Sering kita jumpai pertanyaan dari beberapa orang yang ingin mengetahui apa perbedaan dan persamaan makna dari istilah Ilmuwan dengan Ulama.
Apakah Ilmuwan hanya sebutan khusus untuk para ahli ilmu alam (eksakta)
sedangkan Ulama sebutan untuk para ahli Ilmu Agama (baca:Dinul Islam)?
Apakah telah terjadi berbagai pergeseran atau penyempitan makna,
sehingga terjadi dikotomi keduanya? Adapula yang menganggap bahwa al
ulama hanyalah orang-orang yang hanya mengurusi rutinitas ibadah pokok
(makhdo) dalam rukun Islam dengan menafikan masalah lainya. Sehingga
mereka menganggap para ulama tidak punya ilmu dan kemampuan dalam
mengentaskan masalah pembangunan peradaban dan perkembangan
iptek. Bukankah dimensi ibadah itu tidak hanya terbatas masalah rukun
Islam yang lima perkara saja.
Untuk mencari kejelasannya, berikut ini kami ulas permasalahannya.
Mudah-mudahan dapat membantu kita menyibak makna yang sebenarnya. Kita
mencoba dengan menggali akar katanya, lalu menelusuri darimana
munculnya.
1. Definsi Ilmuwan
Definisi Ilmuwan ialah orang yang bekerja dan
mendalami dengan tekun dan sungguh-sungguh dalam bidang ilmu
pengetahuan. Para ilmuwan bisa bekerja dalam bidang ilmu pengetahuan
yang berbeda. Di sini diberikan beberapa contoh: Mereka yang belajar fisika ialah fisikawan. Yang belajar kimia ialah kimiawan. Yang belajar biologi ialah biolog. (sumber: id.wiktionary.org).
Dari definsi di atas jelas bahwa arahnya hanya kepada para ahli ilmu
alam (eksakta) yang merupakan ayat kauniyah Allah. Akar kata ilmuwan
dari dua suku kata Ilmu (serapan dari bahasa Arab) yang sudah mengindonesia, lalu ditambah dengan akhiran –wan yang menunjukkan penegasan sifat awalannya. Sebagai contoh pembanding, yaitu kata dermawan yang
artinya orang yang suka berderma, membantu dengan harta atau bersifat
sosial. Lantas, siapakah yang mempopulerkannya dan kapan munculnya
istilah ilmuwan, wallahu’alam- secara jelas belum kami temui
penjelasannya. Namun yang jelas kosa kata ini sudah menjadi kata baku
dalam bahasa Indonesia.
2. Definisi Ulama
Secara bahasa, ulama berasal dari kata kerja dasar ‘alima (telah mengetahui); berubah menjadi kata benda pelaku ‘alimun (orang yang mengetahui – mufrad/singular) dan ulama
(jamak taksir/irregular plural). Berdasarkan istilah, pengertian ulama
dapat dirujuk pada al-Quran dan hadis. Yang sangat masyhur dalam hal ini
adalah : انما يخشى الله من عباده العلماء (sesungguhnya yang paling takut kepada Allah diantara hambaNya adalah ulama- Qs.Fathir 28).
Nash yang jelas tentang lafadz al Ulama dalam al Quran di atas adalah berbentuk ism makrifat
(khusus-dapat dikenali secara jelas) bukan berbentuk umum (ism
nakirah), yaitu ulama. Artinya al Ulama adalah hamba Allah yang takut
melanggar perintah Allah dan takut melalaikan perintah-Nya dikarenakan
dengan ilmunya ia sangat mengenal keagungan Allah. Ia bertahuid
(mengesakan) Allah dalam rububiyah, uluhiyah dan asma wa sifat. Mereka sangat berhati-hati dalam ucapan dan tindakan karena memiliki sifat wara, khowasy dan ’arif.
Dalam sebuah hadits riwayat Muslim bersumber dari Anas yang membayankan
atau menjelaskan terhadap al Qur-an Surah Fathir ayat 28 di atas
dinyatakan bahwa :
العلماء اُمناء الله على خلقهِ
(“al ‘Ulama adalah pemegang amanah Allah atas makhluqnya”).
Jelas bahwa kata al Ulama bukan sekedar istilah dan kedudukan sosial
buatan manusia. Bukan pula orang yang didudukan di lembaga bentukan
pemerintahan sekular dengan subsidi dana. Namun kosa kata al Ulama
berasal dari Kalamullah dan memiliki arti dan kedudukan sangat terhormat
disisi Rabb. Hanya Allah yang mengetahui hakikat sebenarnya siapa dari
hambaNya yang termasuk kategori al Ulama. Maka tidak berhak seseorang
memproklamirkan dirinya sebagai al Ulama.
Secara tersirat kata rusul (ism nakirah) dapat berarti Rosulullah dan bisa pula al Ulama. Sedangkan arrusul (ism
makrifat) artinya khusus ditujukan kepada Rosulullah. Berarti al Ulama
memiliki tanggung jawab besar berupa amanah risalah yang telah dibawa
para rasul untuk dijaga kemurniaannya, didakwahkan dan diamalkan.
Kemudian ada juga satu lagi hadits dari sumber Anas, riwayat Muslim yang
menyatakan :
العلماءُ امناء الرّسل مالن يٌخلط السلطانَ ودخل الدنياَ اذا خلط السلطان ودخل الدنيا فقد خان الرسل فاهذروهُ
(Al ‘Ulama pemegang amanah para rosul, selama ia tidak menggauli
penguasa / ambisi kekuasaan, dan tidak cinta berat terhadap dunia /
materialis, jika ia menjilat penguasa / ambisi kekuasaan, dan cinta
berat terhadap dunia / materialis maka sungguh ia telah menghianati para
rosul, maka berhati-hatilah kepadanya”).
Hadits ini menjelaskan al Qur-an Surah Assyura ayat 13 :
شرع لكم من الدين ما وصى به نوحآ والذي اوحينا اِليك وما
وصّينا به ابراهيم وموسى وعيسى انْ اقيموا الدّين ولا تتفرّقوا فيه كبر
على المشركين ما تدعوهم اليهِ الله يجتبى اليه من يشاء ويهدى من ينيب ـ
“Disyariatkan atas kamu ad Din, (yaitu) apa yang Kami
wasiatkan dengannya kepada Nuh, dan apa-apa yang Kami wahyukan kepadamu
(Muhammad), dan apa-apa yang Kami wasiatkan dengannya kepada Ibrahim
dan Musa dan Isa, bahwa tegakkanlah ad Din dan janganlah berpecah-belah
didalamnya. Berat rasanya bagi orang-orang musyrik seruan kamu atas
mereka, Allah menetapkan dengan seruan itu siapa yang dikehendakiNya,
dan menunjuki dengannya orang-orang yang kembali (bertaubat)”.
Ciri lain seorang al ulama adalah memiliki kepekaan terhadap
penderitaan ummat lalu mengupayakan jalan keluarnya (Qs.9:128). Ia
umumnya dibangkitkan Allah di tengah-tengah qoum yang ummi (buta huruf,
masyarakat biasa/kecil : Qs.62:2).
Kesimpulan
Al Ulama adalah kedudukan mulia dari Allah kepada
hamba pilihan yang memahami ayat-ayat Allah berupa Ilmu kauniyah yang
dibentangkan Allah di alam semesta dan Ilmu Syariah yang tertulis dalam
kitabNya. Maka untuk mendapatkan definisi yang benar harus dikembalikan
yang membuat istilah al Ulama (dalam hal ini Allah). Sedangkan Ilmuwan istilah yang muncul di masa mutaakhir, maka harus dikembalikan kepada pembuatnya (manusia). Dengan mencoba memahami sumber asal yang benar, insyaAllah akan menghasilkan keluaran yang benar pula.
Untuk lebih jelasnya coba perhatikan kembali dalilnya sebagai berikut:
- Dalam Qs. 35:27-28 dan al Hadits yang menjelaskannya, diperoleh
ciri dari Al Ulama, yaitu yang memahami Ilmu Alam Semesta. Selain
itu rasa takutnya kepada Allah sebagai faktor utama keulamaan. Ia
dapat mencapai derajat demikian dikarenakan pengenalannya kepada
Allah melalui ilmu sehingga muncul sifat dan perilaku taqwa.
- Dalam Qs. 42:13 dan Al Hadits yang menjelaskannya, diperoleh makna bahwa Ulama adalah yang memahami Ilmu Syariat Dinullah.
- Dalam Qs.62: 2, Ulama dibangkitkan Allah ditengah-tengah qoum
yang ummi (buta alqur-an; masyarakat biasa/kecil), bukan orang yang
sengaja hijrah ke kota besar untuk sekadar menyibukkan berceramah
memenuhi panggilan tanpa bisa memprogram ummat.
- Dalam Qs.9: 128, Al Ulama memiliki kepekaan, kepedulian
terhadap penderitaan ummat serta mampu memberikan solusi yang tepat
atas dasar sunnah.
- Dalam Qs. 24 : 37, Al Ulama adalah lelaki yang mengutakan
zikrullah (mendakwahkan Islam) diatas urusan bisnis dan pekerjaan
pribadi demi mendapatkan keridhoanNya.
- Dalam Qs. 2 : 207-208, Al Ulama bercirikan pribadi-pribadi
tangguh yang telah melakukan transaksi kepada Allah atas dirinya secara
lahir-bathin serta hartanya. Kemudian berupaya untuk mengamalkan
Dinul Islam secara kaffah dengan mengajak para ulama sedunia
membangun kesepakatan dan kerjasama menuju hal itu. Ia bukanlah orang yang menjual Islam untuk kepentingan pribadi berupa materi, pujian, dan kedudukan.
Seorang ‘ilmuwan’ dapat masuk dalam golongan al
ulama selama memilki aqidah tauhid yang lurus dan beramal sholeh dengan
ilmu yang dibukakan Allah untuknya. Bahkan diantara para Nabi dan
Rosulullah selain menyeru ummatnya kepada tauhid, merekapun dibekali
Allah dengan ilmu ‘alam dan teknologi. Beberapa contohnya dari golongan
Nabi dan Rosul antara lain pada Nabi Sholih, as., seorang ahli
arsitektur bangunan yang kemudian diangkat Allah sebagai rosulNya untuk
qoum Tsamud. Lalu Rosulullah Sulaiman, as., dengan istana megahnya
dengan taman kaca, serta Nabi Dzulkarnain dengan tembok raksasanya.
Kemudian dari kalangan sahabat Rosulullah Muhammad, SAW., kita mengenal
Umar bin Khottob seorang ahli ilmu falaq yang mempelopori pembuatan
almanak Qomariyah (Hijriyah). Ada pula dari kalangan ulama tempo dulu
seperti Ibnu Sina, seorang ‘alim yang juga ahli dalam kedokteran dan
sebagainya.
Adapun manusia yang hanya faham dan ahli mengenai ilmu eksakta (alam)
tapi jahil mengenai Al Quran, maka belumlah termasuk al ulama. Bisa
jadi ia hanyalah ilmuwan, cendikia atau intelektual dari golongan
orang-orang kafir atau penganut sekularisme (munafiq), dan dari golongan
moderat (muqtasidah) yang selalu mengambil jalan yang aman. Para
penganut faham moderat ini, umumnya orang yang memiliki kedudukan di
tengah masyarakat umum (kafir dan mukmin) sehingga takut menanggung
resiko ujian dan hilang kedudukan apabila menyatakan dirinya muslim yang
kaffah. Sebaliknya seorang ulama bisa jadi ia memahami ilmu ‘alam,
eksakta (ilmuwan) sekaligus faham ilmu syariat dinullah, atau salah
satunya saja, namun beraqidah lurus dan beramal sholih.
Maka, titik temu antara Ilmuwan dengan Al Ulama berpangkal pada
masalah aqidah yang benar sebagai syarat pokok keulamaan. Ulama dan
Ilmuwan bisa jadi satu kesatuan, dan ulama jelas bukan orang bodoh yang
tidak faham urusan duniawiyah. Ilmu yang mereka miliki hanyalah sebagai
jalan untuk mengenal Allah dan mendapat ridho-Nya, bukan ilmu pengetahuan
sebagai tujuan akhir hidupnya. Kemudian dengan ilmunya ia mengajak
manusia bertauhid kepada Allah subhanahuwata’ala bukan dengan ilmunya
menyesatkan dirinya dan ummat, Naudzubillahi min dzalik. Wallahu’alam.