Terima kasih atas kunjungan anda !!!! KAMI SIAP MENYAMPAIKAN AMANAH ANDA KEPADA YANG BERHAK

Rabu, 15 Juni 2016

Hukum Kewajiban Puasa untuk Para Pekerja Berat


Assalamu alaikum wr. wb.
Yang terhormat redaksi bahtsul masail NU Online. Saya punya tetangga bekerja sebagai pekerja kasar di pasar. Setiap hari ia mengangkut barang dengan gerobak. Setiap kali bulan Ramadhan tiba ia selalu dalam posisi sulit. Kalau berpuasa, ia tak bisa beraktivitas dan tidak mendapat penghasilan. Kalau tidak berpuasa, ia merasa beban karena melanggar perintah agama. Mohon penjelasannya. Terima kasih. Wassalamu alaikum wr. wb. (Abdul Majid, Surabaya).

Jawaban
Assalamu alaikum wr. wb.
Penanya dan pembaca yang budiman di mana pun berada, semoga Allah menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Puasa memang wajib. Tetapi mencari nafkah juga wajib. Dan memang kewajiban puasa itu tidak bermaksud menghalangi manusia untuk mencari nafkah. Tetapi adakalanya aktivitas mencari nafkah ini memerlukan tenaga besar dan kondisi fisik yang sip, karenanya untuk sejumlah orang pada profesi tertentu puasa mengurangi tenaga yang diperlukan.

Di samping pekerja berat, ada juga mereka yang sakit dengan pelbagai kondisinya saat Ramadhan tiba. Ada di antara mereka yang sehat dan segar bugar, juga muda. Ada lagi yang sudah renta, ada yang terbaring sakit, ada lagi yang dalam perjalanan, juga mereka yang pekerjaannya membutuhkan tenaga ekstra.

Perihal orang yang kesehariannya bekerja agak berat, Syekh Said Muhammad Ba’asyin dalam Busyrol Karimmengatakan,


ويلزم أهل العمل المشق  في رمضان كالحصادين ونحوهم تبييت النية ثم من لحقه منهم مشقة شديدة أفطر، وإلا فلا. ولا فرق بين الأجير والغني وغيره والمتبرع وإن وجد غيره، وتأتي العمل لهم العمل ليلا كما قاله الشرقاوي. وقال في التحفة إن لم يتأت لهم ليلا، ولو توقف كسبه لنحو قوته المضطر إليه هو أو ممونه علي فطره جاز له، بل لزمه عند وجود المشقة الفطر، لكن بقدر الضرورة. ومن لزمه الفطر فصام صح صومه لأن الحرمة لأمر خارج، ولا أثر لنحو صداع ومرض خفيف لا يخاف منه ما مر.

Artinya, “Ketika memasuki Ramadhan, pekerja berat seperti buruh tani yang membantu penggarap saat panen dan pekerja berat lainnya, wajib memasang niat puasa di malam hari. Kalau kemudian di siang hari menemukan kesulitan dalam puasanya, ia boleh berbuka. Tetapi kalau ia merasa kuat, maka ia boleh tidak membatalkannya.

Tiada perbedaan antara buruh, orang kaya, atau sekadar pekerja berat yang bersifat relawan. Jika mereka menemukan orang lain untuk menggantikan posisinya bekerja, lalu pekerjaan itu bisa dilakukannya pada malam hari, itu baik seperti dikatakan Syekh Syarqawi. Mereka boleh membatalkan puasa ketika pertama mereka tidak mungkin melakukan aktivitas pekerjaannya pada malam hari, kedua ketika pendapatannya untuk memenuhi kebutuhannya atau pendapatan bos yang mendanainya berbuka, terhenti.

Mereka ini bahkan diharuskan untuk membatalkan puasanya ketika di tengah puasa menemukan kesulitan tetapi tentu didasarkan pada dharurat. Namun bagi mereka yang memenuhi ketentuan untuk membatalkan puasa, tetapi melanjutkan puasanya, maka puasanya tetap sah karena keharamannya terletak di luar masalah itu. Tetapi kalau hanya sekadar sedikit pusing atau sakit ringan yang tidak mengkhawatirkan, maka tidak ada pengaruhnya dalam hukum ini,” (Lihat Syekh M Said Ba’asyin, Busyrol Karim, Darul Fikr, Beirut).

Perihal status wajib puasa bagi pekerja, kita juga mendapat keterangan lain dari Syeh M Nawawi Al-Bantani. Tetapi sebelum membahas pekerja, kita perlu membahas terlebih dahulu status wajib puasa orang sakit. Karena kondisi pekerja berat akan diukur dari keadaan orang sakit sejauhmana tingkat kesulitan yang dialami keduanya.

Keterangan ini bisa kita dapatkan dari Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani dalam karyanya Nihayatuz Zain fi Irsyadin Mubtadi’in sebagai berikut.


فللمريض ثلاثة أحوال إن توهم ضررا يبيح التيمم كره له الصوم وجاز له الفطر وإن تحقق الضرر المذكور أو غلب على ظنه أو انتهى به العذر إلى الهلاك أو ذهاب منفعة عضو حرم الصوم ووجب الفطر وإن كان المرض خفيفا بحيث لا يتوهم فيه ضررا يبيح التيمم حرم الفطر ووجب الصوم ما لم يخف الزيادة وكالمريض الحصادون والملاحون والفعلة ونحوهم

Artinya, “Ulama membagi tiga keadaan orang sakit. Pertama, kalau misalanya penyakit diprediksi kritis yang membolehkannya tayammum, maka penderita makruh untuk berpuasa. Ia diperbolehkan tidak berpuasa. Kedua, jika penyakit kritis itu benar-benar terjadi, atau kuat diduga kritis, atau kondisi kritisnya dapat menyebabkannya kehilangan nyawa atau menyebabkan disfungsi salah satu organ tubuhnya, maka penderita haram berpuasa. Ia wajib membatalkan puasanya. Ketiga, kalau sakit ringan yang sekiranya tidak sampai keadaan kritis yang membolehkannya tayammum, penderita haram membatalkan puasanya dan tentu wajib berpuasa sejauh ia tidak khawatir penyakitnya bertambah parah. Sama status hukumnya dengan penderita sakit adalah buruh tani, petani tambak garam, buruh kasar, dan orang-orang dengan profesi seperti mereka,” (Lihat Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani, Nihayatuz Zein fi Irsyadil Mubtai’in, Al-Ma’arif, Bandung, Tanpa Tahun, Halaman 189).


Dengan kata lain, bagaimanapun wajibnya mencari nafkah, kewajiban puasa Ramadhan perlu dihargai. Dalam artian, kita tetap memasang niat puasa di malam hari. Kalau memang di siang hari puasa terasa berat, kita yang berprofesi sebagai pekerja berat dibolehkan membatalkannya dan menggantinya di luar bulan puasa.

Uraian ulama tersebut menunjukkan betapa mulianya ibadah puasa Ramadhan kendati mereka yang udzur tetap mendapat keringanan untuk berbuka puasa. Semoga jawaban ini bisa dipahami dengan baik. Kami selalu membuka kritik, saran, dan masukan.

Wallahul muwaffiq ila aqwamit thariq
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Rabu, 08 Juni 2016

Batalkah Puasa Karena Memerhatikan Lawan Jenis dengan Syahwat?


Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online yang terhormat, kami mau menanyakan tentang sebuah kasus yang sebenarnya sudah agak lama terjadi. Ada seorang laki-laki yang suka iseng memperhatikan perempuan sambil mengkhayalkannya. Kadang-kadang saking seriusnya ia bisa terangsang hebat sampai mengeluarkan mani.

Yang ingin saya tanyakan, bagaimana kalau ia sedang berpuasa. Apakah puasanya batal atau tidak? Atas penjelasannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Wika/Jakarta)

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Pertanyaan di atas kelihatan sederhana, tetapi jawabannya ternyata tidak sesederhana pertanyaannya. Sebagaimana diketahui bahwa puasa adalah menahan dua syahwat, yaitu syahwat perut dan syahwat bawah perut dimulai sejak terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari.

Sedangkan salah satu yang membatalkan puasa adalah keluarnya mani pada saat menjalankan puasa dan dilakukan secara sengaja. Sampai di sini semuanya tidak ada persoalan. Namun bagaimana jika ada seseorang laki-laki melihat perempuan memperhatikan perempuan atau memikirkannya sampai keluar air maninya?

Dalam kasus ini harus dilihat terlebih dahulu, jika kebiasasan orang tersebut ketika memandang atau memperhatikan perempuan menjadi terangsang sampai mengeluarkan mani, maka hal itu membatalkan puasa. Tetapi jika tidak mengeluarkan mani, maka tidak membatalkan karena di situ terdapat unsur kesengajaan.

Demikian juga membatalkan puasa jika ia merasa akan keluar mani sebab memandang, kemudian ia tetap memandang atau menikmatinya sehingga keluar mani. Maka sudah pasti hal itu membatalkan puasa. Hal ini sebagaimana dikemukakan Syekh Nawawi Banten dalam kitab Nihayatuz Zain.


فَلَوْ نَظَرَ أَوْ تَفَكَّرَ فَأَمْنَى فَلَا فِطْرَ مَا لَمْ يَكُنْ مِنْ عَادَتِهِ الإِنْزَالُ بِذَلِكَ وَإِلَّا أَفْطَرَ وَلَوْ أَحَسَّ بِانْتِقَالِ الْمَنِيِّ وَتَهَيُّئِهِ لِلْخُرُوجِ بِسَبَبِ النَّظَرِ فَاسْتَدَامَهُ حَتَّى أَنْزَلَ أَفْطَرَ قَطْعًا


Artinya, “Seandainya ia memperhatikan dengan seksama (sesuatu) atau memikirkannya kemudian keluar air mani maka puasanya tidak batal sepanjang keluar maninya tidak dari kebiasaannya sebab melihat atau membayangkannya. Jika tidak demikian maka keluarnya mani membatalkan puasa. Dan jika ia merasa mani akan keluar sebab mamandangnya kemudian ia tetap memandang (menikmatinya) sehingga keluar mani maka dapat dipastikan membatalkan puasa,” (Lihat Syekh Nawawi Al-Bantani, Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadi`in, Beirut-Darul Fikr, tt, halaman 187).

Demikian jawaban singkat yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Saran kami, kaum laki-laki mesti membuang jauh-jauh kebiasaan memperhatikan atau membayangkan perempuan yang bukan istrinya. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Selasa, 07 Juni 2016

Ini Penjelasan Utuh Setan Dibelenggu pada Bulan Ramadhan


Assalamu ‘alaikum wr.wb.
Sebelumnya saya minta maaf, saya mau menanyakan tentang makna atau maksud yang sebenarnya hadits yang sering dikutip oleh para penceramah ketika bulan Ramadhan di mana ketika bulan Ramadhan datang maka pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan dibelenggu. Atas penjelasannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Ahmad Saputra/Serang)

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya dan pembaca yang budiman, semoga Allah sealu melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Sebagaimana kita ketahui bahwa bulan Ramadaan merupakan bulan istimewa karena pada bulan tersebut seluruh umat Islam yang telah memenuhi syarat diwajibkan untuk menjalankan puasa. Karena itu maka bulan Ramadhan disebut juga syahrush shiyam (Bulan Puasa).

Pada bulan itu menurut riwayat yang ada, setan-setan dibelenggu (shuffidatusy syayathin), pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup. Dalam riwayat lain dengan redaksi sulsilatisy syayathin.  


إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ ، وَفُتِحَتْ أَبُوَابُ الجَّنَةِ ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ


Artinya, “Ketika masuk bulan Ramadlan maka syaitan-syaitan dibelenggu, pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup,” (HR Bukhari dan Muslim).

Lantas bagaimana maksud hadits di atas? Banyak para ulama mengajukan penjelasan soal makna hadits tersebut. Di antara penjelasan yang tersedia adalah yang dihadirkan Abu Hasan Ali bin Khalaf bin Abdul Malik bin Baththal Al-Bakri Al-Qurthubi atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Baththal.

Menurut Ibnu Baththal, setidaknya ada dua penjelasan yang diajukan para ulama tentang makna sabda Rasulullah saw di atas. Pertama, ulama yang memahami secara literalis atau sesuai bunyi teks haditsnya. Pintu surga dibuka, dan setan dibelenggu dipahami dalam pengertian yang sebenarnya (al-haqiqi) sehingga intensitasnya dalam menggoda manusia berkurang pada bulan Ramadhan dibanding dengan bulan lainnya.


وَتَأَوَّلَ الْعُلَمَاءُ فِى قَوْلِهِ ( فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَسُلْسِلَتِ الشَّيَاطِينُ ) ، مَعْنَيَيْنِ . أَحَدُهُمَا : أَنَّهُمْ يُسَلْسِلُونَ عَلَى الْحَقِيقَةِ ، فَيَقِلُّ أَذَاهُمْ وَوَسْوَسَتُهُمْ وَلَا يَكُونُ ذَلِكَ مِنْهُمْ كَمَا هُوَ فِى غَيْرِ رَمَضَانَ ، وَفَتْحُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ عَلَى ظَاهِرِ الْحَدِيثِ.


Artinya, “Para ulama menakwil atau menafsirkan sabda Rasulullah saw, ‘Pintu-pintu surga dibuka dan setan-setan dibelenggu’ dengan dua pendekatan. Pertama, pendekatan dengan makna hakiki, yaitu mereka (setan-setan) dibelenggu dalam pengertian secara hakiki sehingga intensitas mereka menggoda manusia menjadi berkurang, berbeda dengan yang dilakukan pada bulan selain Ramadhan. Sedangkan ‘dibukanya pintu-pintu surga’ juga dipahami sesuai bunyi teks haditsnya (zhahirul hadits),” (lihat Ibnu Baththal, Syarhu Shahih al-Bukhari, Riyadl-Maktabah ar-Rusyd, cet ke-2, 1423 H/2003 M, juz IV, halaman 20).

Kedua, memahami secara majazi. Dalam konteks ini dibukanya pintu-pintu surga dipahami bahwa Allah SWT membuka pintu-Nya dengan amal perbuatan yang dapat mengantarkan hamba-Nya ke surga seperti shalat, puasa, dan tadarus Al-Qur`an. Sehingga, jalan menuju surga di bulan Ramdhan lebih mudah dan amal-perbuatan tersebut lebih cepat diterima. Begitu juga maksud ditutupnya pintu neraka adalah mencegah mereka dari kemaksiatan dan perbuatan-perbuatan yang mengantarkan ke neraka.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa mengingat sedikitnya siksaan Allah kepada hamba-hamba akibat perbuatan buruk mereka, maka Allah melewatkan (memaafkan) perbuatan-pebuatan itu dari beberapa kaum dengan berkah bulan Ramadhan, memberikan ampunan kepada orang yang berbuat keburukan karena adanya orang yang berbuat kebajikan, serta mengampuni pelbagai kesalahan. Inilah makna tertutupnya pintu neraka.


وَالثَّانِى : عَلَى الْمَجَازِ ، وَيَكوُن ُالْمَعْنَى فِى فَتْحِ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ مَا فَتَحَ اللهُ عَلَى الْعِبَادِ فِيهِ مِنَ الْأَعْمَالِ الْمُسْتَوجِبِ بِهَا الْجَنَّةَ مِنَ الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ ، وَأَنَّ الطَّرِيقَ إِلَى الْجَنَّةِ فِى رَمَضَانَ أَسْهَلُ وَالْأَعْمَالُ فِيهِ أَسْرَعُ إِلَى اْلقُبُولِ ، وَكَذَلِكَ أَبْوَابُ النَّارِ تُغْلَقُ بِمَا قَطَعَ عَنْهُمْ مِنَ الْمَعَاصِى ، وَتَرْكِ الْأَعْمَالِ الْمُسْتَوْجِبِ بِهَا النَّارَ ، وَلِقِلَّةِ مَا يُؤَاخِذُ اللهُ العِبَادَ بِأَعْمَالِهِمْ السَّيِّئَةِ ، يَسْتَنْفِذُ مِنْهَا بِبَرَكَةِ الشَّهْرِ أَقْوَامًا وَيَهِبُ الْمُسِئَ لِلْمُحْسِنِ ، وَيَتَجَاوَزُ عَنِ السَّيِّئَاتِ فَهَذَا مَعْنَى الْغَلَقِ


Artinya, “Kedua, pendekatan dengan makna majazi. Makna atau pengertian dibukanya pintu-pintu surga adalah sesuatu yang Allah buka untuk hamba-hamba-Nya di bulan Ramadhan berupa amal-amal yang mengantarkan ke surga seperti shalat, puasa, dan tadarus Al-Qur`an. Jalan menuju surga di bulan Ramadhan lebih mudah dan amal-ibadah di dalamnya lebih cepat diterima. Begitu juga pintu-pintu neraka ditutup dengan sesuatu yang mencegah mereka dari kemaksiatan dan perbuatan-perbuatan yang mengantarkan ke neraka. Mengingat sedikitnya siksaan Allah kepada hamba-hamba akibat perbuatan buruk mereka, maka Allah melewatkan (memaafkan) perbuatan-pebuatan itu dari beberapa kaum dengan berkah bulan Ramadhan, memberikan ampunan kepada orang yang berbuat keburukan karena adanya orang yang berbuat kebajikan, serta mengampuni pelbagai kesalahan. Inilah makna tertutupnya pintu neraka,” (Lihat Ibnu Baththal, Syarhu Shahih al-Bukhari, juz IV, halaman 20).

Lantas bagaimana dengan dibelengunya setan? Menurut Ad-Dawudi dan Al-Mahlab, maksudnya adalah Allah menjaga kaum muslimin atau mayoritas dari mereka dari kemaksiatan dan kecenderungan untuk menuruti bisikan setan.

Bahkan Al-Mahlab memberikan argumentasi bagi kalangan yang memahami dibelenggunya setan dalam pengertian hakiki. Menurutnya, masuknya para pendurhaka (ahlul ma’ashi) pada bulan Ramadhan dalam ketataan sehingga mereka mengabaikan hawa nafsunya menunjukkan terbelenggunya setan.


وَكَذَلِكَ قَوْلُهُ : ( سُلْسِلَتِ الشَّيَاطِينُ ) ، يَعْنِى : أَنَّ اللهَ يَعْصِمُ فِيهِ الْمُسْلِمِينَ أَوْ أَكْثَرَهُمْ فِى الْأَغْلَبِ عَنِ الْمَعَاصِى وَالْمَيْلِ إِلَى وَسْوَسَةِ الشَّيَاطِينِ وَغُرُورِهِمْ ، ذَكَرَهُ الدَّاوُدِيُّ وَالْمَهْلَبُ . وَاحْتَجَّ الْمَهْلَبُ لِقَوْلِ مَنْ جَعَلَ الْمَعْنَى عَلَى الْحَقِيقَةِ فَقَالَ : وَيَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ مَا يُذْكَرُ مِنْ تَغْلِيلِ الشَّيَاطِينِ وَمَرَدَتِهِمْ بِدُخُولِ أَهْلِ الْمَعَاصِى كُلِّهَا فِى رَمَضَانَ فِى طَاعَةِ اللهِ ، وَالتَّعَفُّفِ عَمَّا كَانُوا عَلَيْهِ مِنَ الشَّهَوَاتِ


Artinya, “Begitu juga sabda Rasulullah SAW ‘setan-setan dibelenggu’ maksudnya adalah sesungguhnya dalam bulan Ramadhan Allah menjaga orang-orang muslim atau atau mayoritas mereka secara umum dari kemaksiatan, kecenderungan untuk mengikuti bisikan dan godaan setan. Demikian sebagaimana dikemukakan oleh Ad-Dawudi dan Al-Mahlab. Al-Mahlab pun memberikan argumentasi yang mendukung kalangan yang memahami makna hadits ini dengan makna hakiki. Ia menyatakan bahwa setan terbelenggu karena para pendurhaka di bulan Ramadhan masuk ke dalam ketatatan kepada Allah dan menjauhkan diri dari hawa nafsunya,” (Lihat Ibnu Baththal, Syarhu Shahih al-Bukhari, juz IV, halaman 20).

Berangkat dari penjelasan di atas, maka soal dibukanya pintu surga, ditutupnya pintu neraka, dan dibelenggunya setan, para ulama berbeda dalam memahaminya. Ada yang memahami dengan pendekatan makna hakiki sesuai bunyi teks haditsnya, dan ada juga yang memahami dengan pendekatan makna yang terdapat di balik bunyi teksnya (majazi).

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Mumpung di bulan Ramdhan tingkatkan amal ibadah karena lebih cepat diterima. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq
Wassalamu’alaikum wr. wb.