanam singkong agar berkualitas,” sindirnya.

Oleh karena itu, lanjut dia, sekarang bukan saatnya untuk mencaci dan memuji, tapi kedamaian dan ketentraman harus diutamakan karena itu adalah hal pokok yang menjadi salah satu tujuan demokrasi itu sendiri.

Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, Dan Dzulhijjah

بسم الله الرحمن الرحيم
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 2 Tahun 2004
Tentang
PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL,
DAN DZULHIJJAH


Majelis Ulama Indonesia, setelah :

MENIMBANG  :  

a.  bahwa umat Islam Indonesia dalam melaksanakan puasa Ramadan, salat Idul Fitr dan Idul Adha, serta ibadah-ibadah lain yang terkait dengan ketiga bulan tersebut terkadang tidak dapat melakukannya pada hari dan tanggal yang sama disebabkan perbedaan dalam penetapan awal bulan-bulan tersebut;

b.  bahwa keadaan sebagaimana tersebut pada huruf a dapat menimbulkan citra dan dampak negatif terhadap syi’ar dan dakwah Islam;

c.  bahwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada tanggal 22 Syawwal 1424 H./16 Desember 2003 telah menfatwakan tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, sebagai upaya mengatasi hal di atas;

d.  bahwa oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah dimaksud untuk dijadikan pedoman.

MENGINGAT  : 

1.  Firman Allah SWT, antara lain

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ

Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu…(QS Yunus [10]: 5)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan ulil-amri di antara kamu. (QS. an-Nisa’ [4]: 59)

2.  Hadis-hadis Nabi s.a.w., antara lain

لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ، وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ (رواه البخاري ومسلم عن ابن عمر 94

 “Janganlah kamu berpuasa (Ramadhan) sehingga melihat tanggal (satu Ramadhan) dan janganlah berbuka (mengakhiri puasa Ramadhan) sehingga melihat tanggal (satu Syawwal). Jika dihalangi oleh awan/mendung maka kira-kirakanlah”.(H.R. Bukhari Muslim dari Ibnu Umar)

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ

“Berpuasalah (Ramadhan) karena melihat tanggal (satu Ramadhan). Dan berbukalah (mengakhiri puasa Ramadhan) karena melihat tanggal (satu Syawwal). Apabila kamu terhalangi, sehingga tidak dapat melihatnya maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga puluh hari”. (Bukhari Muslim dari Abu Hurairah).

عَلَيْكُمْ بِالسَّمْعِ، وَالطَّاعَةِ وَإِنْ وُلِّيَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيُّ

“Wajib bagi kalian untuk taat (kepada pemimpin), meskipun yang memimpin kalian itu seorang hamba sahaya Habsyi”. (H.R. Bukhari dari Irbadh bin Sariyah).

3.  Qa’idah fiqh:

حُكْمُ الْحَاكِمِ إلْزَامٌ وَيَرْفَعُ الْخِلَافَ

“Keputusan pemerintah itu mengikat (wajib dipatuhi) dan menghilangkan silang pendapat”.

MEMPERHATIKAN  : 
1.  Pendapat para ulama ahli fiqh; antara lain pendapat Imam al-Syarwani dalam Hasyiyah al-Syarwani:

وَمَحَلُّ الْخِلَافِ إذَا لَمْ يَحْكُمْ بِهِ حَاكِمٌ. فَإِنْ حَكَمَ بِهِ حَاكِمٌ يَرَاهُ وَجَبَ الصَّوْمُ عَلَى الْكَافَّةِ وَلَمْ يُنْقَضْ الْحُكْمُ إجْمَاعًا قَالَهُ النَّوَوِيُّ فِي مَجْمُوعِهِ وَهُوَ صَرِيحٌ فِي أَنَّ لِلْقَاضِي أَنْ يَحْكُمَ بِكَوْنِ اللَّيْلَةِ مِنْ رَمَضَانَ

"Perbedaan tersebut masih dianggap apabila pemerintah belum memberikan ketetapan hukum mengenai permasalahan tersebut, jadi apabila pemerintah telah memberikan keputusan, maka semuanya wajib berpuasa, dan keputusan pemerintah tersebut tidak boleh dilanggar - berdasarkan kesepakatan para ulama' -, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab Majmu'-nya. Penjelasan tersebut sangatlah jelas bahwa seorang hakim berhak memutuskan bahwa suatu malam adalah termasuk bulan romadhon."

2.  Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah, tanggal 22 Syawwal 1424/16 Desember 2003.

2.  Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 05 Dzulhijjah 1424/24 Januari
2004.

Dengan memohon ridha Allah SWT
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN  :  FATWA TENTANG PENETAPAN AWAL RAMADHAN, SYAWAL, DAN DZULHIJJAH

Pertama  :  Fatwa
1.  Penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode ru’yah dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional.
2.  Seluruh umat Islam di Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
3.  Dalam menetapkan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Menteri Agama
wajib berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam dan Instansi terkait.
4.  Hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat walaupun di luar wilayah Indonesia yang mathla’nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.

Kedua  :  Rekomendasi
Agar Majelis Ulama Indonesia mengusa-hakan adanya kriteria penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah untuk dijadikan pedoman oleh Menteri Agama dengan membahasnya bersama ormas-or-mas Islam dan para ahli terkait.

Jakarta, 05 Dzulhijjah 1424H
24 Januari 2004 M


MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA
Ketua
ttd
K.H. Ma’ruf Amin
Sekretaris
ttd
Drs. H. Hasanuddin, M.Ag

Kamis, 19 Juni 2014

Melaksanakan ta’addud al-Jum'ah


بسم الله الرحمن الرحيم

<<<<>>>>

Sebagaimana dalam literatur kitab-kitab Syafi’iyah dan yang lain, bahwa faktor-faktor tertentu dapat menjadi alasan untuk melaksanakan shalat jumat lebih dari satu tempat dalam satu kawasan diantaranya penuhnya masjid dengan jamaah, sulitnya dipertemukan antara dua belah pihak yang berseteru, dan karena jarak yang jauh  Pada era industrialisasi dan urbanisasi pekerja dari desa ke kota saat ini, seolah menuntut ‘alasan baru’ dalam melaksanakan ta’addud al-Jum'ah, kendatipun jarak antar satu kantor instansi, pabrik, terminal, rumah sakit atau lainnya dengan tempat yang lain tidak terlalu jauh
.Namun karena ada aturan kerja yang mengikat, ketertiban pegawai, kantor yang eksklusif (tertutup) dan sebagainya, memaksa masing-masing tempat tersebut untuk mengadakan salat jumat di tempatnya sendiri-sendiri. Banyak juga dari para pekerja tersebut yang berstatus sebagai pekerja kontrak yang berasal dari luar daerah, baik yang tinggal di asrama tempat kerjanya atau menyewa tempat tinggal daerah sekitar tempat kerjanya
Pertanyaan
a. Adakah kriteria lain yang memperbolehkan ta’addud al-Jumat selain udzur penuhnya masjid dengan
Jamaah, Sulitnya dipertemukan antara dua belah pihak yang berseteru dan karena jarak yang jauh
Dan jika ada, apa batasan kriteria ta’addud al-Jumat itu

Jawab
Ada, yaitu setiap hajat (keperluan) yang sampai pada taraf masyaqqah yang secara adat tidak tertahankan
Dasar Pengambilan

الترمسي جــ 3 صــ 212 - 213
(قوله الا لعسر الاجتماع) اي يقينا وظاهره ان الاوفق لضبطهم عسر الاجتماع بان تكون فيه مشقة لا تحتمل عادة ومن صور جواز التعدد ايضا وقوع تقاتل او خصام بين اهل جانبي البلد وان لم تكن مشقة فكل فئة بلغت اربعين تلزمها اقامة الجمعة ولو نقص عدد جانب او كل عن الاربعين لم تجب عليهم فيه ولا فى الاخر تأمل اهــ


بغية المسترشدين - (1 / 164)
مسألة) : وقع حرب واختلاف بين جندين في بلدة وتحزب كل ، وخاف بعض الرعية من حضور الجمعة في جامعها الأصلي ، فأحدثوا جمعة في محلهم غير الجمعة الأصلية ، حرم عليهم إقامتها والحال ما ذكر فضلاً عن ندبها أو أنها تلزمهم ، إذ لم يقل أحد من أئمة المذهب إن المعذورين بعذر من أعذار الجمعة والجماعة إذا اجتمع منهم أربعون في جانب من البلدة الواحدة يلزمهم أن يقيموا جمعة ، بل ولا من أئمة المذاهب الثلاثة ، إلا ما نقل عن الإمام أحمد من جواز تعددها للحاجة ، وإنما الخلاف فيما إذا كان المعذورون بمحل يجوز فيه تعدد الجمعة ، كما يعلم من عبارة التحفة وغيرها. والحاصل من كلام الأئمة أن أسباب جواز تعددها ثلاثة : ضيق محل الصلاة بحيث لا يسع المجتمعين لها غالباً ، والقتال بين الفئتين بشرطه ، وبعد أطراف البلد بأن كان بمحل لا يسمع منه النداء ، أو بمحل لو خرج منه بعد الفجر لم يدركها ، إذ لا يلزمه السعي إليها إلا بعد الفجر اهـ. وخالفه ي فقال : يجوز بل يجب تعدد الجمعة حينئذ للخوف المذكور ، لأن لفظ التقاتل نص فيه بخصوصه ، ولأن الخوف داخل تحت قولهم : إلا لعسر الاجتماع ، فالعسر عام لكل عسر نشأ عن المحل أو خارجه ؟ وانحصار التعدد في الثلاث الصور التي استدل بها المجيب المتقدم ليس حقيقة ، إذ لم يحصر العذر في التحفة والنهاية وغيرهما بل ضبطوه بالمشقة ، وهذا الحصر إما من الحصر المجازي لا الحقيقي إذ هو الأكثر في كلامهم ، أو من باب حصر الأمثلة ، فالضيق لكل عسر نشأ عن المحل والبعد ، ولكل عسر نشأ عن الطريق والتقاتل ولغيرهما ، كالخوف على النفس والمال والحر الشديد والعداوة ونحوها من كل ما فيه مشقة.
 

Pertanyaan
b. Apakah faktor efisiensi waktu, keamanan, keselamatan ketika menyeberang jalan-raya, minimnya jam istirahat kerja, larangan jum'atan di luar dari pihak perusahaan, dan lain sebagainya, dapat digolongkan kriteria yang memperbolehkan ta’addud al-Jumat


Jawaban
Sama dengan jawaban sub. A
 

Dasar Pengambilan
Sama dengan ibarat sub. A
 

Pertanyaan
 c. Jika jumlah mustauthinin (penduduk tetap) dalam mendirikan salat Jumat tidak mencapai 40 orang, bahkan tidak ada sama sekali, maka bagaimana pendapat musyawirin menyikapi fenomena ini -- PCNU kota Surabaya 

Jawaban
Boleh melakukan salat Jumat, namun setelah shalat Jum'ah dianjurkan melakukan salat Dzuhur sebagai langkah ihtiyath. Sedangkan dalam masalah tidak ada mustauthin (penduduk domisili tetap) sama sekali, maka menurut pendapat al-Ashah hukumnya tidak boleh

namun menurut Muqabil al-Ashah hukumnya boleh bagi muqimin
pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Abi Hurairah dan Imam Subki

Catatan Jumlah minimal anggota jamaah salat Jum.at menurut pendapat mu'tamad dalam madzhab Syafii adalah 40 orang, tetapi ada pendapat lain dalam madzhab Syafii yang menyatakan cukup 12 orang atau 4 orang

Dasar Pengambilan
إثمد العينين هامش بغية ص 36 ط. الحرمين
قال الإمام السبكى لم يقم عندى دليل على عدم انعقاد الجمعة بالمقيم غير السمتوطن
 
المجموع شرح المهذب - (ج 4 / ص 503) المكتبة الشاملة اصدار الثانى
وأما قول المصنف هل تنعقد بمقيمين غير مستوطنين فيه وجهان مشهوران (أصحهما) لا تنعقد اتفقوا على تصحيحه ممن صححه المحاملى وامام الحرمين والبغوى والمتولي وآخرون

المهذب - (ج 1 / ص 110) المكتبة الشاملة اصدار الثانى
وهل تنعقد بمقيمين غير مستوطنين فيه وجهان قال أبو علي بن أبي هريرة تنعقد بهم لانه تلزمهم الجمعة فانعقدت بهم كالمستوطنين وقال أبو إسحاق لا تنعقد بهم لان النبي صلى الله عليه وسلم خرج إلى عرفات وكان معه أهل مكة وهم في ذلك الموضع مقيمون غير مستوطنين فلو انعقدت بهم الجمعة لا قامها


المجموع شرح المهذب - (4 / 503)
(السادس) من تلزمه وتصح منه وفى انعقادها به خلاف وهو المقيم غير المستوطن ففيه الوجهان المذكوران في الكتاب (اصحهما) لا تنعقد به ثم أطلق جماعة الوجهين في كل مقيم لا يترخص وصرح جماعة بأن الوجهين جاريان في المسافر الذى نوى اقامة اربعة ايام وهو ظاهر كلام المصنف وغيره قال الرافعي هما جاريان فيمن نوى اقامة يخرج بها عن كونه مسافرا قصيرة كانت أو طويلة وشذ البغوي فقال الوجهان فيمن طال مقامه وفى عزمه الرجوع إلى وطنه كالمتفقه والتاجر قال فان نوى اقامة اربعة ايام يعني ونحوها من الاقامة القليلة لم تنعقد به وجها واحدا والمشهور طرد الخلاف في الجميع واما اهل الخيام والقرى الذين يبلغهم نداء البلد وينقصون عن اربعين فقطع البغوي بانها لا تنعقد بهم لانهم ليسوا مقيمين في بلد الجمعة بخلاف المقيم بنية الرجوع الي وطنه وطرد المتولي فيهم الوجهين والاول اظهر


فتح المعين مع حاشية اعانة الطالبين - (ج 2 / ص 58-59)
ولا تنعقد الجمعة بأقل من أربعين، خلافا لابي حنيفة - رحمه الله تعالى - فتنعقد عنده بأربعة، ولو عبيدا أو مسافرين. ولا يشترط عندنا إذن السلطان لا قامتها ولا كون محلها مصرا، خلافا له فيهما. وسئل البلقيني عن أهل قرية لا يبلغ عددهم أربعين، هل يصلون الجمعة أو الظهر ؟ فأجاب - رحمه الله -: يصلون الظهر على مذهب الشافعي. وقد أجاز جمع من العلماء أن يصلوا الجمعة، وهو قوي، فإذا قلدوا - أي جميعهم - من قال هذه المقالة، فإنهم يصلون الجمعة. وإن احتاطوا فصلوا الجمعة ثم الظهر كان حسنا. (قوله اي غير الامام الشافعي) اي باعتبار مذهبه الجديد فلا ينافي ان له قولين قديمين فى العدد ايضا احدهما اقلهم اربعة حكاه عنه صاحب التلخيص وحكاه فى شرح المهذب واختاره من اصحابه المزني كما قاله الاذرعي وكفى به سلفا في ترجيحه فإنه من كبار اصحاب الشافعي ورواة كتبه الجديدة وقد رجحه ايضا ابو بكر بن المنذر فى الاشراف كما نقله النووي فى شرح المهذب ثاني القولين اثنا عشر وهل يجوز تقليد هذين القولين ؟ الجواب نعم فإنه قول للامام نصره بعض اصحابه ورجحه

Jumat, 13 Juni 2014

KHOTIB KENTUT DI SAAT KHUTBAH

PERTANYAAN :
Ketika khotib sedang berkhutbah jum'at, di tengah tengah khutbahnya dia buang angin ( kentut ) ,, karna malu untuk mengakui, dirinya tetap melanjutkan khutbahnya, hingga selesai. Pertanyaan nya : Bagaimana hukum khutbahnya khotib tersebut,, batal atau tidak ?? dan jika batal apakah harus mengulangi khutbah lagi ??
JAWABAN :
Batal dan wajib mengulangi khutbah lagi.
Hasyiyah Asysyarqowi 1:564
وهو متطهر من الحدث والخبث مستتر قائم فيهما عند القدرة الخ 
قوله ( من الحدث ) اى الأصغر والأكبر ، فلو حدث في اثناء الخطبة استأنفها ، 
Dan dia ( khotib ) harus suci dari hadast & najis, menutupi aurat, berdiri di dalam ke 2 khotbah ketika mampu yg di maksud perkata'an kiyai mushonnif ( dari hadast ) yaitu harus suci dari hadast kecil & hadast besar .& jika hadast di pertengahan Khutbah maka harus di mulai lagi khutbahnya. 
Wallohu a'lam bis showab.

Kamis, 05 Juni 2014

CARA MENGHILANGKAN PENYAKIT RIYA'

PERTANYAAN :
Assalamualaikum Warohmatulloh. caranya agar tidak riya' apa aja ya… sukron forever.
JAWABAN :
Wa alaikumus salaam warohmatulloh, caranya agar tidak riya' dinukil dari kitab Mau'idhotul Mukminin Syeh Jamaludin Al Qosimi.
Sudah diketahui bahwa penyakit riya' adalah suatu perkara yang bisa menghilangkan pahala amalan amalan, penyebab murkanya Allah dan termasuk dosa besar yang menghancurkan maka pantaslah utk senantiasa berusaha sekuat tenaga dalam menghilangkan penyakit ini.
Dalam penyembuhan penyakit riya' ada dua jalan:
1. mencabut akar dan dan asalnya yg menjadikan penyakit ini bercabang cabang.
2. menolaknya secara langsung ketika dia datang.
Akar dan asalnya penyakit riya' adalah cinta pangkat, cinta pangkat ini jika dirinci maka menjadi 3, yaitu:
a. suka terhadap nikmatnya pujian
b. takut dari sakitnya celaan
c. tamak terhadap kepunyaan orang lain.
ketiga perkara itulah yg menyebabkan orang menjadi riya'.
Cara penyembuhannya adalah dengan mengetahui bahayanya riya' , mengetahui bahwa dia kehabisan waktu utk memperbaiki hatinya, terhalang dari petunjuk Allah, dan diakerat tentang derajatnya disisi Allah, siksaan2 dan murkanya Allah dan hinaan yang dhohir.
maka selama dia mau tafakkur tentang bahaya2 ini dan membandingkannya dengan apa yang didapatkan oleh orang2 ahli ibadah serta berhias dengan apa yg telah dilewatkannya dari pahala2 dan amalan2 maka akan menjadi mudah baginya menghilangkan rasa cinta tsb.
perumpamaannya yaitu seseorang mengetahui manis dan nikmatnya madu tetapi ketika dalam madu tsb ada racunnya maka dia akan menolaknya, lalu tujuan apakah yang diharapkan dari pujian orang sehingga dia memilih celaan Allah padanya sebab pujian mereka , padahal pujian mereka itu tdk akan menambahkan thd rizki, tdk pula ajal, serta tdk pula memberikan manfaat ketika dia fakir dan membutuhkan yaitu dihari kiamat.
sedangkan penyembuhan tama' terhadap kepunyaan orang lain adalah degan cara mengetahui bawa Allahlah yang menundukkan hati dengan memberi dan mencegah dan sesungguhnya semua makhluk tdk ikhtiyar baginya, tiada yang memberi rizki kecuali Allah. barang siapa yg tamak maka dia tdk akan sepi dari kehinaan dan kerugian dan jika dia mencapai apa yg diharapkan maka tidak akan sepi dari cobaan dan penghinaan, maka bagaimana dia bisa meninggalkan apa yang disisi Allah dengan harapan palsu dan persangkaan salah yang rusak.
semua hamba itu lemah , mereka tdk memiliki kebahayaan bagi dirinya sendiri juga kemanfaatan, maka ketika afat2nya hal2 ini sudah tertancap didalam hati jadilah dia kendor dalam suka tamak dan hatinya menghadap Allah, orang yg berakal tdk akan menyukai perkara yg banyak bahayanya dan sedikit manfaatnya.
ini adalah obat ilmiyah utk mencabut akarnya riya', adapun obat amaliyah yaitu dengan cara membiasakan diri menyembunyikan ibadah dan mengunci pintunya utk menolak riya' sebagaimana dia menutup pintu2 utk menolak kejahatan2 maka dirinya tdklah mengharapkan diketahui kecuali oleh Allah .
yang kedua adalah menolak riya' secara langsung ketika sedang melakukan ibadah.
ini juga harus diketahui karena barang siapa yang bersungguh2 dalam mencabut akarnya riya', memotong tama' dan menganggap remeh pujian makhluk serta celaan mereka maka setan tdk akan meninggalkan dia ditengah2 ibadah, bahkan dia akan menampakkan padanya bisikan2 riya' . ketika setan memberitahukan ttg penglihatan makhluk maka tolaklah dengan mengatakan : " apa keuntungan bagimu dan bagi makhluk baik mereka mengetahui ataupun tidak, sedangkan Allah mengetahui keadaannmu maka apa faedahnya pengetahuan selain Allah ?"ketika rasa senang terhadap nikmatnya pujian bergejolak maka ingatlah apa yg telah tertancap didalam hatinya yaitu bahaya2nya riya' , murkanya Allah dan kesengsaraan akherat.
بيان دواء الرياء وطريق معالجة القلب فيه : 
عرفت مما سبق أن الرياء محبط للأعمال وسبب للمقت عند الله تعالى ، وأنه من كبائر المهلكات ، وما هذا وصفه فجدير بالتشمير عن ساق الجد في إزالته . 
وفي علاجه مقامان : أحدهما : قلع عروقه وأصوله التي منها انشعابه . والثاني : دفع ما يخطر منه في الحال : 
المقام الأول في قلع عروقه وأصوله : 
وأصله حب المنزلة والجاه ، وإذا فصل رجع إلى ثلاثة أصول وهي : حب لذة المحمدة ، والفرار من ألم الذم ، والطمع فيما في أيدي الناس ، فهذه الثلاثة هي التي تحرك المرائي إلى الرياء . وعلاجه أن يعلم مضرة الرياء وما يفوته من صلاح قلبه ، وما يحرم عنه في الحال من التوفيق وفي الآخرة من المنزلة عند الله تعالى ، وما يتعرض له من العقاب والمقت الشديد والخزي الظاهر . فمهما تفكر العبد في هذا الخزي وقابل ما يحصل له من العباد والتزين لهم في الدنيا بما يفوته في الآخرة وبما يحبط عليه من ثواب الأعمال فإنه يسهل عليه قطع الرغبة عنه ، كمن يعلم أن العسل لذيذ ولكن إذا بان له أن فيه سما أعرض عنه . ثم أي غرض له في مدحهم وإيثار ذم الله لأجل حمدهم ، ولا يزيده حمدهم رزقا ، ولا أجلا ، ولا ينفعه يوم فقره وفاقته ، وهو يوم القيامة . 
وأما الطمع فيما في أيديهم فبأن يعلم أن الله تعالى هو المسخر للقلوب بالمنع والإعطاء ، وأن الخلق مضطرون فيه ، ولا رازق إلا الله ، ومن طمع في الخلق لم يخل من الذل والخيبة ، وإن وصل إلى المراد لم يخل عن المنة والمهانة ، فكيف يترك ما عند الله برجاء كاذب ووهم فاسد ، وقد يصيب وقد يخطئ ، وإذا أصاب فلا تفي لذته بألم منته ومذلته ، وأما ذمهم فلم يحذر منه ، ولا يزيده ذمهم شيئا ما لم يكتب الله عليه ، ولا يعجل أجله ، ولا يؤخر رزقه ، ولا يجعله من أهل النار إن كان من أهل الجنة ، ولا يبغضه إلى الله إن كان محمودا عند الله ، فالعباد كلهم عجزة لا يملكون لأنفسهم ضرا ، ولا نفعا ، فإذا قرر في قلبه آفة هذه الأسباب وضررها فترت رغبته ، وأقبل على الله قلبه ، والعاقل لا يرغب فيما يكثر ضرره ويقل نفعه ، فهذا من الأدوية العلمية القالعة مغارس الرياء . وأما الدواء العملي فهو أن يعود نفسه إخفاء العبادات وإغلاق الأبواب دونها كما تغلق الأبواب دون الفواحش فلا تنازعه نفسه إلى طلب علم غير الله به . 
المقام الثاني في دفع العارض منه أثناء العبادة : 
وذلك لا بد أيضا من تعلمه ، فإن من جاهد نفسه بقلع مغارس الرياء وقطع الطمع واستحقار مدح المخلوقين وذمهم فقد لا يتركه الشيطان في أثناء العبادة ، بل يعارضه بخطرات الرياء ، فإذا خطر له معرفة اطلاع الخلق دفع ذلك بأن قال : ما لك وللخلق علموا أو لم يعلموا والله عالم بحالك فأي فائدة في علم غيره ، فإن هاجت الرغبة إلى لذة الحمد ذكر ما رسخ في قلبه من قبل من آفة الرياء وتعرضه للمقت الإلهي وخسرانه الأخروي . 
Wallohu a'lam bis showab.

Senin, 02 Juni 2014

Hukum Mempercayai Hari Naas (Hari Sial)

KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-3
Di Surabaya Pada Tanggal 12 Rabiuts Tsani 1347 H. / 28 September 1928 M.


58. Mempercayai Hari Naas

Pertanyaan: Bolehkah berkeyakinan terhadap hari naas, misalnya hari ketiga atau keempat pada tiap-tiap bulan, sebagaimana tercantum dalam kitab Lathaiful Akbar?

Jawaban: Muktamar memilih pendapat yang tidak membolehkan.

Keterangan, dalam kitab:
1. Al-Fatawa Al-Haditsiyah, hal. 28

مَنْ يَسْأَلُ عَنِ النَّحْسِ وَمَا بَعْدَهُ لَا يُجَابُ إِلَّا بِالْإِعْرَاضِ عَنهُ وَتَسْفِيْهِ مَا فَعَلَهُ وَيُبَيِّنُ لَهُ قُبْحَهُ، وَأََنَّ ذَلِكَ مِنْ سُنَّةِ الْيَهُوْدِ لَا مِنْ هَدْيِ الْمُسْلِمِيْنَ المتوكلين على خالقهم وبارئهم الَّذين لَا يَحْسَبُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. وَمَا يُنْقَلُ مِنَ الْأَيَّامِ الْمَنْقُوْطَةِ وَنَحْوِهَا عَنْ عَلِيٍّ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ بَاطِلٌ كَذِبٌ لَا أَصْلَ لَهُ فَلْيَحْذَرْ مِنْ ذَلِكَ

     Barangsiapa yang bertanya tentang hari sial dan sesudahnya maka tidak perlu dijawab, melainkan dengan berpaling, menganggap bodoh tindakannya dan menjelaskan keburukannya, dan menjelaskan bahwa semua itu merupakan kebiasaan orang yahudi, bukan petunjuk bagi orang Islam yang bertawakal kepada penciptanya yang tidak pernah menggunakan hisab (perhitungan hari baik dan buruk).

     Sedangkan keterangan menegenai hari-hari apes dan semacamnya yang dinukil dari Ali karramallahu wajhah adalah batil dan merupakan suatu kebohongan yang tidak memiliki dasar, karena itu berhati-hatilah kalian dari hal-hal tersebut.

Jumat, 02 Mei 2014

7 Hal yang Harus Dihindari dalam Shalat

Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin karya Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-hadramy menyatakan bahwa ada tujuh hal yang dimakruhkan dalam shalat. Artinya ketujuh hal itu bila dilakukan tidak sampai mengakibatkan batalnya shalat, tetapi lebih baik dihindari karena dianggap tidak sopan.

Ketujuh hal tersebut dikumpulkan dalam sebuah nadham yang berbunyi:
أخى تجنب فى صلاتك سبعة  * نعاسا حكاكا والتثاؤب والعبث
ووسوسة كذا الرعاف التفاتة * على تركها قد حرض المصطفى وحث
Saudara hindarilah tujuh hal dalam shalat, mengantuk, menggaruk-garuk, menguap, iseng, ragu hati, mengupil, dan bertolah-toleh. Semua itu selalu ditinggalkan oleh Rasulullah saw.

Ketujuh hal tersebut memang tidak membatalkan shalat, tetapi dianggap tidak pantas dilakukan ketika shalat. Mengantuk jelas berbahaya, membahayakan diri sendiri dan juga orang lain. Karena dikhawatirkan akan terucap do’a mohon balak-kerusakan. Menguap, menggauk, mengupil, tolah-toleh, dan berbuat iseng, semua menunjukkan ketidak seriusan bahkan mengarah pada penghinaan lawan pihak yang diajak komunikasi.
Sungguh hal ini akan menjauhkan seseorang pada kekhusyukan shalat. Apalagi jika masih ada keragu-raguan dalam hati, entah ragu tentang bilangan raka’at, atau ragu batalnya wudhu, atau ragu tentang makanan yang masih tertinggal di meja, ragu tentang keamanan motor yang diparkir di depan masjid dan lain sebagainya.

Jumat, 28 Maret 2014

Dzikir jahr ba'da sholat

Dzikir menurut al-Qur’an dan as-Sunnah

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلاَ تــَـعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” [QS. Al-Kahfi: 28]

Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan sbb :

وقوله "واصبر نفسك مع الذين يدعون ربهم بالغداة والعشي يريدون وجهه" أي اجلس مع الذين يذكرون الله ويهللونه ويحمدونه ويسبحونه ويكبرونه ويسألونه بكرة وعشيًا من عباد الله سواء كانوا فقراء أو أغنياء أو أقوياء أو ضعفاء يقال إنها نزلت في أشراف قريش حين طلبوا من النبي صلى الله عليه وسلم أن يجلس معهم وحده ولا يجالسهم بضعفاء أصحابه كبلال وعمار وصهيب وخباب وابن مسعود وليفرد أولئك بمجلس على حدة فنهاه الله عن ذلك

Firman Alloh: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya” yakni duduk bersama org yg berdzikir, bertahlil, bertahmid bertasbih, bertakbir dan bermohon kpd Alloh di waktu pagi dan sore dari hamba Alloh baik yg fakir atau kaya, yg kuat atau yg lemah. Dikatakan sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dgn pembesar2 Quraisy yg menghendaki agar Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam duduk bersama mereka saja dan tdk duduk bersama mereka org2 yg lemah dari para sahabat seperti Bilal bin Rabah, Ammar bin Yasir, Suhaib, Khabbab dan Ibnu Mas’ud. Dan agar supaya mereka dibuatkan majlis khusus [tdk bercampur dgn mereka pembesar Quraisy-pent], maka Alloh melarang perbuatan itu.

وأخرج ابن جرير والطبراني وابن مردويه، عن عبد الرحمن بن سهل بن حنيف قال: نزلت على رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو في بعض أبياته {واصبر نفسك مع الذين يدعون ربهم بالغداة والعشي} فخرج يلتمسهم فوجد قوما يذكرون الله، فيهم ثائر الرأس وجاف الجلد وذو الثوب الواحد، فلما رآهم جلس معهم وقال: "الحمد لله الذي جعل في أمتي من أمري أن أصبر نفسي معهم".
وأخرج البزار عن بي هريرة وأبي سعيد قالا: جاء رسول الله صلى الله عليه وسلم رجل يقرأ سورة الحجر وسورة الكهف، فسكت فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "هذا المجلس الذي أمرت أن أصبر نفسي معهم".

Dari ‘Abd al-Rahman bin Sahl bin Hanif, ia berkata: Pada suatu saat, ketika Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam berada di salah satu rumahnya, turunlah ayat kepada beliau, yang ertinya: “Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keredhaan-Nya.” (Surah al-Kahfi: 28), Maka setelah menerima wahyu itu, Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam keluar untuk mencari orang-orang yang dimaksudkan dalam ayat tersebut. Kemudian beliau menjumpai sekelompok orang yang sedang sibuk berzikir. Di anatara mereka ada yang rambutnya tidak teratur dan kulitnya kering, dan ada yang hanya memakai sehelai kain. Ketika Rasulullah s.a.w. melihat mereka, beliau pun duduk bersama mereka dan bersabda, yang artinya: “Segala puji bagi Allah, yang telah menciptakan di antara umatku orang-orang yang mernyebabkan aku diperintahkan duduk bersama mereka.” (HR. Thabrani, Ibn Jarir dan Ibn Mardawaih)
Dari Abu Hurairah ra. dan Abi Sa’id ra. berkata, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam datang disaat seorang laki-laki membaca surat Al-Hijr dan Al-Kahfi. Maka Rosululloh terdiam lalu bersabda, “Inilah majelis yg aku diperintahkan agar bersabar berkumpul bersama mereka [majelis dzikir-pent].” [HR. Al-Bazzar]

- (2675) حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ - وَاللَّفْظُ لِقُتَيْبَةَ - قَالَا: حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: «أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ حِينَ يَذْكُرُنِي، إِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ، ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ، ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ هُمْ خَيْرٌ مِنْهُمْ، وَإِنْ تَقَرَّبَ مِنِّي شِبْرًا، تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا، تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا، وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً» [روه مسلم]

.........Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Allah Taala berfirman: Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku dan Aku selalu bersamanya ketika dia mengingat-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku pun akan mengingatnya dalam diri-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam suatu jema’ah manusia, maka Aku pun akan mengingatnya dalam suatu kumpulan makhluk yang lebih baik dari mereka. Apabila dia mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta. Apabila dia mendekati-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Dan apabila dia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari. (HR. Muslim (2675/4832)

Dalam sahih Bukhari dan Muslim disebutkan pada Bab Dzikir setelah shalat, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata
أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ

“Sesungguhnya mengeraskan suara dzikir ketika orang-orang usai melaksanakan shalat wajib merupakan kebiasaan yang berlaku pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Ibnu Abbas menambahkan, ‘Aku mengetahui mereka selesai shalat dengan itu, apabila aku mendengarnya.”

وعن أبي هريرة قال قَالَ رَسُوْل اللهِ صَلًَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمََ: إن لله ملائكة يطوفون في الطرق يلتمسون أهل الذكر فإذا وجدوا قوما يذكرون الله عز وجل تنادوا هلموا إلى حاجتكم قال فيحفونهم بأجنحتهم إلى السماء الدنيا قال فيسألهم ربهم وهو أعلم منهم ما يقول عبادي قال يقولون يسبحونك ويكبرونك ويحمدونك ويمجدونك قال فيقول عز وجل هل رأوني قال فيقولون لا والله ما رأوك قال فيقول كيف لو رأوني قال يقولون لو رأوك كانوا أشد لك عبادة وأشد لك تمجيدا وأكثر لك تسبيحا قال فيقول فما يسألوني قال يسألونك الجنة قال يقول وهل رأوها قال فيقولون لا والله يا رب ما رأوها قال يقول فكيف لو رأوها قال يقولون كانوا أشد عليها حرصا وأشد لها طلبا وأعظم فيها رغبة قال فمم يتعوذون قال يقولون من النار قال يقول وهل رأوها قال فيقولون لا والله يا رب ما رأوها قال يقول فكيف لو رأوها قال يقولون كانوا أشد منها فرارا وأشد لها مخافة قال فيقول فأشهدكم أني قد غفرت لهم قال يقول ملك من الملائكة فيهم فلان ليس منهم إنما جاء لحاجة قال فيقول الله تعالى هم الجلساء لا يشقى زبهم جليسهم. [رواه البخاري ومسلم والترمذي]

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah mempunyai malaikat yang berterbangan di seluruh pelusuk bumi untuk mencari dan menulis amal baik manusia. Apabila mereka menjumpai sekumpulan manusia berzikir kepada Allah lalu mereka menyeru sesama mereka: “Marilah ke sini, kita telah menemui apa yang kita cari.” Lantas mereka datang berduyun-duyun sambil menghamparkan sayap menaungi orang-orang yang sedang berdzikir itu.
Selepas itu lalu Allah bertanya kepada para malaikat, “Apakah yang sedang dilakukan hamba-hamba-Ku itu ketika kamu meninggalkan mereka?” Malaikat menjawab, “Mereka di dalam keadaan memuji, mengagungkan dan bertasbih kepada-Mu wahai Allah.” Allah bertanya lagi, “Adakah mereka itu pernah melihat-Ku?” Jawab malaikat, “Tidak pernah!” Allah terus bertanya, “Bagaimana sekiranya mereka melihatKu?” Jawab malaikat, “Jika mereka melihat-Mu, nescaya akan bersangatanlah mereka mengagungkan, bertasbih dan bertahmid kepada-Mu ya Allah.”
Allah bertanya lagi, “Mereka memohon perlindungan-Ku daripada apa?” Malaikat menjawab, “Daripada neraka.” Allah bertanya, “Adakah mereka pernah melihat neraka?” Jawab malaikat, “Tidak pernah!” Allah bertanya, “Bagaimana sekiranya mereka dapat melihat neraka?” Malaikat menjawab, “Mereka akan lari sejauh-jauhnya dari neraka kerana ketakutan.” Allah bertanya, “Apakah permintaan mereka?” Malaikat menjawab, “Mereka meminta daripadaMu syurga.” Allah bertanya, “Adakah mereka pernah melihat syurga?” Jawab malaikat, “Tidak pernah.” Allah bertanya, “Bagaimana sekiranya mereka dapat melihat syurga?” Malaikat menjawab, “Mereka sangat haloba untuk memperolehinya,” Lalu Allah berkata, “Sesungguhnya aku bersaksi, bahawa aku telah mengampunkan mereka.”
Para malaikat bertanya pula, “Wahai Allah! Seseorang telah datang ke dalam kumpulan ini dan dia tidak bercita-cita untuk menjadi sebahagian daripada mereka.” Allah menjawab, “Mereka ini adalah segolongan manusia yang tidak menyakiti orang yang menyertai mereka.” (HR. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi)

- (3375) - - حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ قَالَ: حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ حُبَابٍ، عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ قَيْسٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلَامِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَيَّ، فَأَخْبِرْنِي بِشَيْءٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ، قَالَ: «لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ» : «هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الوَجْهِ» [روه الترمذى] [حكم الألباني] : صحيح

......Dari Abdulloh bin Yasar ra. Sesungguhnya seorang lelaki berkata: Ya Rosulalloh, sesungguhnya syaria’at islam sungguh sangatlah banyak menurutku, maka kabarkanlah kepadaku sesuatu yg simpel. Rosul bersabda, “Basahilah selalu lisanmu dgn berdzikir kpd Alloh.” [HR. Tirmidzhi hadits hasan ghorib yg dishohihkan Al-Bani]

) -3378 (- حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ الأَغَرِّ أَبِي مُسْلِمٍ، أَنَّهُ شَهِدَ عَلَى أَبِي هُرَيْرَةَ، وَأَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ، أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: «مَا مِنْ قَوْمٍ يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا حَفَّتْ بِهِمُ المَلَائِكَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ» . حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ يَعْقُوبَ قَالَ: حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، قَالَ: سَمِعْتُ الأَغَرَّ أَبَا مُسْلِمٍ، قَالَ: أَشْهَدُ عَلَى أَبِي سَعِيدٍ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ مِثْلَهُ. هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ [روه الترمذى] [حكم الألباني] : صحيح

.......Dari Abu Hurairah ra dan Abu Sa’id Al-Khudzri ra. Sesungguhnya keduanya bersaksi atas sabda Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya beliau bersabda, “Tidaklah duduk sekelompok org yg berdzikir kpd Alloh kecuali mereka dikelilingi oleh para malaikat, dianegerahi rohmat. Diberikan ketenteraman serta senantiasa diingat [diperhatikan dan dibanggakan-pent] oleh Alloh dihadapan para malaikat-Nya.”............. [HR. Muslim dan Tirmidzi hadits hasan shohih dan dishohihkan Al-Bani]

Dzikir dgn suara jahr [keras] menurut al-Qur’an, Hadits dan para ulama

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلا تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ

“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” [QS. Al.A’raaf: 205]

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلا

“Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaulhusna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu" [QS. Al-Israa’: 110]

Tafsir Jalalain menjelaskan [QS. Al.A’raaf: 205] sbb:

(واذكر ربك في نفسك) أي سراً (تضرعاً) تذللاً (وخيفةً) خوفاً منه (و) فوق السر (دون الجهر من القول) أي قصداً بينهما (بالغدو والآصال) أوائل النهار وأواخره (ولا تكن من الغافلين) عن ذكر الله

(Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu) yakni sirr (dengan merendahkan diri) merendah (dan rasa takut) takut dari siksa-Nya (dan) diatas sirr [suara lirih] (tidak mengeraskan suara) yakni antara pelan dan keras [sedang] (di waktu pagi dan petang) pagi dan sore hari (dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu) dari mengingat Alloh [berdzikir].

Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan [QS. Al-Israa’: 110] sbb:

وقوله "ولا تجهر بصلاتك" الآية. قال الإمام أحمد حدثنا هشيم حدثنا أبو بشر عن سعيد بن جبير عن ابن عباس قال نزلت هذه الآية ورسول الله صلى الله عليه وسلم متوار بمكة "ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها" قال كان إذا صلى بأصحابه رفع صوته بالقرآن فلما سمع ذلك المشركون سبوا القرآن وسبوا من أنزله ومن جاء به قال: فقال الله تعالى لنبيه صلى الله عليه وسلم "ولا تجهر بصلاتك" أي بقراءتك فيسمع المشركون فيسبون القرآن "ولا تخافت بها" عن أصحابك فلا تسمعهم القرآن حتى يأخذوه عنك "وابتغ بين ذلك سبيلا" أخرجاه في الصحيحين

Dan firman Alloh, “dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu” Imam Ahmad berkata, Hasyim dan Abu Basyar berkata kepadaku dari Sa’id bin Jabir dari Ibnu Abbas ra. berkata, “Turun ini ayat sewaktu Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam berada di Makkah. “dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya,” Ibnu Abbas berkata, “ Adalah ketika Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam sholat bersama sahabatnya mengeraskan suaranya dalam membaca ayat al-Qur’an. Maka ketika hal itu didengar org2 musyrik mereka mencaci al-Qur’an, mencaci org yg diturunkan al-Qur’an [Nabi], dan yg menurunkannya [Alloh]. Ibnu Abbas berkata, “ Maka Alloh berfirman kpd Nabi-Nya Shollallohu ‘alaihi wa sallam “dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu” yakni bacaan al-Quranmu didengar org2 musyrik dan mereka mencacinya. “dan janganlah pula merendahkannya” dari sahabat2mu sehingga mereka tdk mendengar bacaan al-Quran sehingga mereka bisa mengambil pelajaran darimu. “dan carilah jalan tengah di antara kedua itu" [ suara sedang-pent] [HR. Bukhari Muslim]

اختلف الفقهاء في رفع الصوت بالذكر بعد الصلاة ، فمنهم من ذهب إلى أنه سنة ، ومنهم من كره ذلك وقال : إن النبي صلى الله عليه وسلم لم يداوم عليه وإنما فعله للتعليم ثم تركه .
عن أبي معبد مولى ابن عباس أن ابن عباس رضي الله عنهما أخبره أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد النبي صلى الله عليه وسلم ، وقال ابن عباس : كنت أعلم إذا انصرفوا بذلك إذا سمعته . رواه البخاري ( 805 ) ومسلم ( 583 )

Ulama fikih berbeda pendapat tentang mengeraskan suara berdzikir selapas sholat. Sebagian mereka ada yg menganggap itu sunnah, dan sebagian memakruhkan hal itu dgn perkataan, “Sesungguhnya Nabi Shollallohu ‘alaihi wa salllam tdk melakukannya terus menerus, sesungguhnya Rosul melakukannya hanya unt mengajari dan kemudian meninggalkannya.
Dari Ma’bad majikan Ibnu Abbas sesungguhnya Ibnu Abbas ra.. mengabarkan keduanya tentang mengeraskan suara dgn dzikir selepas org2 selesai sholat maktubah [sholat lima waktu] sudah ada semasa Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Dan Ibnu Abbas ra berkata, “Aku lebih mengetahui ketika mereka selesai sholat sehingga aku mendengarnya.” [HR. Bukhari (805) Muslim (583)]

فممن ذهب إلى رفع الصوت بالذكر بعد الصلاة : الطبري وابن حزم وشيخ الإسلام وغيرهم .وممن ذهب إلى أن ذلك كان للتعليم : الشافعي والجمهور .
قال الشافعي رحمه الله : " وأختار للإمام والمأموم أن يذكر الله بعد الانصراف من الصلاة ، ويخفيان الذكر إلا أن يكون إماماً يجب أن يُتعلم منه فيجهر حتى يرى أنه قد تُعلم منه ، ثم يسر ؛ فإن الله عز وجل يقول ( ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها ) يعنى – والله تعالى أعلم - : الدعاء ، ( ولا تجهر ) ترفع ، ( ولا تخافت ) حتى لا تُسمع نفسك .
وذكرتْ أم سلمة مكثه ولم تذكر جهراً ، وأحسبه لم يمكث إلا ليذكر ذكراً غير جهر " انتهى من "الأم" (1 /127) .
وقال ابن حزم رحمه الله : " ورفع الصوت بالتكبير إثر كل صلاة حسن " انتهى من "المحلى" (3 /180) .

Diantara ulama yg sepakat dgn mengeraskan suara dlm berdzikir selesai sholat adalah Ath-Thobari, Ibnu Hazm, Syaikhul islam Ibnu Taimiyah dan yg lainnya. Dan ulama yg sepakat bhw suara keras itu hanya unt mengajarkan adalah Imam Syafi’i dan jumhur ulama.
Imam Syafi’i berkata rohimahulloh: Dan yg terpilih untuk imam dan makmum adalah agar berdzikir kpd Alloh setelah selesai sholat, dan merendahkan suara dlm berdzikir kecuali imam ingin agar diketahui [diikuti makmum] maka mengeraskannya sehingga diketahui apa yg telah diajarkan, kemudian tdk memperdengarkannya. Karena sesungguhnya Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman (dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya) yakni Alloh Ta’ala lbh mengetahui do’a (dan janganlah kamu mengeraskan) meninggikan suara (dan janganlah pula merendahkannya) sehingga dirimu sendiri tdk mendengar.

Ummu Salamah menyebutkan bhw Rosul berdiam dan tdk berdzikir dgn suara keras, dan menyangkanya Rosul tdk diam [bersuara] kecuali unt memperingatkan bahwa dzikir itu tdk dgn suara keras. [Al-Uum 1/127]

Ibnu Hazm rohimahulloh berkata, “Mengeraskan suara kalimat takbir selesai sholat adalah perbuatan baik [Al-Mahalli 3/180]

ونقل البهوتي في "كشاف القناع" (1/366) عن شيخ الإسلام ابن تيمية استحباب الجهر : " ( قال الشيخ [أي ابن تيمية] : ويستحب الجهر بالتسبيح والتحميد والتكبير عقب كل صلاة " .
وسئل الشيخ محمد بن صالح العثيمين رحمه الله عن حكم المسألة فأجاب :

" الجهر بالذكر بعد الصلوات المكتوبة سنة ، دل عليها ما رواه الإمام أحمد وأبو داود . وفي الصحيحين من حديث المغيرة بن شعبة رضي الله عنه قال : سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول إذا قضى الصلاة : ( لا إله إلا الله وحده لا شريك له ..) الحديث . ولا يُسمع القول إلا إذا جهر به القائل .
وقد اختار الجهر بذلك شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله وجماعة من السلف والخلف ، لحديثي ابن عباس ، والمغيرة رضي الله عنهم . والجهر عام في كل ذكر مشروع بعد الصلاة سواء كان تهليلا ، أو تسبيحا ، أو تكبيرا ، أو تحميدا لعموم حديث ابن عباس ، ولم يرد عن النبي صلى الله عليه وسلم التفريق بين التهليل وغيره بل جاء في حديث ابن عباس أنهم يعرفون انقضاء صلاة النبي صلى الله عليه وسلم بالتكبير ، وبهذا يُعرف الرد على من قال لا جهر في التسبيح والتحميد والتكبير .

Al-Bahuti mengatakan dlm “Kasyaf Al-Qana’” (1/366) dari Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menyukai dzikir jahr...” Syeikh Ibnu Taimiyah berkata, “Dan disukai bersuara kera dlm bertasbih, bertahmid dan bertakbir selesai sholat.”
Syeikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin ditanya tentang hukum suatu pertanyaan [tentang dzikir] maka menjawabnya: “Dzikir dgn suara keras selepas sholat maktubah hukumnya sunnah, petunjuk akan kesunnahannya adalah hadits yg diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Daud dalam hadits shohihnya dari hadits Al-Mughiroh bin Syu’bah ra. berkata: Aku mendengar dari Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika selesai sholat (Laa ilaaha illalloh wahdahu laa syarika lah) Al-Hadits. Dan tdk bisa didengar itu ucapan kecuali ketika dikeraskan suara org yg mengucapkannya.”
Dan sungguh telah memilih dgn suara keras Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh dan jama’ah ulama’ salaf dan kholaf, karena hadits Ibnu Abbas ra. dari Al-Mughiroh bin Syu’bah ra. Dan suara keras dlm berdzikir yg disyari’atkan itu bersifat umum sesudah sholat [wajib atau sunnat] sama saja itu tahlil, tasbih, takbiratau tahmid unt keumuman hadits dari Ibnu Abbas ra. yg tdk tertolak dari hadits Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam dgn membedakan antara tahlil dan yg lainnya, tetapi telah datang hadits dari Ibnu Abbas ra. sesungguhnya mereka [sahabat] mengetahui selesainya sholat Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam dgn kalimat takbir, dan dgn ini diketahui penolakan terhadap org yg mengatakan bhw tasbih, tahmid dan takbir tdk dgn suara keras.

وقال رحمه الله : " فالمهم أن القول الراجح : أنه يسن الذكر أدبار الصلوات على الوجه المشروع ، وأنه يسن الجهر به أيضا - أعني رفع الصوت - ولا يكون رفعا مزعجا فإن هذا لا ينبغي ، ولهذا لما رفع الناس أصواتهم بالذكر في عهد الرسول عليه الصلاة والسلام في قفولهم من خيبر قال : ( أيها الناس ، أربعوا على أنفسكم ) ، فالمقصود بالرفع ، الرفع الذي لا يكون فيه مشقة وإزعاج " انتهى من "مجموع فتاوى الشيخ ابن عثيمين" (13/247، 261)

Maka Syeikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin rohimahulloh berkata: “Maka sesungguhnya qaul [hujjah] yg rojih [kuat dan terpilih] adalah disunnahkan berdzikir selepas sholat lima waktu sesuai yg disyari’atkan, dan jg disunnahkan mengeraskannya, -aku maksudkan mengangkat suara [sedang]- dan tdk dgn suara yg terlalu keras itu tdk baik, karena hal ini ketika org2 mengeraskan suara dlm berdzikir dimasa Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam waktu perjumpaan mereka di bukit khoibar Nabi bersabda, “Wahai manusia, pelankanlah [tahanlah] diri kalian.” Maka yg dimaksud [tidak] dgn suara keras, mengeraskan suara yg tdk diperlukan krn tdk ada halangan. [Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin 13/247-261]. Wallohu a’lam bish-showab

 
Fatwa-ulama WAHABI sebagai perbandingannya kita

Adapun orang yang berkata bahwa menjaharkan bacaan dzikir sesudah shalat adalah bid’ah, sungguh dia telah salah. Bagaimana sesuatu yang biasa dilaksanakan pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam disebut bid’ah?! (Syaikh Utsaimin)

Yang sunnah adalah menjaharkan dzikir sesudah shalat lima waktu dan sesudah shalat Jum’at ba’da salam. (Syaikh Ibnu Bazz)

Sedangkan dzikir sesudah shalat, maka yang sunnah adalah menjaharkannya sesuai dengan hadits-hadits shahih yang menyebutkan bahwa para sahabat menjaharkan dzikir sesudah shalat. (Syaikh Shalih Fauzan)

Fatwa Lajnah Daimah

Disyariatkan untuk mengeraskan dzikir setelah shalat wajib, karena adanya keterangan yang shahih dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, (ia mengatakan): “Sesungguhnya mengeraskan dzikir saat selesai dari shalat wajib, itu telah ada di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam “. Ibnu Abbas juga mengatakan: “Aku tahu selesainya shalat mereka itu, saat ku dengar (suara dzikir) itu”.
(Mengeraskan dzikir setelah shalat wajib tetap disunnahkan), meski ada orang-orang yang masih menyelesaikan shalatnya, baik mereka itu (menyelesaikan shalatnya secara) sendiri-sendiri atau dengan berjama’ah. Dan hal itu (yakni mengeraskan dzikir) disyariatkan pada semua shalat wajib yang lima waktu.

Rabu, 26 Maret 2014

Bacaan Bacaan Do'a

BACAAN DO'A YANG DIAMALKAN ULAMA AL-QUR'AN DITANAH JAWA

1. Membaca do’a setelah akhir surat
a) Al-Fatehah, membaca amin ا مين
b) Al-Baqoroh, membaca amin ا مين
c) Al-Isro’, membaca takbir ا لله اكبر
d) Al-Waqi'ah, membaca amin سبحان ربي العظيم
e) Al-Mulk, membaca :
ا لله رب العا لمين يا ذالجلال والاكرام امتنا علي دين الاسلام
f) Al-Mursalat, membaca :
أمنا با لله رب العا لمين
g) Al-Qiyamah, membaca :
بلي سبحان ربي الاعلي atau بلي وهو قا د ر

h) Al-Ghosyiyah, setelah ayat :
  •  رب حاسبني حسا با يسيراmembaca ثم ان علينا حسا بهم setelah ayat :
  •  رب أعذني من غذا بك membacaفيعذبه الله العذاب الاكبرsetelah ayat :
i) At-Tin, membaca :
بلي وانا ذلك من الشاهدين
j) setelah ayat Al-Qori’ah, membaca :
نسأل الله العفو والعا فية
k) Akhir surat Ad-Duha sampai an-nas , membaca takbir
  •  ا لله اكبر atau lebih lengkap lagi membaca tahlil didepanya Yaitu :
  •  لااله الا الله ا لله اكبر atau lebih lengkap ditambah tahmid dibelakangnya yaitu :
  •  لااله الا الله ا لله اكبرولله الحمد

2. Sujud tilawah / membaca tasbih pada ayat-ayat tertentu
سبحان ا لله والحمد لله و لااله الا الله ا لله اكبر

3 kali terus dilanjutkan membaca
ولا حول ولا قوة الا بالله العلي العظيم
- QS.Al-’alaq 19
- QS.An-Naml 25
- QS.Al-Isro’ 109
- Qs.Al-Hajj 18 dan77
- QS. An-Nahl 49
- QS.Al-Insyiqoq 25

Selasa, 25 Maret 2014

Doa Saat Membaca al-Quran


Ketika imam membaca surat al-Ghosyiyah pada saat salat, usai bacaan yang terakhir dengan kata-kata "al adzaba al akbar" (ayat 24)  sebagian makmun segera menjawab dengan suatu ucapan. Sebenarnya apa yang mereka ucapkan? Di dalam kitab apa saya bisa menemukan sunah ini? 
 
Jawaban:
Dalam sebuah hadis sahih riwayat Ibnu Khuzaimah (No 684) dijelaskan bahwa "fa kana la yamurru bi ayati takhwifin illa ista'adza wa la ayati rahmatin illa sa'ala wa la ayati tanzihin illa sabbaha" artinya: "Rasul tidak pernah membaca ayat tentang siksa kecuali beliau meminta perlindungan darinya, tidak membaca ayat tentang rahmat kecuali memintanya, dan tidak membaca ayat yang mensucikan Allah kecuali membaca tasbih".
Hadis ini menunjukkan bahwa membaca doa ketika imam membaca ayat tertentu yang berkaitan dengan siksa, nikmat atau yang lain, makmum boleh membaca doa tersebut. Sebab hadis di atas dilakukan oleh Rasulullah Saw ketika beliau salat dengan membaca 200 ayat setiap rakaatnya.
Begitu pula doa-doa yang terdapat dalam Yasin Fadilah adalah rangkaian doa yang sesuai hadis di atas, dan Yasin Fadilah bukanlah menambah-nambahi ayat dalam Yasin.
Ibnu Katsir juga mengutip hadis anjuran membaca kalimat "Wa ana ala dzalika minasy syahidin" setelah ayat terakhir dari surat al Tin, dan ucapan " Amanna billah" di akhir surat al Mursalat (Ibnu Katsir 8/284 mengutip hadis riwayat Abu Dawud No 887)
Sedangkan doa yang dibaca dalam al-Ghasyiyah adalah: “Allahumma a’idzna min ‘adzabika” (Ya Allah, lindungi kami dari siksaMu)
Dengan demikian membaca doa dalam salat ketika Imam sedang baca Al Quran adalah boleh bahkan dalam kitab Ibnu Katsir adalah dianjurkan berdasarkan beberapa riwayat hadis. Semoga bermanfaat.

Selasa, 18 Maret 2014

Bagaimana Kalau Lupa Semalam Mimpi Basah ? : Bahtsul Masail

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Ada yang ingin saya tanyakan pak ustadz. Apabila seorang lelaki yang sudah baligh pada malam harinya mengalami mimpi basah ketika tidur, namun ketika bangun pagi dia tidak tahu kalau malamnya mengalami mimpi basah, dan dia langsung saja mengambil wudlu untuk melaksanakan shalat subuh. Kemudian ketika siang hari dia baru tahu kalau malamnya mengalami mimpi basah karena ada bekas di celana atau sarungnya, apakah shalat subuhnya sah atau perlu diqadha? Dan jika harus diqadha, kapan waktunya? Demikian pertanyaan saya.

والسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Kholil Lurrohman Blora, Jawa Tengah



Jawaban:

Wa’alaikum salam warahmatullah wa barakatuh.

Sdr Kholil yang terhormat,

Kasus yang anda sampaikan ini sering terjadi dan dialami oleh masyarakat, mengingat mimpi basah merupakan salah satu tanda akil baligh seseorang. Dengan status akil baligh, ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat syar’i akan berlaku pada dirinya termasuk dalam hal ini adalah kewajiban shalat fardlu (lima waktu).

Diantara syarat-syarat shalat adalah suci dari hadats kecil dan hadats besar sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab fiqih, dengan demikian shalat yang dilakukan dalam keadaan belum/tidak suci dari hadas kecil maupun besar hukumnya tidak sah. Adapun mengenai qadha shalat subuh sebagaimana pertanyaan saudara maka secara otomatis diharuskan, mengingat adanya syarat shalat yang belum terpenuhi meskipun si pelaku baru mengetahuinya setelah menjalankan shalat. Hal ini tentunya sebagai bentuk kehati-hatian dari kita. Adapun rujukan yang kami gunakan mengacu pada kitab Bughyah al-Mustarsyidin bab syarat-syarat shalat. Dalam kitab tersebut dinyatakan:

صلى صلاة وأخل ببعض أركانها أو شروطها ثم علم الفساد لزمه قضاؤه

Artinya: seseorang telah melakukan shalat dan terdapat rukun-rukun atau sayarat-syarat yang tidak terpenuhi kemudian ia mengetahuinya, maka ia harus mengqadhanya.

Adapun mengenai waktu qadhanya dianjurkan sesegera mungkin setelah mengetahui bahwa shalat yang dilakukan tidak terpenuhi salah satu syarat atau rukunnya, terntunya setelah kita mandi besar, karena menunda-nunda perbuatan baik akan mengurangi keberkahan waktu yang telah diberikan oleh Allah kepada kita.

Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang peduli dan memelihara shalat kita dengan memenuhi syarat-syarat maupun rukun-rukun yang terdapat didalamnya. Aamiin.

Ustadz Maftuhan

Minggu, 09 Maret 2014

Pendistribusian Lazis Desa Sumbang

1. Pembangunan Musholla As-Sakinah



2. Bapak Sirwan, Sumbang Dukuh (RT 10/2)




3. Bapak Endip








4. Ibu Risah




5. Ibu Sanem (Nini Gede)






6. Ibu Runtah


 7. Ibu Sol

 8. Ibu Jebul



 9. Ibu Sawi


 
10. Sdr. Raslam