Terima kasih atas kunjungan anda !!!! KAMI SIAP MENYAMPAIKAN AMANAH ANDA KEPADA YANG BERHAK

Rabu, 20 November 2013

Surjan, Pakaian Muslim Rancangan Para Wali






Tak banyak yang mengetahui bahwa surjan, baju khas Jawa, merupakan representasi dari baju Muslim sesungguhnya. Banyak yang menganggap surjan sekadar tradisi adat istiadat. Padahal, baju tersebut menyimpan ajaran Sunan Kalijaga.

Pendapat ini disampaikan Wakil Ketua PWNU DIY, M. Jadul Maula, dalam dialog “Menggali Tradisi Menemukan Jati Diri” yang diadakan di Teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Rabu (20/11).

Selanjutnya, pria yang akrab disapa Kang Jadul itu pun menjelaskan filosofi yang terdapat pada baju surjan. Baju Surjan memiliki lima kancing baju, tiga terdapat di bagian depan dan tertutup, dua sisanya terdapat di bagian leher. Lima kancing tersebut melambangkan rukun Islam yang berjumlah lima.

Tiga kancing di depan dan tertutup melambangkan rukun Islam yang tiga, yaitu Syahadat, Sholat, dan Puasa. Mengapa tertutup? Karena seseorang tidak butuh dilihat orang lain ketika menjalankan tiga hal tersebut.

“Itulah etika untuk menjalankan ibadah,” tambahnya.

Sedangkan dua rukun Islam sisanya, yakni Zakat dan Haji dilambangkan pada dua kancing yang terdapat di leher dan terlihat. Artinya, berbeda dengan Syahadat, Sholat, dan Puasa, dua ibadah ini justru perlu dipublikasikan kepada orang lain. Misalnya, ketika akan dan usai melaksanakan ibadah haji, tradisi orang Islam Indonesia adalah mengadakan tasyakuran atau walimatus safar.

Ketika baju Surjan yang memiliki lima kancing yang melambangkan rukun Islam tersebut digabungkan dengan Blangkon yang dikenakan di kepala, maka jadilah ia memiliki filosofi rukun Iman yang berjumlah enam.

“Artinya, martabat kita ditegakkan dengan rukun iman yang enam itu,” tegas Pengasuh Pesantren Kaliopak Piyungan, Bantul tersebut.

Kata Surjan sendiri berakar dari bahasa Arab, yakni Siraajan yang artinya lampu atau dalam bahasa Jawa disebut Pepadhang.

“Baju Surjan itu dirancang oleh para Wali untuk menegakkan rukun Islam dan Iman,” tandasnya.

Kang Jadul mengingatkan agar umat Islam tak hanya melihat surjan sebagai tradisi yang lepas dari ajaran wali. Dia mengaku heran, di kalangan umat Islam Tanah Air selama ini malah beredar pemahaman bahwa baju muslim adalah baju koko. Padahal, baju yang sering diasosiasikan sebagai baju taqwa ini merupakan baju buatan China.

Antara Ilmuwan dan Al 'Ulama

Sering kita jumpai pertanyaan dari beberapa orang yang ingin mengetahui apa perbedaan dan persamaan makna dari istilah Ilmuwan dengan Ulama. Apakah Ilmuwan hanya sebutan khusus untuk para ahli ilmu alam (eksakta) sedangkan Ulama sebutan untuk para ahli Ilmu Agama (baca:Dinul Islam)? Apakah telah terjadi berbagai pergeseran atau penyempitan makna, sehingga terjadi dikotomi keduanya? Adapula yang menganggap bahwa al ulama hanyalah orang-orang yang hanya mengurusi rutinitas ibadah pokok (makhdo) dalam rukun Islam dengan menafikan masalah lainya. Sehingga mereka menganggap para ulama tidak punya ilmu dan kemampuan dalam mengentaskan masalah pembangunan peradaban dan perkembangan iptek. Bukankah dimensi ibadah itu tidak hanya terbatas masalah rukun Islam yang lima perkara saja.
Untuk mencari kejelasannya, berikut ini kami ulas permasalahannya. Mudah-mudahan dapat membantu kita menyibak makna yang sebenarnya. Kita mencoba dengan menggali akar katanya, lalu menelusuri darimana munculnya.
1.  Definsi  Ilmuwan
Definisi Ilmuwan ialah orang yang bekerja dan mendalami dengan tekun dan sungguh-sungguh dalam bidang ilmu pengetahuan. Para ilmuwan bisa bekerja dalam bidang ilmu pengetahuan yang berbeda. Di sini diberikan beberapa contoh: Mereka yang belajar fisika ialah fisikawan. Yang belajar kimia ialah kimiawan. Yang belajar biologi ialah biolog. (sumber: id.wiktionary.org).
Dari definsi di atas jelas bahwa arahnya hanya kepada para ahli ilmu alam (eksakta) yang merupakan ayat kauniyah Allah. Akar kata ilmuwan dari dua suku kata Ilmu (serapan dari bahasa Arab) yang sudah mengindonesia, lalu ditambah dengan akhiran –wan yang menunjukkan penegasan sifat awalannya. Sebagai contoh pembanding, yaitu kata dermawan yang artinya orang yang suka berderma, membantu dengan harta atau bersifat sosial. Lantas, siapakah yang mempopulerkannya dan kapan munculnya istilah ilmuwan, wallahu’alam- secara jelas belum kami temui penjelasannya. Namun yang jelas kosa kata ini sudah menjadi kata baku dalam bahasa Indonesia.
2. Definisi Ulama
Secara bahasa, ulama berasal dari kata kerja dasar ‘alima (telah mengetahui); berubah menjadi kata benda pelaku ‘alimun (orang yang mengetahui – mufrad/singular) dan ulama (jamak taksir/irregular plural). Berdasarkan istilah, pengertian ulama dapat dirujuk pada al-Quran dan hadis. Yang sangat masyhur dalam hal ini adalah : انما يخشى الله من عباده العلماء (sesungguhnya yang paling takut kepada Allah diantara hambaNya adalah ulama- Qs.Fathir 28).
Nash yang jelas tentang lafadz al Ulama dalam al Quran di atas adalah berbentuk ism makrifat (khusus-dapat dikenali secara jelas) bukan berbentuk umum (ism nakirah), yaitu ulama. Artinya al Ulama adalah hamba Allah yang takut melanggar perintah Allah dan takut melalaikan perintah-Nya dikarenakan dengan ilmunya ia sangat mengenal keagungan Allah. Ia bertahuid (mengesakan) Allah dalam rububiyah, uluhiyah dan asma wa sifat. Mereka sangat berhati-hati dalam ucapan dan tindakan karena memiliki sifat wara, khowasy dan ’arif. Dalam sebuah hadits riwayat Muslim bersumber dari Anas yang membayankan atau menjelaskan terhadap al Qur-an Surah Fathir ayat 28 di atas dinyatakan bahwa :
العلماء اُمناء الله على خلقهِ
(“al ‘Ulama adalah pemegang amanah Allah atas makhluqnya”).
Jelas bahwa kata al Ulama bukan sekedar istilah dan kedudukan sosial buatan manusia. Bukan pula orang yang didudukan di lembaga bentukan pemerintahan sekular dengan subsidi dana. Namun kosa kata al Ulama berasal dari Kalamullah dan memiliki arti dan kedudukan sangat terhormat disisi Rabb. Hanya Allah yang mengetahui hakikat sebenarnya siapa dari hambaNya yang termasuk kategori al Ulama. Maka tidak berhak seseorang memproklamirkan dirinya sebagai al Ulama.
Secara tersirat kata rusul (ism nakirah) dapat berarti Rosulullah dan bisa pula al Ulama. Sedangkan arrusul (ism makrifat) artinya khusus ditujukan kepada Rosulullah. Berarti al Ulama memiliki tanggung jawab besar berupa amanah risalah yang telah dibawa para rasul untuk dijaga kemurniaannya, didakwahkan dan diamalkan. Kemudian ada juga satu lagi hadits dari sumber Anas, riwayat Muslim yang menyatakan :
العلماءُ امناء الرّسل مالن يٌخلط السلطانَ ودخل الدنياَ اذا خلط السلطان ودخل الدنيا فقد خان الرسل فاهذروهُ
(Al ‘Ulama pemegang amanah para rosul, selama ia tidak menggauli penguasa / ambisi kekuasaan, dan tidak cinta berat terhadap dunia / materialis, jika ia menjilat penguasa / ambisi kekuasaan, dan cinta berat terhadap dunia / materialis maka sungguh ia telah menghianati para rosul, maka berhati-hatilah kepadanya”).
Hadits ini menjelaskan al Qur-an Surah Assyura ayat 13 :
شرع لكم من الدين ما وصى به نوحآ والذي اوحينا اِليك وما وصّينا به ابراهيم وموسى وعيسى انْ اقيموا الدّين ولا تتفرّقوا فيه كبر على المشركين ما تدعوهم اليهِ الله يجتبى اليه من يشاء ويهدى من ينيب ـ
“Disyariatkan atas  kamu ad Din, (yaitu) apa yang Kami  wasiatkan dengannya kepada Nuh, dan apa-apa yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad),  dan apa-apa yang Kami wasiatkan dengannya kepada Ibrahim dan Musa dan Isa, bahwa tegakkanlah ad Din dan janganlah berpecah-belah didalamnya. Berat rasanya bagi orang-orang musyrik seruan kamu atas mereka, Allah menetapkan dengan seruan itu siapa yang dikehendakiNya, dan menunjuki dengannya orang-orang yang kembali (bertaubat)”.

Ciri lain seorang al ulama adalah memiliki kepekaan terhadap penderitaan ummat lalu mengupayakan jalan keluarnya (Qs.9:128). Ia umumnya dibangkitkan Allah di tengah-tengah qoum yang ummi (buta huruf, masyarakat biasa/kecil : Qs.62:2).

Kesimpulan
Al Ulama adalah kedudukan mulia dari Allah kepada hamba pilihan yang memahami ayat-ayat Allah berupa Ilmu kauniyah yang dibentangkan Allah di alam semesta dan Ilmu Syariah yang tertulis dalam kitabNya. Maka untuk mendapatkan definisi yang benar harus dikembalikan yang membuat istilah al Ulama (dalam hal ini Allah). Sedangkan Ilmuwan istilah yang muncul di masa mutaakhir, maka harus dikembalikan kepada pembuatnya (manusia). Dengan mencoba memahami sumber asal yang benar, insyaAllah akan menghasilkan keluaran yang benar pula.
Untuk lebih jelasnya coba perhatikan kembali dalilnya sebagai berikut:
  1. Dalam Qs. 35:27-28 dan al Hadits yang menjelaskannya, diperoleh ciri dari Al Ulama, yaitu yang memahami Ilmu Alam Semesta. Selain itu rasa takutnya kepada Allah sebagai faktor utama keulamaan. Ia dapat mencapai derajat demikian dikarenakan pengenalannya kepada Allah melalui ilmu sehingga muncul sifat dan perilaku taqwa.
  2. Dalam Qs. 42:13 dan Al Hadits yang menjelaskannya, diperoleh makna bahwa Ulama adalah yang memahami Ilmu Syariat Dinullah.
  3. Dalam Qs.62: 2, Ulama dibangkitkan Allah ditengah-tengah qoum yang ummi (buta alqur-an; masyarakat biasa/kecil), bukan orang yang sengaja hijrah ke kota besar untuk sekadar menyibukkan berceramah memenuhi panggilan tanpa bisa memprogram ummat.
  4. Dalam Qs.9: 128, Al Ulama memiliki kepekaan, kepedulian terhadap penderitaan ummat serta mampu memberikan solusi yang tepat atas dasar sunnah.
  5. Dalam Qs. 24 : 37, Al Ulama adalah lelaki yang mengutakan zikrullah (mendakwahkan Islam) diatas urusan bisnis dan pekerjaan pribadi demi mendapatkan keridhoanNya.
  6. Dalam Qs. 2 : 207-208, Al Ulama bercirikan pribadi-pribadi tangguh yang telah melakukan transaksi kepada Allah atas dirinya secara lahir-bathin serta hartanya. Kemudian berupaya untuk mengamalkan Dinul Islam secara kaffah dengan mengajak para ulama sedunia membangun kesepakatan dan kerjasama menuju hal itu. Ia bukanlah orang yang menjual Islam untuk kepentingan pribadi berupa materi, pujian, dan kedudukan.
Seorang ‘ilmuwan’ dapat masuk dalam golongan al ulama selama memilki aqidah tauhid yang lurus dan beramal sholeh dengan ilmu yang dibukakan Allah untuknya. Bahkan diantara para Nabi dan Rosulullah selain menyeru ummatnya kepada tauhid, merekapun dibekali Allah dengan ilmu ‘alam dan teknologi. Beberapa contohnya dari golongan Nabi dan Rosul antara lain pada Nabi Sholih, as., seorang ahli arsitektur bangunan yang kemudian diangkat Allah sebagai rosulNya untuk qoum Tsamud. Lalu Rosulullah Sulaiman, as., dengan istana megahnya dengan taman kaca, serta Nabi Dzulkarnain dengan tembok raksasanya. Kemudian dari kalangan sahabat Rosulullah Muhammad, SAW., kita mengenal Umar bin Khottob seorang ahli ilmu falaq yang mempelopori pembuatan almanak Qomariyah (Hijriyah). Ada pula dari kalangan ulama tempo dulu seperti Ibnu Sina, seorang ‘alim yang juga ahli dalam kedokteran dan sebagainya.
Adapun manusia yang hanya faham dan ahli mengenai ilmu eksakta (alam) tapi jahil mengenai Al Quran, maka belumlah termasuk al ulama. Bisa jadi ia hanyalah ilmuwan, cendikia atau intelektual dari golongan orang-orang kafir atau penganut sekularisme (munafiq), dan dari golongan moderat (muqtasidah) yang selalu mengambil jalan yang aman. Para penganut faham moderat ini, umumnya orang yang memiliki kedudukan di tengah masyarakat umum (kafir dan mukmin) sehingga takut menanggung resiko ujian dan hilang kedudukan apabila menyatakan dirinya muslim yang kaffah. Sebaliknya seorang ulama bisa jadi ia memahami ilmu ‘alam, eksakta (ilmuwan) sekaligus faham ilmu syariat dinullah, atau salah satunya saja, namun beraqidah lurus dan beramal sholih.
Maka, titik temu antara Ilmuwan dengan Al Ulama berpangkal pada masalah aqidah yang benar sebagai syarat pokok keulamaan. Ulama dan Ilmuwan bisa jadi satu kesatuan, dan ulama jelas bukan orang bodoh yang tidak faham urusan duniawiyah. Ilmu yang mereka miliki hanyalah sebagai jalan untuk mengenal Allah dan mendapat ridho-Nya, bukan ilmu pengetahuan sebagai tujuan akhir hidupnya. Kemudian dengan ilmunya ia mengajak manusia bertauhid kepada Allah subhanahuwata’ala bukan dengan ilmunya menyesatkan dirinya dan ummat, Naudzubillahi min dzalik. Wallahu’alam.

SUNNY vs SYI'AH

Syi'ah dan Sunny jelas sangat berbeda dalam prinsip Aqidahnya dan juga tata cara pelaksaan ibadahnya.

Jadi tidak mungkin Sunny dan Syi'ah itu bisa saling membenarkan, Syi'ah tidak mungkin membenarkan Sunny yang mengakui Khalifah pertama adalah Sayyidina Abu Bakar, berlanjut Sayyidina Umar, Utsaman dan Ali Rodyiyallahu 'anhum.

Demikian juga Sunny tidak akan mampu meyakini bahwa Sayyidina Abu Bakar dan Umar adalah para perampok seperti yang dituduhkan Syi'ah, apalagi sampai berani meyakini bahwa Sayyidatina 'Aisyah adalah pelacur, bahkan membayangkan saja tidak akan berani.

Tetapi, ketika perbedaan tajam itu akan menjadikan suasana NKRI tercerai berai, dan itulah yang akan menggembirakan musuh musuh Islam, maka sebaiknya dengan toleransi yang tinggi membiarkan perbedaan itu berjalan apa adanya, dan masing masing menggarap ladang dakwahnya dengan sopan santun, dan damai.

Selama ini kita telah beribadah dan belajar agama dengan tenang, tanpa ada yang melarang, tanpa ada ancaman.

Kedamaian itulah yang sekarang dicoba untuk diguncang, media yang mengatas namakan islam sangat penting menjalankan provokasi ini, berbagai issu politik dan sekterian dalam sehari selalu baru.

Kini mereka sedang gencar gencarnya mengidentikkan Tashowwuf adalah Syi'ah itu juga. Biar para awam kehilangan energi ilahiyyah dari para salik setelah dibunuhnya.

arrahmah.com, voa islam.com, nahi mungkar.com dll adalah sekian situs yang tidak punya misi visi lain kecuali menghasut dan meng adu domba Muslimin Nusantara.

Mereka tidak rela jika Ummat Islam Indonesia dengan berbagai variasi kebudayaannya menampilkan kerukunan dan keindahannya, mereka hanya ingin Indonesia ini menjadi miliknya, kemudian akan dibagi bagi kepada bolo kurowonya menurut seleranya.

Tidakkah kita belajar dari Negara negara Arab disana? mereka menginginkan hanya ideologinya saja yang boleh ada, lalu bagaimana akibatnya setelah mereka meminjam istilah Jihad dan Islam untuk memperkosa peradaban Ummat Manusia?

Yang ada dan akan berlanjut entah sampai kapan adalah perang, perang, perang, dan setiap detiknya akan ada nyawa yang melayang sia sia.

Sementara para penjual senjata berpesta pora, mereka dengan mudah membeli para pelacur yang juga korban perang itu sendiri dan wanita muslimah yang terhimpit keadaan atau korban perkosaan yang kemudian berputus asa.

Andai anda adalah manusia cerdas, baik itu dari kalangan Sunny, Syi'ah dan salafi, bahkan Ummat yang lain, anda akan menutup kemungkinan bangsa Indonesia perang saudara, karena sebejat bejat negara kita yang memang sangat memalukan ini, akan lebih baik tenang beribadah daripada kita sholat saja harus ada yang mengawalnya.

Minggu, 10 November 2013

Meluruskan Sejarah 'Islam' Indonesia

Peringatan Hari Pahlawan 10 November mengingatkan kita pada teriakan “Allahu Akbar, Allahu Akbar…” Bung Tomo, arek-arek Suroboyo, dan pasukan non reguler muslim Hizbullah-Sabilillah. Peristiwa ini didahului dengan fatwa Resolusi Jihad dari Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari yang menyerukan agar umat Islam melakukan jihad fi sabilillah atau perang di jalan Allah untuk mengusir penjajah yang ingin menguasai sebuah “darus salam” yang baru saja diproklamirkan.

Buku-buku sejarah yang dicetak di era Orde Baru hampir tidak pernah menyebut Resolusi Jihad itu sebagai bagian dari sejarah. Buku babon Sejarah Nasional Indonesia juga tidak menyebut kata Resolusi Jihad. Dengan model penulisan konvensional yang terfokus pada peran tokoh-tokoh heroik, buku sejarah enam jilid itu juga tidak menyebut nama KH Hasyim Asy’ari, padahal telah ditetapkan sebagai salah seorang Pahlawan Nasional di era Orde Lama.

Yang lebih membuat warga Nahdliyin tersenyum kecut, dalam buku Memoar Bung Tomo juga tidak menyebutkan nama KH Hasyim Asy’ari. Padahal berbagai dokumen foto dan kesaksian para sesepuh menyebutkan kedekatan seorang Bung Tomo, sosok yang paling populer dalam sejarah Hari Pahlawan, dengan seorang guru agama dan ulama besar asal Jombang itu, guru dari Bung Karno, Jenderal Sudirman dan para pejuang kemerdekaan.

Lagi-lagi, buku Memoar Bung Tomo itu juga dicetak di era Orde Baru yang nyaris selama 32 tahun berkuasa tidak memberikan ruang bagi NU untuk berkiprah, bahkan dalam catatan sejarah sekalipun. Posisi kedekatan NU dengan Soekarno di satu sisi, pilihan NU menjadi partai politik di sisi lain, serta gaya politik “tangan dingin” Orde Baru benar-benar memukul mundur NU dalam proses “pembangunan” Indonesia.

Baiklah, itu masa lalu, dan saat ini NU sudah semakin banyak ditulis dalam buku sejarah baik dalam buku-buku yang diterbitkan oleh NU sendiri maupun buku-buku sejarah “resmi”. Namun salah satu akibat dari penyingkiran sejarah NU adalah tercerabutnya Islam dan umat Islam dalam pusaran sejarah. Menyingkirkan NU dalam pusaran sejarah sama saja menggiring Indonesia menjadi negara sekuler dalam pengertiannya yang paling sederhana, terpisah dari agama (Islam).

Resolusi Jihad dan gema takbir arek-arek Suroboyo dan para santri dari berbagai pondok pesantren dalam revolusi berdarah di Surabaya 1945 mengingatkan kembali kepada serangkaian perjuangan kaum santri baik jiwa dan raga dalam mendirikan negara ini. Resolusi Jihad dan gema takbir mengingatkan bahwa pendirian negara bernama Indonesia ini dan upaya mempertahankannya dari segala bentuk penjajahan merupakan manifestasi dari ajaran agama Islam.

Peringatan Resolusi Jihad dan Hari Pahlawan sedianya mengingatkan bahwa spirit dan nilai-nilai agama harus tetap menjiwai proses penataan negara Indonesia yang baru saja dirombak besar-besaran sejak berakhirnya Orde Baru. Semangat dan keberanian para ulama untuk mendirikan negara dengan mengintegrasikan Islam dalam satu produk kebudayaan adiluhung bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasar pada Pancasila dan UUD 1945 dan merebut kembali Indonesia dari tangan penjajah harus diwariskan dari generasi ke generasi.

Rabu, 06 November 2013

Gus Dur Sudah Mengucapkan : Mantan Ajudannya, Sutarman Jadi Kapolri



Suatu pagi di tahun 2005 media cetak nasional memberitakan perihal mutasi perwira tinggi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia, sesuatu yang normal dan rutin terjadi sebagai bentuk penyegaran dan proses regenerasi.

Sudah menjadi kebiasaan rutin Gus Dur untuk mendengarkan perkembangan terkini dari berita-berita yang dibacakan oleh ajudan atau santrinya di pagi hari, sambil melayani para tamu yang berdatangan di rumahnya, di bilangan Ciganjur Jakarta Selatan.

Salah satu perwira yang mendapat promosi adalah mantan ajudan Gus Dur ketika menjadi presiden, Kombes Pol Sutarman yang naik pangkat menjadi Brigjend Pol dan menjabat sebagai Kapolda Kepulauan Riau. Karena secara langsung pernah berinteraksi dengan Gus Dur, berita tersebut juga dibacakan di hadapan Gus Dur. Kebetulan, yang menemani pagi itu Nuruddin Hidayat, salah seorang santri Gus Dur.

Nuruddin: “Pak, Pak Tarman dilantik jadi Kapolda Kepri, naik pangkatnya jadi bintang satu.”

Gus Dur : “O…ya, sebelumnya dia tugas dimana?

Nuruddin: “Di Polda Jatim Pak, terakhir sih Kapolwil Surabaya, nek mboten klentu (kalau tidak keliru),”

Nuruddin: “Pak Tarman niku (ini) ajudan sangking (dari) polisi yang terakhir gih (ya) Pak?

Gus Dur: “Ya, Sutarman gantiin Pak Halba”

Nuruddin: “Pak Tarman niku priyantun pundi (asalnya dari mana) Pak?”

Gus Dur: “Pak Tarman iku wong (orang) daerah sekitar Solo situ, tepatnya dimana, saya ngak tahu.”

Sejenak Gus Dur terdiam beberapa orang yang mengobrol bersamanya juga terdiam, menunggu mungkin ada satu hal penting yang diucapkan oleh Gus Dur.

Lalu…

Gus Dur: “Pak Tarman itu orang desa biasa bukan dari kalangan orang kaya, tapi mengko bakale dadi Kapolri” (Pak Tarman itu orang biasa dari desa bukan anaknya orang kaya, tapi nanti dia akan jadi Kapolri)”

Nuruddin: O…nggaten toh Pak (oh, begitu ya)……

Diam-diam Nuruddin pun mencatat ucapan Gus Dur dalam memorinya dan mengikuti terus tour of duty-nya Jendral Pol Sutarman.

Sutarman, lulusan Akademi Kepolisian 1981 ini mengawali kariernya di Kepolisian pada 1982, sebagai Kepala Staf Lalu Lintas Kepolisian Resor Bandung. Dalam waktu yang tidak lama, ia sudah menjadi Kepala Kepolisian Sektor Dayeuh, Bandung.

Kariernya melejit setelah menjadi ajudan Presiden Gus Dur pada 2000. Tahun 2004 sudah menjadi perwira menengah dan dipercaya sebagai Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya

Setelah ramalan Gus Dur tersebut, ia terus berkibar, menjadi Kapolda Kepulauan Riau, Kepala Sekolah Calon Perwira, Kapolda Jawa Barat, Kapolda Metro Jaya, sampai akhirnya menjadi Kepala Badan Reserse Kriminal Polri sejak 6 Juli 2011 dan dilantik menjadi Kapolri pada 25 Oktober 2013.

Saat nama Sutarman disebut-sebut sebagai calon Kapolri di media, Inayah Wahid, putri terakhir Gus Dur bersama Nuruddin Hidayat, berkunjung ke kantor redaksi NU Online. Kami asyik membicarakan sejumlah kisah kewalian Gus Dur ini, salah satunya kisah perjalanan karier Sutarman.

“Kita lihat saja bagaimana prosesnya, nanti kalau sudah benar-benar dilantik jadi Kapolri, baru kita tulis.” begitu kesimpulan bersama dari obrolan tersebut, dan ternyata, apa yang pernah diomongkan oleh Gus Dur tersebut benar.