Terima kasih atas kunjungan anda !!!! KAMI SIAP MENYAMPAIKAN AMANAH ANDA KEPADA YANG BERHAK

Senin, 30 September 2013

SELAMATAN HARI KE-3, 7, 40, 100, SETAHUN, DAN 1000 HARI

Hukum selamatan hari ke-3, 7, 40, 100, setahun, dan 1000 hari dalam syari'at Islam diambil dari kitab "Al-Hawi lil Fatawi" karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2 halaman 178 sebagai berikut:

قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال
قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام , قال الحافظ ألو نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن سفيان قال: قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام

Artinya:
"Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Asyja'i dari Sufyan sambil berkata: TelaH berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi'in, wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.

Telah berkata al-Hafiz Abu Nu'aim di dalam kitab Al-Jannah: Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Malik, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepadaku Ubay, telah menceritakan kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah menceritakan kepadaku al-Asyja'i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut."

Selain itu, di dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 194 diterangkan sebagai berikut:

ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول

ِArtinya:
"Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat."

Tambahan:
=======
Anjuran Selamatan Kematian:
http://www.sarkub.com/2011/anjuran-untuk-tahlilan-7-hari-berturut-turut/

Mengapa para ulama mengajarkan kepada umat Islam agar selalu mendoakan keluarganya yang telah meninggal dunia selama 7 hari berturut-turut ?

Telah banyak beredar dari kalangan salafi wahhabi yang menyatakan bahwa tradisi tahlilan sampai tujuh hari diadopsi dari adat kepercayaan agama Hindu. Benarkah anggapan dan asumsi mereka ini?
Sungguh anggapan mereka salah besar dan vonis yang tidak berdasar sama sekali. Justru ternyata tradisi tahlilan selama tujuh hari dengan menghidangkan makanan, merupakan tradisi para sahabat Nabi Muhammad Saw dan para tabi’in.

Imam Ahmad bin Hanbal, seorang ahli hadits kenamaan mengatakan bahwa beliau mendapatkan riwayat dari Hasyim bin al-Qasim, yang mana beliau meriwayatkan dari Al-Asyja’i, yang beliau sendiri mendengar dari Sofyan, bahwa Imam Thawus bin Kaisan radliyallahu ‘anhu pernah berkata :

إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا، فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام

“Sesungguhnya orang mati difitnah (diuji dengan pertanyaan malaikat) didalam quburnya selama 7 hari, dan “mereka” menganjurkan (mensunnahkan) agar memberikan makan (pahalanya) untuk yang meninggal selama 7 hari tersebut”.

Riwayat ini sebutkan oleh Imam Ahmad Ahmad bin Hanbal didalam az-Zuhd [1]. Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) juga menyebutkannya didalam Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyah.[2] Sedangkan Thawus bin Kaisan al-Haulani al-Yamani adalah seorang tabi’in (w. 106 H) ahli zuhud, salah satu Imam yang paling luas keilmuannya. [3] Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974) dalam al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubraa dan Imam al-Hafidz as-Suyuthi (w. 911 H) dalam al-Hawil lil-Fatawi mengatakan bahwa dalam riwayat diatas mengandung pengertian bahwa kaum Muslimin telah melakukannya pada masa Rasulullah, sedangkan Rasulullah mengetahui dan taqrir terhadap perkara tersebut. Dikatakan (qil) juga bahwa para sahabat melakukannya namun tidak sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam. Atas hal ini kemudian dikatakan bahwa khabar ini berasal dari seluruh sahabat maka jadilah itu sebagai Ijma’, dikatakan (qil) hanya sebagian shahabat saja, dan masyhur dimasa mereka tanpa ada yang mengingkarinya. [4]

Ini merupakan anjuran (kesunnahan) untuk mengasihi (merahmati) mayyit yang baru meninggal selama dalam ujian didalam kuburnya dengan cara melakukan kenduri shadaqah makan selama 7 hari yang pahalanya untuk mayyit. Kegiatan ini telah dilakukan oleh para sahabat, difatwakan oleh mereka. Sedangkan ulama telah berijma’ bahwa pahala hal semacam itu sampai dan bermanfaat bagi mayyit.[5] Kegiatan semacam ini juga berlangsung pada masa berikutnya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam al-Hafidz as-Suyuthiy ;

“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku (al-Hafidz) bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (masa al-Hafidz) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasai awal Islam. Dan didalam kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’. [6]

Shadaqah seperti yang dilakukan diatas berlandaskan hadits Nabi yang banyak disebutkan dalam berbagai riwayat. [7] Lebih jauh lagi dalam hadits mauquf dari Sayyidina Umar bin Khaththab, disebutkan dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (5/328) lil-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852) sebagai berikut :

قال أحمد بن منيع حدثنا يزيد بن هارون حدثنا حماد بن سلمة عن علي بن زيد عن الحسن عن الحنف بن قيس قال كنت أسمع عمر رَضِيَ الله عَنْه يقول لا يدخل أحد من قريش في باب إلا دخل معه ناس فلا أدري ما تأويل قوله حتى طعن عمر رَضِيَ الله عَنْه فأمر صهيبا رَضِيَ الله عَنْه أن يصلي بالناس ثلاثا وأمر أن يجعل للناس طعاماً فلما رجعوا من الجنازة جاؤوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه فجاء العباس بن عبد المطلب رَضِيَ الله عَنْه فقال يا أيها الناس قد مات الحديث وسيأتي إن شاء الله تعالى بتمامه في مناقب عمر رَضِيَ الله عَنْه

“Ahmad bin Mani’ berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun, menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari ‘Ali bin Zayd, dari al-Hasan, dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku pernah mendengar ‘Umar radliyallahu ‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali seseorang masuk menyertainya, maka aku tidak mengerti apa yang maksud perkataannya sampai ‘Umar radliyallahu ‘anh di tikam, maka beliau memerintahkan Shuhaib radliyallahu ‘anh agar shalat bersama manusia selama tiga hari, dan juga memerintahkan agar membuatkan makanan untuk manusia. Setelah mereka kembali (pulang) dari mengantar jenazah, dan sungguh makanan telah dihidangkan, maka manusia tidak mau memakannya karena sedih mereka pada saat itu, maka sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib radliyallahu ‘anh datang, kemudian berkata ; wahai.. manusia sungguh telah wafat .. (al-hadits), dan InsyaAllah selengkapnya dalam Manaqib ‘Umar radliyallah ‘anh”.

Hikmah dari hadits ini adalah bahwa adat-istiadat amalan seperti Tahlilan bukan murni dari bangsa Indonesia, melainkan sudah pernah dicontohkan sejak masa sahabat, serta para masa tabi’in dan seterusnya. Karena sudah pernah dicontohkan inilah maka kebiasaan tersebut masih ada hingga kini.

Riwayat diatas juga disebutkan dengan lengkap dalam beberapa kitab antara lain Ithaful Khiyarah (2/509) lil-Imam Syihabuddin Ahmad bin Abi Bakar al-Bushiriy al-Kinani (w. 840).

وعن الأحنف بن قيس قال: “كنت أسمع عمر بن الحنطاب- رضي الله عنه- يقول: لا يدخل رجل من قريش في باب إلا دخل معه ناس. فلا أدري ما تأويل قوله، حتى طعن عمر فأمر صهيبا أن يصلي بالناس ثلاثا، وأمر بأن يجعل للناس طعاما، فلما رجعوا من الجنازة جاءوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه، فجاء العباس بن عبد المطلب قال: يا أيها الناس، قد مات رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فأكلنا بعده وشربنا، ومات أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا، أيها الناس كلوا من هذا الطعام. فمد يده ومد الناس أيديهم فأكلوا، فعرفت تأويل قوله “.رواه أحمد بن منيع بسند فيه علي بن زيد بن جدعان

“Dan dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku mendengar ‘Umar bin Khaththab radliyallahu ‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali manusia masuk bersamanya. Maka aku tidak maksud dari perkataannya, sampai ‘Umar di tikam kemudian memerintahkan kepada Shuhaib agar shalat bersama manusia dan membuatkan makanan hidangan makan untuk manusia selama tiga hari. Ketika mereka telah kembali dari mengantar jenazah, mereka datang dan sungguh makanan telah dihidangkan namun mereka tidak menyentuhnya karena kesedihan pada diri mereka. Maka datanglah sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib, seraya berkata : “wahai manusia, sungguh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam telah wafat, dan kita semua makan dan minum setelahnya, Abu Bakar juga telah wafat dan kita makan serta minum setelahnya, wahai manusia.. makanlah oleh kalian dari makanan ini, maka sayyidina ‘Abbas mengulurkan tanggan (mengambil makanan), diikuti oleh yang lainnya kemudian mereka semua makan. Maka aku (al-Ahnaf) mengetahui maksud dari perkataannya. Ahmad bin Mani telah meriwayatkannya dengan sanad didalamnya yakni ‘Ali bin Zayd bin Jud’an”.

Disebutkan juga Majma’ az-Zawaid wa Manba’ul Fawaid (5/159) lil-Imam Nuruddin bin ‘Ali al-Haitsami (w. 807 H), dikatakan bahwa Imam ath-Thabrani telah meriwayatkannya, dan didalamnya ada ‘Ali bin Zayd, dan haditsnya hasan serta rijal-rijalnya shahih ; Kanzul ‘Ummal fiy Sunanil Aqwal wa al-Af’al lil-Imam ‘Alauddin ‘Ali al-Qadiriy asy-Syadili (w. 975 H) ; Thabaqat al-Kubra (4/21) lil-Imam Ibni Sa’ad (w. 230 H) ; Ma’rifatu wa at-Tarikh (1/110) lil-Imam Abu Yusuf al-Farisi al-Fasawi (w. 277 H) ; Tarikh Baghdad (14/320) lil-Imam Abu Bakar Ahmad al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H).

Imam Suyuthi Rahimahullah dalam kitab Al-Hawi li al-Fatawi-nya mengtakan :

قال طاووس : ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام

“ Thowus berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “.

Sementara dalam riwayat lain :

عن عبيد بن عمير قال : يفتن رجلان مؤمن ومنافق, فاما المؤمن فيفتن سبعا واماالمنافق فيفتن اربعين صباحا

“ Dari Ubaid bin Umair ia berkata: “Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari “.

Dalam menjelaskan dua atsar tersebut imam Suyuthi menyatakan bahwa dari sisi riwayat, para perawi atsar Thowus termasuk kategori perawi hadits-hadits shohih.
Thowus yang wafat tahun 110 H sendiri dikenal sebagai salah seorang generasi pertama ulama negeri Yaman dan pemuka para tabi’in yang sempat menjumpai lima puluh orang sahabat Nabi Saw. Sedangkan Ubaid bin Umair yang wafat tahun 78 H yang dimaksud adalah al-Laitsi yaitu seorang ahli mauidhoh hasanah pertama di kota Makkah dalam masa pemerintahan Umar bin Khoththob Ra.

Menurut imam Muslim beliau dilahirkan di zaman Nabi Saw bahkan menurut versi lain disebutkan bahwa beliau sempat melihat Nabi Saw. Maka berdasarkan pendapat ini beliau termasuk salah seorang sahabat Nabi Saw.

Sementara bila ditinjau dalam sisi diroyahnya, sebgaimana kaidah yang diakui ulama ushul dan ulama hadits bahwa: “Setiap riwayat seorang sahabat Nabi Saw yang ma ruwiya mimma la al-majalla ar-ra’yi fiih (yang tidak bisa diijtihadi), semisal alam barzakh dan akherat, maka itu hukumnya adalah Marfu’ (riwayat yang sampai pada Nabi Saw), bukan Mauquf (riwayat yang terhenti pada sahabat dan tidak sampai kepada Nabi Saw).

Menurut ulama ushul dan hadits, makna ucapan Thowus ;

ان الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون ان يطعموا عنهم تلك الايام

berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabt Nabi) gemar (bersedekah) menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut “, adalah para sahabat Nabi Saw telah melakukannya dan dilihat serta diakui keabsahannya oleh Nabi Saw sendiri.

(al-Hawi) li al-Fatawi, juz III hlm. 266-273, Imam As-Suyuthi).

Maka tradisi bersedekah selama mitung dino / tujuh hari atau empat puluh hari pasca kematian, merupakan warisan budaya dari para tabi’in dan sahabat Nabi Saw, bahkan telah dilihat dan diakui keabsahannya pula oleh beliau Nabi Muhammad Saw.

Wallahu A’lam.

[1] Lihat : Syarah ash-Shudur bisyarhi Hal al-Mautaa wal Qubur ; Syarah a-Suyuthi ‘alaa Shahih Muslim, Hasyiyah as-Suyuthi ‘alaa Sunan an-Nasaa’i dan al-Hafi lil-Fatawi lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi ; Lawami’ al-Anwar al-Bahiyyah (2/9) lil-Imam Syamsuddin Muhammad as-Safarainy al-Hanbali (w. 1188 H) ; Sairus Salafush Shalihin (1/827) lil-Imam Isma’il bin Muhammad al-Ashbahani (w. 535 H) ; Imam al-Hafidz Hajar al-Asqalani (w. 852 H) didalam al-Mathalibul ‘Aliyah (834).

[2] Lihat : Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyaa’ lil-Imam Abu Nu’aim al-Ashbahaniy : “menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Malik, menceritakan kepada kami Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, menceritakan kepada kami ayahku (Ahmad bin Hanbal), menceritakan kepada kami Hisyam bin al-Qasim, menceritakan kepada kami al-Asyja’iy, dari Sufyan, ia berkata : Thawus telah berkata : “sesungguhnya orang mati di fitnah (diuji oleh malaikat) didalam kuburnya selama 7 hari, maka ‘mereka’ menganjurkan untuk melakukan kenduri shadaqah makan yang pahalanya untuk mayyit selama 7 hari tersebut”.

[3] Lihat : al-Wafi bil Wafiyaat (16/236) lil-Imam ash-Shafadi (w. 764 H), disebutkan bahwa ‘Amru bin Dinar berkata : “aku tidak pernah melihat yang seperti Thawus”. Dalam at-Thabaqat al-Kubra li-Ibni Sa’ad (w. 230 H), Qays bin Sa’ad berkata ; “Thawus bagi kami seperti Ibnu Siirin (sahabat) bagi kalian”.

[4] Lihat ; al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra (2/30-31) lil-Imam Syihabuddin Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami ; al-Hawi al-Fatawi (2/169) lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthiy.

[5] Lihat : Syarah Shahih Muslim (3/444) li-Syaikhil Islam Muhyiddin an-Nawawi asy-Syafi’i.

[6] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/179) lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi.

(Dikutip dan di tata ulang seperlunya dari Abi Firas dan Ibn Abdillah Al-Katiby)

Kamis, 26 September 2013

CIRI-CIRI ORANG YANG SEDANG JATUH CINTA

Orang yang sedang jatuh cinta cenderung selalu mengingat dan menyebut orang yang dicintainya (man ahabba syai'an katsura dzikruhu), orang juga bisa diperbudak oleh cintanya (man ahabba syai'an fa huwa `abduhu).

 
Ciri-ciri dari cinta sejati ada tiga:
  1.   lebih suka berbicara dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain,
  2.   lebih suka berkumpul dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain, dan
  3.   lebih suka mengikutikemauan yang dicintai dibanding kemauan orang lain/diri sendiri.

Bagi orang yang telah jatuh cinta kepada Allah SWT, maka ia selalu mengingat Allah SWT,
ia lebih suka berbicara dengan Allah SWT, dengan membaca firman Nya, lebih suka bercengkerama dengan Allah SWT dalam I`tikaf, dan lebih suka mengikuti perintah Allah SWT daripada perintah yang lain.

SUBHANALLAH...

Semoga Kita Lebih Mencintai ALLAH SWT dari pada segalanya.. Aamiin

Rabu, 25 September 2013

6 GOLONGAN WANITA YANG KURANG LAYAK DI JADIKAN SEORANG ISTRI

1). Al -Anaanah
Banyak keluh kesah. Yang selalu merasa tak cukup, apa yg diberi semua tak cukup. diberi rumah tak cukup, diberi motor tak cukup, diberi mobil tak cukup, dll. Selalu ingin memenuhi kehendak nafsu sendiri, tanpa memperhatikan perasaan suami, tak hormat kepada suami apalagi berterima kasih pada suami. apa yg suami beri pun tak pernah puas. Ada saja yang tak cukup.

2). Al-Manaanah
Suka mengungkit. Kalau suami melakukan hal yg dia tak berkenan maka diungkitlah segala hal tentang suaminya itu. sangat senang membicarakan suami: tak ingat budi, tak bertanggung jawab, tak sayang, dll. Padahal suami sudah memberi perlindungan macam-macam padanya.

3). Al -Hunaana
Ingin pada suami yg lain atau berkenan kepada lelaki yg lain. sangat suka membanding-bandingkan suaminya dengan suami/lelaki lain. Tak ridha dengan suami yang ada. (Naudzubillah)

4). Al- Hudaaqah
Suka memaksa. Bila ingin sesuatu maka dipaksa suaminya melakukan. Pagi, petang malam asyik menekan dan memaksa suami. Adakalanya dengan berbagai ancaman: ingin lari, ingin bunuh diri, ingin membuat malu suami, dll. Suami dibuat seperti budaknya, bukan sebagai pemimpinnya. Yang dipentingkan adalah kehendak dan kepentingan dia saja.

5). Al-Hulaaqa
Sibuk bersolek atau tidur atau santai-santai dll hingga lalai dengan ibadah-ibadah asas, seperti shalat berjamaah, wirid zikir, mengurus rumah-tangga, berkasih sayang dengan anak-anak, dll.

6). As-Salaaqah
Banyak berbicara, menggosip. Siang malam, pagi petang asik menggosip terus. Apa saja yg suami kerjakan selalu tidak benar dimatanya. Zaman sekarang bergosip bukan saja berbicara di depan suami, tapi dengan telfon, SMS, internet (facebook), BBM dan macam-macam cara yang lain.

Kisah Hasan al-Bashri Melihat Orang Pacaran

Suatu hari di tepi sungai Dajlah, Hasan al-Basri melihat seorang pemuda duduk berdua-duaan dengan seorang perempuan. Di sisi mereka terletak sebotol arak. Kemudian Hasan berbisik dalam hati, “Alangkah buruk akhlak orang itu dan alangkah baiknya kalau dia seperti aku!”

Tiba-tiba Hasan melihat sebuah perahu di tepi sungai yang sedang tenggelam. Lelaki yang duduk di tepi sungai tadi segera terjun untuk menolong penumpang perahu yang hampir lemas karena karam. Enam dari tujuh penumpang itu berhasil diselamatkan.

Kemudian dia berpaling ke arah Hasan al-Basri dan berkata, “Jika engkau memang lebih mulia daripada saya, maka dengan nama Allah, selamatkan seorang lagi yang belum sempat saya tolong. Engkau diminta untuk menyelamatkan satu orang saja, sedang saya telah menyelamatkan enam orang.”

Bagaimanapun Hasan al-Basri gagal menyelamatkan yang seorang itu. Maka lelaki itu bertanya padanya. “Tuan, sebenarnya perempuan yang duduk di samping saya ini adalah ibu saya sendiri, sedangkan botol itu hanya berisi air biasa, bukan anggur atau arak.”

Hasan al-Basri tertegun lalu berkata, “Kalau begitu, sebagaimana engkau telah menyelamatkan enam orang tadi dari bahaya tenggelam ke dalam sungai, maka selamatkanlah saya dari tenggelam dalam kebanggaan dan kesombongan.”

Lelaki itu menjawab, “Mudah-mudahan Allah mengabulkan permohonan tuan.”

Semenjak itu, Hasan al-Basri semakin dan selalu merendahkan hati bahkan ia menganggap dirinya sebagai makhluk yang tidak lebih daripada orang lain.

sumber : nu.or.id

NAMA "MUHAMMAD" DAN ANATOMI MANUSIA


و اعلم، أن الله تعالى أمر الخلق بالصلاة على صورة إسم أحمد و محمد فالقيام كمثل الألف و الركوع كالحاء و السجود كاميم و القعود كالدال

Ketahuilah, bahwa Allah ta'aalaa telah memerintahkan kepda hambaNya mendirikan sholat, sebagaimana khuruf nama AHMAD dan MUHAMMAD, Berdirinya seperti khuruf alif, rukunya seperti huruf "HA". Sujudnya seperti khuruf "MIM". Duduknya seperti khuruf "DAL".

و خلق الخلق على صورة إسم محمد عليه السلام فالرأس مدور كالميم الأولى و اليدان كالحاء و البطن كالميم الثانية و الرجلان كالدال

Dijadikan pula makhluk-makhluk tersebut seperti tulisan Muhammad Shollallohu 'alaihi wa sallam. Kepala manusia bulat seperti huruf "MIM" yang pertama. Kedua tangan manusia seperti huruf "HA". Perut manusia seperti huruf "MIM" yang kedua. Kedua kaki manusia seperti huruf "DAL"

ولا يحرق احد من الكفار على صورته بل تبدل صورته على صورة الخنزير ثم تحرق بالنار

Dan Allah tidak membakar seorangpun dari orang-orang kafir kecuali telah diganti rupanya dengan rupa babi kemudian membakarnya di neraka.

Sumber :
دقائق الاخبار الكبير في ذكر الجنة والنار
Kitab Daqaiqul Akhbar Al-Kabiir Fii Dzikril Jannati wan Naari

Selasa, 24 September 2013

Tentang Bacaan شَيْءٌ لِّلهِ الفَاتِحَة

Dalam setiap acara tahlilan, dhiba’an dan barzanji seringkali kita jumpai seorang yang berlaku sebagai pemimpin berkata شيء لله الفاتحة. Entah kalimat itu disebutkan sebelum membaca al-Fatihah sebagai agenda pembukaan atau dibacakan setelah menyebutkan rentetan nama arwah yang akan do’akan. 
Secara bahasa klimat شيء لله الفاتحة adalah dua kalimat yang berbeda. kalimat pertama terdiri dari شيء لله  yang bermakna bawa“Semua dilakukan karena Allah”  dan kalimat kedua adalah الفاتحة  yaitu al-Fatihah sebagai nama surat pembuka al-Qu’an. Oleh karena itu, jika digabungan maka kalimat شيء لله الفاتحة dapat diartikan bahwa ‘semua yang kita lakukan hanyalah karena Allah, (begitu juga dengan bacaan) al-fatihah’.Sebenarnya
tidak ada anjuran untuk mengucapkan kalimat tersebut, juga tidak ada larangan untuk meninggalkannya. Dalam Kitab Bughyatul Mustarsyidin terdapat pernyataan yang menyebutkan bahwa kalimat ”شيء لله الفاتحة" hanyalah sebuah tradisi,
يا فلان شيء لله غير عربية لكنها من مولدات أهل العرف
Hai Fulan, kalimat ”شيء لله" bukanlah bahasa arab, melainkan lahir dari sebuah tradisi.
Sedangkan sebuah tradisi bisa dijadikan hukum dengan catatan tidak bertentangan dengan Syari’at Islam yang berlandaskan Al Quran dan Hadits. Demikian dalam qaidah fiqhiyyah disebutkan:العادة محكمةKebiasaan atau tradisi itu bisa dijadikan landasan hukum .

Referensi Tambahan
Ada keterangan dalam suatu kitab yang menjelaskan bahwa SYAIUN LILLAAH setelah membaca AL-FATIHAH itu artinya Pengakuan seorang hamba bahwa yang merealisasikan segala keinginannya hanyalah Allah Ta’ala. معني قول بعض الناس عقب الدعاء شئ لله لهم الفاتحة... و معني شئ لله مطلوبنا ومقصودنا شئ لله اي يستمد لوجه الله ابتغاء واستمدادا لا لغيره ولا من غيره ففيها اعتراف بان الذي يسوق المطالب ويحقق المأرب هو الله تعالي الخ Dan makna syaiun lillaahi adalah tujuan dan kehendak kami sesuatu dari Allah artinya ia memohon pada Dzat Allah dengan mengharap ridho dan bantuan hanya dari Allah, tidak pada dan dari selain Allah, didalamnya mengandung pengakuan bahwa yang merealisasikan keinginan-keinginan dan mewujudkan kebutuhan-kebutuhannya adalah Allah Ta’ala semata. Qurrah al-‘Ain Bi Fataawa as-Syaikh Isma’iil az-Zain Hal. 211.

Menunaikan Zakat Fitrah Menggunakan Uang

Ada khilafiyah di kalangan fuqaha dalam masalah penunaian zakat fitrah dengan uang. Pertama, pendapat yang membolehkan. Ini adalah pendapat sebagian ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Tsauri, Imam Bukhari, dan Imam Ibnu Taimiyah. (As-Sarakhsi, al-Mabsuth, III/107; Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, XXV/83).Dalil mereka antara lain firman Allah SWT ,”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (QS at-Taubah [9] : 103). Menurut mereka, ayat ini menunjukkan zakat asalnya diambil dari harta (mal), yaitu apa yang dimiliki berupa emas dan perak (termasuk uang). Jadi ayat ini membolehkan membayar zakat fitrah dalam bentuk uang. (Rabi’ Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr Tha’am, hal. 4).

Mereka juga berhujjah dengan sabda Nabi SAW,”Cukupilah mereka (kaum fakir dan miskin) dari meminta-minta pada hari seperti ini (Idul Fitri).” (HR Daruquthni dan Baihaqi). Menurut mereka, memberi kecukupan (ighna`) kepada fakir dan miskin dalam zakat fitrah dapat terwujud dengan memberikan uang. (Abdullah Al-Ghafili, Hukm Ikhraj al-Qimah fi Zakat al-Fithr, hal. 3).

Kedua, pendapat yang tidak membolehkan dan mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan pokok (ghalib quut al-balad). Ini adalah pendapat jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. (Al-Mudawwanah al-Kubra, I/392; Al-Majmu’, VI/112; Al-Mughni, IV/295)
Karena ada dua pendapat yang berbeda, maka kita harus bijak dalam menyikapinya. Ulama sekaliber Imam Syafi’i, mujtahid yang sangat andal saja berkomentar tentang pendapatnya dengan mengatakan, ”Bisa jadi pendapatku benar, tapi bukan tak mungkin di dalamnya mengandung kekeliruan. Bisa jadi pendapat orang lain salah, tapi bukan tak mungkin di dalamnya juga mengandung kebenaran.”

Dalam masalah ini, sebagai orang awam (kebanyakan), kita boleh bertaqlid (mengikuti salah satu mazhab yang menjadi panutan dan diterima oleh umat). Allah tidak membebani kita di luar batas kemampuan yang kita miliki. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…”  (Al-Baqarah [2]: 286).

Sesungguhnya masalah membayar zakat fitrah dengan uang sudah menjadi perbincangan para ulama salaf, bukan hanya terjadi akhir-akhir ini saja. Imam Abu Hanifah, Hasan Al-Bisri, Sufyan Ats-Tsauri, bahkan Umar bin Abdul Aziz sudah membincangkannya, mereka termasuk orang-orang yang menyetujuinya. Ulama Hadits seperti Bukhari ikut pula menyetujuinya, dengan dalil dan argumentasi yang logis serta dapat diterima.

Menurut kami, membayar zakat fitrah dengan uang itu boleh, bahkan dalam keadaan tertentu lebih utama. Bisa jadi pada saat Idul Fitri jumlah makanan (beras) yang dimiliki para fakir miskin jumlahnya berlebihan. Karena itu, mereka menjualnya untuk kepentingan yang lain. Dengan membayarkan menggunakan uang, mereka tidak perlu repot-repot menjualnya kembali yang justru nilainya menjadi lebih rendah. Dan dengan uang itu pula, mereka dapat membelanjakannya sebagian untuk makanan, selebihnya untuk pakaian dan keperluan lainnya. Wallahu a’lam bish-shawab
 
(Sumber: Konsultasi Zakat LAZIZNU dalam Nucare yang diasuh oleh KH. Syaifuddin Amsir / Red. Ulil H)

Mendahulukan Ada' atau Qadha'

Mendahulukan shalat wajib atau qadha’Shalat adalah ibadah yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Untuk shalat wajib, syara’ membaginya menjadi lima waktu; Dhuhur, Ashar, Mahgrib, Isya’ dan Subuh. Sedangkan untuk shalat sunnah syara’ memberi banyak pilihan bagi seorang muslim yang ingin mendapatkan pahala tambahan, seperti shalat Tahajjud, Dhuha, Witir, Qabliyah dan Ba’diyah serta masih banyak lagi shalat-shalat sunnah yang lain.
Terkhusus untuk shalat wajib, setiap muslim yang telah baligh wajib hukumnya menjalankan shalat lima waktu dalam sehari semalam sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh syara’. Jika seseorang menjalankan shalat pada waktunya itu dinamakan ada’(tepat waktu), dan jika seseorang menjalankan shalat diluar waktunya itu dinamakan qadha’(diluar waktu shalat) seperti seseorang yang lupa melaksanakan shalat maghrib karena kesibukan atau hal lain yang membuatnya lupa, maka setelah ingat ia wajib mengqadha’nya, contoh lain seperti seseorang yang terlelap tidur malam lalu terbangun ketika matahari telah bersinar, maka saat itu juga ia wajib mengqada’nya. Sebagaimana hadits Rasulullah,
إذا نام أحدكم عن الصلاة أو نسيها فليصلها إذا ذكرها
Jika seseorang tertidur sampai tidak melaksanakan shalat atau juga lupa, maka ketika ia ingat wajib melaksanakan saat itu juga.

Lalu bagaimana jika seseorang lupa bahwa ia belum menjalankan shalat dhuhur, dan baru teringat ketika telah masuk waktu shalat ashar? Maka ia wajib mengqadha’ shalat dhuhur tersebut diwaktu ashar. Sedangkan ia juga berkewajiban menjalankan shalat ashar pada waktunya(ada’), manakah yang harus didahulukan, Shalat qadha’ ataukah shalat ada’? seseorang boleh memilih antara mendahulukan shalat ashar atau shalat qadha’ dhuhur, dengan catatan jika ia menjalankan shalat qadha’ dhuhur terlebih dahulu, waktu shalat ashar tidak dikhawatirkan terlewati, tetapi jika dikhawatirkan habisnya waktu ashar, maka shalat ashar wajib didahulukan, seperti yang terdapat dalam kitab Tuhfatu al-Thullab karangan Imam Zakariya Al-Anshari,
يقضي الشخص ما فاته من مؤقت  وجوبا في الفرض متى تذكره وقدر على فعله إلا إن خاف فوت حاضرة فيبدأ بها
Seseorang wajib mengqadha’ shalat(Fardlu) yang telah terlewat waktunya ketika ia telah ingat dan memungkinkan untuk melaksanakannya, keuali jika dikhawatirkan terlewatinya menjalankan shalat ada’ (pada waktunya), maka ia harus mendahulukan shalat ada’ terlebih dahulu.

Hal ini memberi penjelasan tentang wajibnya mengadha’ shalat fardlu bagi orang yang lupa atau sedang tertidur ketika telah ingat karena keduanya tidak terkena taklif(kewajiban) dari syara’, akan tetapi seseorang boleh memilih diantara mendahulukan shalat qadha’ atau shalat ada’ terlebih dahulu, jika memang tidak dikhawatirkan terlewatnya waktu shalat ada’ maka shalat qadha’ boleh didahulukan, akan tetapi jika terdapat kekhawatiran terlewatnya waktu shalat ada’ maka shalat qadha’ harus diakhirkan dan mendhulukan shalat ada’.

PERTANYAAN MALAIKAT DIDALAM KUBUR

Tanya : Man Rabbuka? Siapa Tuhanmu?
Jawab : Allahu Rabbi. Allah Tuhanku.

Tanya : Man Nabiyyuka? Siapa Nabimu?
Jawab : Muhammadun Nabiyyi. Muhammad Nabiku

Tanya : Ma Dinuka? Apa agamamu?
Jawab : Al-Islamu dini. Islam agamaku

Tanya : Man Imamuka? Siapa imammu?
Jawab : Al-Qur'an Imami. Al-Qur'an Imamku

Tanya : Aina Qiblatuka? Di mana kiblatmu?
Jawab : Al-Ka'batu Qiblati. Ka'bah Qiblatku

Tanya : Man Ikhwanuka? Siapa saudaramu?
Jawab : Al-Muslimun Wal-Muslimat Ikhwani. Muslimin dan Muslimah saudaraku..

Jawabannya sangat sederhana bukan?
Tapi apakah sesederhana itukah kelak kita akan menjawabnya?

Saat tubuh terbaring sendiri di perut bumi.
Saat kegelapan menghentak ketakutan.
Saat tubuh menggigil gemetaran.
Saat tiada lagi yang mampu jadi penolong.

Ya, tak akan pernah ada seorangpun yang mampu menolong kita.
Selain amal kebaikan yang telah kita perbuat selama hidup di dunia.

Astaghfirullahal 'Adzim..
Ampunilah kami Ya Allah..
Kami hanyalah hamba-Mu yang berlumur dosa dan maksiat..
Sangat hina diri kami ini di hadapan-Mu..
Tidak pantas rasanya kami meminta dan selalu meminta maghfirah-Mu..
Sementara kami selalu melanggar larangan-Mu..


Ya Allah...
Izinkan kami untuk senantiasa bersimpuh memohon maghfirah dan rahmat-Mu..
Tunjukkanlah kami jalan terang menuju cahaya-Mu..
Tunjukkanlah kami pada jalan yang lurus.
Agar kami tidak sesat dan tersesatkan...

Aamiin

Jumat, 20 September 2013

Tubuhnya mati, tapi kepalanya tetap membaca Al-Qu'an


وقال إبراهيم بن إسماعيل بن خلف كان أحمد بن نصر خلي فلما قتل في المحنة وصلب رأسه أخبرت أن الرأس يقرأ القرآن ....,
Ibrahim bin Isma'il bin Khalf berkata: Ketika Ahmad bin Nashr Khali dibunuh di Mihnah, dan kepalanya disalib, ada yang mengabarkan kepadaku bahwa Kepalanya membaca Al-Qur'an...

فلما هدأت العيون سمعت الرأس يقول " ألم أحسب الناس أن يتركوا أن يقولوا آمنا وهم لا يفتنون "
ketika aku memejamkan mataku, sayup-sayup aku mendengar kepala Ahmad bin Nashr membaca " “Alif Laam Miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka membiarkan (saja) mengatakan,’kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji. (QS. Al-‘Ankabut: 1-2).


فاقشعر جلدي ثم رأيته بعد ذلك في المنام وعليه السندس والإستبرق وعلى رأسه تاج فقلت: له ما فعل الله بك يا أخي قال: غفر لي وأدخلني الجنة.
Aku gemetaran mendengarnya, kemudian aku melihatnya setalah itu dalam mimpiku dia memakai pakaian sutra yg bercahaya dan mahkota diatas kepalanya. Maka aku bertanya kedanya: "apakah yang telah Allah perbuat kepadamu wahai saudaraku?", Ia berkata: "Allah mengampuni dosa-dosaku dan memasukkan aku kedalam Surga.".


Sumber :
طبقات الحنابلة - أبو الحسين ابن أبي يعلى : (1/79)
Thabaqat al-Hanabilah, Abu hasan Ibnu Abi Ya'la : 1/79

Kamis, 19 September 2013

KH Lukmanul Hakim: Tanda Kewalian Ada Pada Gus Dur

Ahli Tasawwuf Dr KH Lukmanul Hakim menilai tanda-tanda kewalian ada pada diri Gus Dur, yaitu tidak memiliki rasa takut dan susah. Gus Dur merupakan orang yang dikenal memiliki keberanian dalam menghadapi segala sesuatu, dan tahan dalam menghadapi berbagai penderitaan.

“Semoga yang kita khusnudhonkan benar,” katanya.

Seorang wali, kata pemimpin redaksi majalah Cahaya Sufi ini, merupakan orang yang mengabdikan dirinya kepada Allah. Mereka bukanlah orang yang mencari pahala dengan beribadah kepada manusia agar dicintai Allah. Allah yang menjadi pertimbangan utama dalam hidupnya, bukan kesan dan pendapat manusia.

“Cintanya kepada Allah mendahului kepeduliannya kepada manusia. Mereka memposisikan Allah sebagai sebab, bukan akibat,” terangnya.

Mengenai karomah, ia menjelaskan bahwa bagi para wali, munculnya karomah dianggap sebagai haidnya para wali, dan membuat mereka malah takut.

“Karomah dimunculkan kepada seorang wali kepada dirinya sendiri dan kepada orang lain. Salah satu tujuannya agar tetap istikomah,” paparnya.

Ia menjelaskan, ada perbedaan antara karomah dan ilmu hikmah. Kalau karomah bisa muncul kapan saja tanpa perlu dipelajari. Ilmu hikmah bisa dipelajari, misalnya dengan melaksanakan amalan wirid tertentu, dengan jumlah tertentu, maka akan bisa melakukan sesuatu yang terlihat luar biasa.

“Yang tahu itu karomah atau ilmu hikmah, ya Allah, orang itu sendiri, dan orang lain yang diberi tahu oleh Allah,” paparnya.

Senin, 16 September 2013

Habib Munzir Bercerita Tentang Ilmu Kiyai Muda dan kiyai Sepuh

Habib Munzir Al Musawa telah wafat sore hari, 15 September 2013 di Jakarta. Dulu dalam salah satu rihlah (even) dakwah Majelis Rasulullah SAW di luar kota, pernah mengalami kejadian yang membuat beliau sangat terkejut. Cerita ini adalah cerita nyata, benar-benar pengalaman pribadi beliau. Di mana inti ceritanya dan pesan di balik cerita ini adalah: “Jangan Suka Meremehkan Seseorang!”
Yuk, kita simak ceritanya langsung dari Habib Munzir berikut ini:

saya punya pengalaman, saya ceritakan pada anda ( untuk jadi pelajaran – red ). Ketika dalam suatu undangan, saya didudukkan di shaf pertama, dan kyai-kyai sepuh di kiri dan kanan saya, lalu ada seorang ustaz muda yang tidak menyolok, ia lebih muda dari saya dan duduk dibelakang saya, menyalami saya dengan penuh hormat lalu terus menunduk.
saya menyalaminya seperti biasa tanpa memberi penghormatan khusus sebagaimana saya menghormati ulama-ulama dan kyai sepuh.

Sepulang dari acara, orang itu sudah tiada, ia pergi membantu panitia dalam pengaturan bubarnya tamu. Lalu ia datang pada saya sebelum saya naik ke kendaraan saya, ia berkata : “Doakan saya habib, saya dangkal ilmu, doakan supaya saya bisa mengabdi pada ilmu sepanjang hidup saya, jadikan saya murid habib.., sesekali monggo ke kediaman saya dekat sini….”
Saya mendoakannya, mencium dahinya, dan memeluknya dan menyambutnya dengan hangat, dan saya katakan bahwa guru guru dan kyai-kyai di sini sudah sangat mumpuni, saya cuma ceret (teko air/kopi/teh) yang kelilingan kemana mana.

Ketika saya meninggalkan pesantren besar itu, saya tanya pada salah satu ajudan saya yang alumni pesantren itu, saya tanyakan siapa anak muda tadi yang menyalami saya sampai ke mobil itu? Maka dijawab bahwa ia adalah ustaz besar dan sudah mengarang 100 kitab lebih dengan bahasa Arab, ia kyai besar yang masyhur namun usianya masih sangat muda.
Tersirap darah saya dan sangat menyesal…, ternyata dia kyai besar yang sudah menulis 100 kitab lebih, namun budi pekertinya sangat merendah diri dan rendah hati (tawadhu’), sehingga semua orang yang tidak mengenalnya, tak akan mengira bahwa ia kyai besar.
Suatu waktu lainnya, saya kunjung pada seorang guru besar di suatu wilayah, muridnya puluhan ribu dalam majelis mingguannya setiap suatu hari di sore hari, saya lupa hari apa.
Tiada orang ceramah di majelisnya kecuali guru besar pula, dan Guru besar ini sering ‘mencoba’ jika ada habib atau ulama yang datang padanya, dan saya tidak tahu (akan hal) itu.

Saya hanya tahu kalau saya dijadwalkan ke sana dan ceramah di majelis itu….

Tuan guru itu dengan rendah hati mempersilahkan saya bicara, memang saat itu sedang ramai masyarakat merayakan haul seorang ulama masa lalu, maka ia berkata dengan lembut, “Silahkan habib.., silahkan berdiri menyampaikan ceramahnya, kami ingin menyimak ceramah habib, khususnya dalil yang bisa dipakai hujjah untuk peringatan haul….”

Lihat ucapannya, ia mengizinkan saya ceramah dengan lembut, tapi ia ingin ‘mencoba’ atau ingin tahu lebih jelas tentang dalilnya peringatan haul….

Darah saya tersirap, karena saya tidak siap membahas tentang dalil haul. Saya tidak menyangka di wilayah ini akan ditanya akan dalilnya acara haul, saat saya berdiri dan mulai tausiyah, hati saya terus mempertajam ingatan mencari dalil haul. Alhamdulillah saya mendapat bisikan luhur akan ayat yang mendukung dalil haul, dua ayat sekaligus dalam satu surat di Alqur’an.
Selepas saya ceramah, ia sungguh terperanjat, dan terus menerus mengulang ulang ucapan: “Betul itu… betul itu.. saya koq belum terfikir ke ayat itu, itu sungguh dalil haul yang terkuat, sungguh betul itu…, sungguh betul…, habib memang luar biasa….”

Dalam hati saya, saya pun tidak tahu akan ditanya soal ini di sini, dan itu datang dari bisikan illahi mengingatkan saya pada ayat itu yang tepat mengena soal dalil haul, dua ayat pula, dalam surat yang sama.

Simbah Jarkoni vs Tholee

Tholee : Mbah gimana sih agar saya dihormati orang lain ?? apakah saya harus memasang wajah sangar agar terlihat berwibawa ??

Simbah : lee2.. masih bocah kok sudah gila hormat...

Tholee : ya nggak gitu mbah... agar nanti kalo tholee... sudah besar nasehat2 yang simbah sampaikan bisa tholee.. sampaikan ke orang lain... kalo tholee... dihormati orang lain.., nasihat2 tholee.. bisa di terima oleh mereka.. kan...

Simbah : oohh.. gitu to lee... gini lee... kamu tidak usah menunjukan wajah beringas... agar orang lain menyeganimu... cukup tunjukan perilakumu dan perkataan yang lembut dan diikuti dengan hati yang bersih...(dari iri,dengki,riya',sombong) In
sya Allah secara otomatis orang lain akan menghormatimu... kamu harus tahu cahaya kebersihan hati lebih kuat untuk mempengaruhi orang lain... daripada menunjukan penampilan yang sangar tapi hatimu busuk...

Tholee : berarti... agar nasehat tholee... bisa di terima orang lain... tholee harus memperbaiki perilaku dan hati tholee.. dulu ya mbah... agar bisa di terima orang lain.. ??

Simbah : ya... kurang lebih seperti itu lee... jangan jadi orang munafik... "ISO UJAR ORA ISO NGELAKONI"...

Tholee : lah... itukan singakatan dari nama simbah JARKONI (ISO UJAR ORA ISO NGELAKONI) berarti simbah munafik dong... he he he

Simbah : oh.. yo.. lali aku... itu cuma kebetulan lee... jangan di masukan hati...

Tholee : katanya simbah kan.. di dunia ini nggak ada yang kebetulan... semua sudah diatur oleh Gusti Allah... ??? he he he berarti simbah bener2 jarkoni wwkwkwkw

Simbah : wes2... buyar2... pusing simbah... belum ngopi... belikan kopi di warung sebelah sana...

Tholee : Simbah mulai emosi ya... katanya nggak boleh emosi... ingat nasehat simbah sendiri... wkwkww

Simbah : ^%(*(*&)(*)(**&^%$^%$&

Minggu, 15 September 2013

Maqom-maqom dalam Tasawuf

Ada beberapa maqom (tingkatan) bagi orang yang menjalani titian tasawuf. Dalam setiap titian tersebut, pelakunya akan merasakan situasi-situasi tertentu.

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj mengurai tingkatan tasawuf tersebut di gedung PBNU, Jakarta. Peserta pengajian tersebut adalah pengurus lajnah, banom dan lembaga di PBNU.

“Yang pertama adalah taubat atau mohon ampunan kepada Allah. Taubat itu bukan hanya sekadar mengucap astaghfirullah, tapi perubahan sikap. Astghafirullah hanya lafadnya,” ungkap kiai kelahiran Cirebon 1953 tersebut.

Kiai yang pernah nyantri di Lirboyo dan Krepyak tersebut menambahkan, taubat itu sendiri terbagi ke dalam tiga tingkatan.

Taubatnya orang awam, yaitu taubat dari segala dosa.
Taubatnya ulama, yaitu taubat dari lupa. Dan taubatnya ahli tasawuf, taubat dari merasa dirinya ada (eksis).

“Setiap orang yang merasa dirinya “ada”, bisa jatuh ke dalam kemusyrikan,” ujar kiai yang juga doktor (S3) University of Umm Al-Qura Jurusan Aqidah atau Filsafat Islam, lulus pada tahun 1994.
Kita ini adalah “maujud” (diadakan). Kita hidup 30, 50, 100 tahun hanyalah “diadakan”. Sedangkan yang “ada” (wujud) hanyalah Allah. Dialah yang mengadakan kita. Kita harus merasa sementara dan diadakannya.

Tidak ada “aku” yang sesungguhya, kecuali “Aku”nya Allah, la ilaha ila ana . Tidak ada “dia” yang sesungguhnya kecuali “Dia” allah, lai ilaha ilah huwa.

Tidak ada kamu yang sesungguhnya, kecuali Kamu Allah, la ilaha ila anta.

Setelah taubat, sambung bapak dari empat anak ini, akan timbul tingkatan selanjutnya, yaitu waro’i. Orang yang mencapai maqom ini melihat segala sesuatu dengan hati-hati. Yang tidak betul-betul halal, tidak akan diambilnya. Tidak akan mengambil kedudukan yang bukan miliknya.

“Kalau waro’i sudah selesai, timbul zuhud,” tambah kiai yang akrab disapa Kang Said tersebut.

Zuhud adalah memandang rendah dunia. Misalnya dapat uang 10 juta biasa-biasa saja. Hilang 10 juta juga biasa-biasa saja. Seperti Gus Dur. Saya melihat, ketika dia sebelum presiden, dia bersikap biasa saja. Ketika jadi presiden, bersikap biasa saja. Begitu juga ketika dia tidak jadi presiden.

Kang Said menegaskan, zuhud itu bukan berarti harus melarat, tapi lebih pada sikap. Orang kaya bisa zuhud, orang melarat bisa serakah. Tapi zuhud lebih pada sikap dan cara pandang orang terhadap dunia. Ia menyikapi selain Allah itu kecil.

Tiga tingkatan tersebut berada dalam proses takhalli atau pembersihan diri. Efek kejiwaan sementara orang dalam tingkatan ini adalah khauf, atau takut kepada Allah. “Segala amal soleh dan ibadah yang dilakukannya adalah lita’abud , untuk beribadah.”

KANG SAID : NGAJI TASAWUF

Zikir kepada Allah SWT memiliki tiga kategori. Pertama , zikir asma-Nya. Kedua , zikir sifat-Nya. Ketiga , zikir zat-Nya. Setiap muslim yang berzikir, tidak akan terlepas dari tiga kategori zikir itu.
Demikian dikatakan oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dalam pengajian rutin tasawuf di Kantor PBNU, jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.

Di hadapan sedikitnya 35 hadirin yang terdiri jajaran pengurus PBNU, lembaga, lajnah, dan banom NU, KH Said Aqil Siroj yang akrab disapa Kang Said mengatakan bahwa zikir asma Allah dilakukan mereka yang berada pada tahap mencari ketenangan kepada Allah atas segala kejadian terkait diri mereka.

“Mereka mengingat suatu peristiwa melalui asma-Nya. Mereka mengingat Allah sebagai pemberi rezeki, pencipta, penolong, penjaga, pembuka, pengampun, pemberi kehidupan, penentu kematian, dan asma-Nya yang lain. Namun,mereka hanya mengingat Allah sejauh momentum terkait makna asma-Nya,” kata Kang Said.

Sedangkan zikir sifat-Nya dilakukan oleh mereka yang mencintai Allah. Dengan zikiritu, mereka melihat Allah sebagai penguasa mutlak, yang berkehendak, yang melihat, yang mendengar, yang hidup, dan yang berkata-kata, tambah Kang Said.

Menurut Kang Said, mereka yang berzikir sifat-Nya, selalu merasakan kehadiran Allah dalam setiap waktu. Mereka menilai, sebentar saja kerja sifat Allah terhenti maka alam semesta mengalami kehancuran. Karena, Allah melalui sifat-Nya selalu memiliki keterhubungan atas segala kejadian alam semesta tanpa terfragmentasi dalam momen-momen tertentu.

Sedangkan, kata Kang Said, mereka yang berzikir zat Allah mengabaikan segala kaitan alam semesta dengan-Nya. Mereka hanya mengingat zat-Nya semata tanpa ada pamrih lahir maupun batin. Mereka mengingat murni zat Allah tanpa mengaitkan asma dan sifat-Nya.

Seorang muslim boleh mengingat Allah dengan zikir asma dan sifat-Nya dengan durasi panjang. Mereka bebas berdoa, meminta rezeki, dan ampunan sebanyak-banyaknya. Tetapi, mereka harus meluangkan satu waktu meski sebentar dalam sehari, melakukan zikir zat-Nya. Karena, makhluk paling beruntung adalah mereka yang melakukan zikir zat tanpa kaitan apapun, tutup Kang Said.

Sabtu, 14 September 2013

BEGINILAH CARA WALI ALLAH MEMANDANG SI PREMAN

Al-Habib Mumu Bsa mengkisahkan yang beliau dengar dari cermahnya al-Habib Zen al-Munawwar:

“Ada seorang wali Allah jika beliau kedatangan tamu maka beliau langsung bersih-bersih diri dan berdandan rapi, walaupun yang datang adalah seorang pemabuk sekalipun. Maka sang anak pun bertanya: “Kenapa Abah berbuat seperti itu?”

Sang ayah menjawab: “Saya bukan menghormati jasad orang itu, tetapi saya menghormati cahaya iman yang diletakan Allah di dalam hati orang tersebut.”

Iman umat Nabi Muhammad Saw. sangat agung walaupun dia seorang pelaku maksiat, lalu bagaimana orang shalehnya?”


Seorang Raja menjadi Sufi Lantaran Roti

Kisah pertobatan Raja Balkh (Iran) Abu Ishaq Ibrahim bin Adham berawal dari keinginannya untuk berburu. Bersama kuda kesayangannya, Ibrahim menuju hutan dengan penuh gairah. Keadaan berlangsung normal hingga ketenangannya diusik oleh seekor gagak.

Ibrahim sesungguhnya hanya ingin istirahat sejenak. Melepas lelah perjalanan sembari memakan roti. Sialnya, ibrahim tak sempat mencicipi sedikit pun bekal bawaannya itu. Seekor gagak datang tiba-tiba menyambar roti, lalu membawanya terbang ke udara.

Ibrahim yang kaget bercampur kagum itu memutuskan untuk mengikuti ke mana gagak pergi. Si burung hitam meluncur cepat ke arah gunung, hingga Raja Balkh nyaris saja tak menemukannya lagi. Tapi tekad Ibrahim bin Adham untuk menaklukkan segala rintangan gunung membuatnya tak kehilangan jejak.

Tapi gagak tetaplah gagak. Jerih payah sang raja untuk mendekatinya mendapat penolakan. Sekali lagi, gagak mengudara, kabur mengilang entah ke mana. Di saat bersamaan, Ibrahim bin Adham menjumpai seseorang tengah terbaring di tanah dalam keadaan terikat. Segera ia turun dari kuda dan berusaha melepaskannya.

“Ada apa dengan Anda?” tanya Ibrahim bin Adham.

“Saya korban perampokan,” jawab orang tersebut yang ternyata adalah seorang saudagar. Setelah seluruh hartanya dirampas, para perampok hendak membunuhnya dengan cara mengikat dan melantarkan tubuhnya sendirian. Saudagar mengaku, sudah tujuh hari ia terlentang tak berdaya di tempat itu.

“Bagaimana Anda bisa bertahan hidup?”

Saudagar tersebut lantas menceritakan bahwa selama masa-masa sulit itu, seekor gagak rutin menghampiri, hinggap di atas dada, dan menyodorkan makanan untuknya. Begitulah cara ia mendapatkan tenaga setiap hari.

Peristiwa ini membuka kesadaran Ibrahim bin Adham tentang hakikat rezeki. Ia akhirnya mantab mundur dari jabatan raja, memerdekakan semua budak miliknya, dan mewakafkan segala kekayaannya. Hikayat ini dapat dijumpai secara jelas dalam kitab al-Aqthaf ad-Daniyyah.

Ibrahim bin Adham memilih menjalani hidup sederhana sebagai rakyat biasa. Jalan tasawuf mulai ia tekuni dengan berjalan kaki ke Mekah, tanpa bekal apapun kecuali rasa tawakal yang amat tinggi. Sejak saat itu, olah rohani merupakan kegiatan pokok selama hidupnya.

Ternyata, kisah tentang kegagalan Ibrahim bin Adham mencicipi roti ini berbuntut pada perubahan serius keseluruhan hidup mantan raja Balkh itu. Ibrahim bin Adham akhirnya masyhur sebagai tokoh sufi yang sangat dikagumi. Dalam sumber-sumber Arab dan Persia, seperti Imam Bukhari dan lainnya, ia terkenal sebagai tokoh sufi yang pernah bertemu dengan Nabi Khidzir. (Mahbib Khoiron)

Kamis, 12 September 2013

Dengki itu Memakan Kebaikan

Mari kita simak dengan iman Kalam Allah ini, "Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian lain. Karena bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanitapun ada bagian dari apa yang mereka usahakan "(QS 4:32).

Rasulullah bersabda, "Dengki itu memakan kebaikan sebagaimana api yang membakar kayu", Hasud itu tidak senang melihat kelebihan orang lain, lalu diapun berusaha menjatuhkan kehormatan orang itu dengan berbagai cara, dari mengintai keburukannya, mempergunjingnya, menebar fitnah, sampai kedukunpun dilakukan dan bahkan sampai membunuh.

Kisah lucu monyet yang dengki kepada burung gagak. Monyet berusaha meloncati buah anggur, tetapi tidak berhasil, sementara burung gagak dengan mudah meraihnya, dengan kesal monyet keliling hutan sambil berteriak, "anggur itu rasanya pahit dan asem", padahal hanya karena yang diinginkannya tidak tercapai.

Hasud adalah penyakit hati yang membuat tubuhnya juga sakit, berasal dari cinta dunia, sombong merasa dirinya lebih hebat. Allah mengajarkan hamba-hamba-Nya beriman agar terhindar dari penyakit dengki dan selamat dari pendengki dalam surah Al Falaq, "min syarri haasidin idzaa hasad, "Ya Allah, kami mohon perlindunganMU dari sifat hasud dan orang-orang yang hasud... Aamiin".