Terima kasih atas kunjungan anda !!!! KAMI SIAP MENYAMPAIKAN AMANAH ANDA KEPADA YANG BERHAK

Rabu, 30 Oktober 2013

Cak Nun: Jika Semuanya Dianggap syirik, "Mati" Aja Kamu !


Perempatan Ringin Gamping, Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin malam (28/10) diguyur hujan. Tapi tak mampu mengusir ribuan orang yang memenuhi lapangan untuk memperingati hari Sumpah Pemuda dan Pelantikan Pimpinan Cabang (PC) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Sukoharjo.

Kegiatan bertajuk Ngaji Kebangsaan itu menghadirkan Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun dan Kyai Kanjeng.

Ketika Cak Nun naik panggung, iringan tepuk tangan bergemuruh. Cak Nun kemudian memanggil Bupati Sukoharjo, Wardoyo Wijaya untuk naik atas panggung. Sekali lagi tepuk tangan gemuruh.

Cak Nun mengajak para pemuda IPNU maupun GP Ansor terutama bagi Bupati Sukoharjo dan para jamaah yang datang untuk terus melakukan ngaji pikiran agar bisa bener-bener menjadi orang beneran.

“Baru menjadi orang sudah bisa mensyirikan orang, apa apa kamu anggap syirik, nyanyi syirik, shalawatan syirik, keris syirik. “Nek kowe anggap kabeh syirik yo modar wae (Jika kamu anggap semuanya syirik, mati aja kamu, red),” ungkapnya.

Sontak suara “gerr...” keluar dari ribuan jamaah yang hadir pada malam tersebut.

Cak Nun menjelaskan, syirik itu tidak bisa dilihat dari luar, karena adanya di dalam. Bahwa yang dinamakan syirik adalah ketika menduakan Tuhan. Tidak ada hubungannya dengan roh maupun benda.

Jika memang di dalam keris tersebut terdapat pemusyrikan, lanjutnya, maka seharusnya yang dirusak bukanlah kerisnya, tapi orangnya.

Lebih lanjut Cak Nun menambahkan, jangan meragukan keberadaan GP Ansor dan Nahdlatul Ulama (NU) di negara Indonesia. Karena hanya NU yang bisa menjaga keberadaan NKRI ini tetap utuh.

“Bila ada yang mencoba menjatuhkan NKRI maka itu juga musuhnya NU, sebab, NKRI dan NU adalah harga mati,” imbuhnya.

Sementara Bupati Sukoharjo, Wardoyo Wijaya mengimbau kepada warganya hendaknya tetap menjaga NKRI, empat pilar kebangsaan harus tetap di jaga dan di pertahankan. “Empat pilar kebangsaan harus kita jaga dan kita pertahankan demi keutuhan bangsa dan negara yang kita cintai ini,” tegasnya.

Rabu, 23 Oktober 2013

"SESEORANG YANG MEMBENCI PECINTA RASULULLAH SAW"

Dahulu di masa seorang penyair hebat dan sangat terkenal yaitu syaikh Farazdaq dimana beliau selalu asyik memuji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mempunyai kebiasaan melakukan ibadah haji setiap tahunnya. Suatu waktu ketika beliau melakukan ibadah haji kemudian datang berziarah ke makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan membaca qasidah di makam beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,dan ketika itu ada seseorang yang mendengarkan qasidah pujian yang dilantunkannya, setelah selesai membaca qasidah orang itu menemui syaikh Farazdaq dan mengajak beliau untuk makan siang ke rumahnya, beliau pun menerima ajakan orang tersebut dan setelah berjalan jauh hingga keluar dari Madinah Al Munawwarah hingga sampai di rumah orang tersebut, sesampainya di dalam rumah orang tersebut memegangi syaikh Farazdaq dan berkata: “sungguh aku sangat membenci orang-orang yang memuji-muji Muhammad, dan kubawa engkau kesini untuk kugunting lidahmu”,

maka orang itu menarik lidah beliau lalu mengguntingnya dan berkata : “ambillah potongan lidahmu ini, dan pergilah untuk kembali memuji Muhammad”,

maka Farazdaq pun menangis karena rasa sakit dan juga sedih tidak bisa lagi membaca syair untuk sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian beliau datang ke makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berdoa : “Ya Allah jika shahib makam ini tidak suka atas pujian-pujian yang aku lantunkan untuknya, maka biarkan aku tidak lagi bisa berbicara seumur hidupku, karena aku tidak butuh kepada lidah ini kecuali hanya untuk memuji-Mu dan memuji nabi-Mu, namun jika Engkau dan nabi-Mu ridha maka kembalikanlah lidahku ini ke mulutku seperti semula”, beliau terus menangis hingga tertidur dan bermimpi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berkata : “aku senang mendengar pujian-pujianmu, berikanlah potongan lidahmu”, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil potongan lidah itu dan mengembalikannya pada posisinya semula, dan ketika syaikh Farazdaq terbangun dari tidurnya beliau mendapati lidahnya telah kembali seperti semula, maka beliaupun bertambah dahsyat memuji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hingga di tahun selanjutnya beliau datang lagi menziarahi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kembali membaca pujian-pujian untuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan di saat itu datanglah seorang yang masih muda dan gagah serta berwajah cerah menemui beliau dan mengajak beliau untuk makan siang di rumahnya, beliau teringat kejadian tahun yang lalu namun beliau tetap menerima ajakan tersebut sehingga beliau dibawa ke rumah anak muda itu, dan sesampainya di rumah anak muda itu beliau dapati rumah itu adalah rumah yang dulu beliau datangi lalu lidah beliau dipotong, anak muda itu pun meminta beliau untuk masuk yang akhirnya beliau pun masuk ke dalam rumah itu hingga mendapati sebuah kurungan besar terbuat dari besi dan di dalamnya ada kera yang sangat besar dan terlihat sangat beringas, maka anak muda itu berkata : “engkau lihat kera besar yang di dalam kandang itu, dia adalah ayahku yang dulu telah menggunting lidahmu, maka keesokan harinya Allah merubahnya menjadi seekor kera”.

Dan hal yang seperti ini telah terjadi pada ummat terdahulu, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala :
فَلَمَّا عَتَوْا عَنْ مَا نُهُوا عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ

( الأعراف :166 )

“Maka setelah mereka bersikap sombong terhadap segala apa yang dilarang, Kami katakan kepada : “mereka jadilah kalian kera yang hina”. ( QS. Al A’raf : 166 )

Kemudian anak muda itu berkata: “jika ayahku tidak bisa sembuh maka lebih baik Allah matikan saja”, maka syaikh Farazdaq berkata : “Ya Allah aku telah memaafkan orang itu dan tidak ada lagi dendam dan rasa benci kepadanya”, dan seketika itu pun Allah subhanahu wata’ala mematikan kera itu dan mengembalikannya pada wujud yang semula.
Dari kejadian ini jelaslah bahwa sungguh Allah subhanahu wata’ala mencintai orang-orang yang suka memuji nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, karena pujian kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam disebabkan oleh cinta dan banyak memuji kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berarti pula banyak mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan semakin banyak orang yang berdzikir, bershalawat dan memuji nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalla, maka Allah akan semakin menjauhkan kita, wilayah kita dan wilayah-wilayah sekitar dari musibah dan digantikan dengan curahan rahmat dan anugerah dari Allah subhanahu wata’ala.

Jumat, 18 Oktober 2013

Antara Kyai dan Ulama

"KYAI Belum Tentu ULAMA, Tapi Kalau ULAMA Sudah Tentu KYAI"
Ada pernyataan menarik tentang pengertian "Kyai" dari KH. Musthofa Bisri Rembang (Gus Mus). Pada saat itu Gus Mus berkhutbah dalam pengajian haul KH Ali Maksum di Krapyak, Gus Mus (KH Mustofa Bisri Rembang) yang didaulat sebagai pembicara membawa hadirin pada suasana nostalgia, yakni masa-masa di saat beliau nyantri dulu... mengenang kearifan para Kyai zaman dahulu... khususnya para Kyai di lingkungan pesantren Krapyak yang pernah 'ngemong' beliau. Seperti KH. Ali Maksum, KH. Dalhar Munawwir, dan KHR. Abdul Qodir Munawwir. Beliau mengisahkan betapa manusiawinya para Kyai itu, dalam arti mampu memanusiakan manusia, sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing orang, tidak menelantarkan tetapi juga tidak mengekang. KH. Ali Maksum misalnya, sosok Kyai yang "mbapaki" dan tidak "ngiyaini", sehingga beliau di kalangan santri-santrinya lebih akrab disapa "Pak Ali", begitupun para kyai-kyai Krapyak generasi selanjutnya, juga disapa dengan sapaan "Pak" atau "Mbah". Salah satu hal yang khas dari Mbah Ali, khutbah Jum'atnya pendek-pendek, namun selalu bertemakan hal-hal penting yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Hal ini bisa dilihat pada gaya khutbah Mbah Zainal (KH Zainal Abidin Munawwir, pengasuh Ponpes Al-Munawwir Krapyak sekarang) yang terkesan pendek namun berbobot, baik itu tentang fiqh, aqidah, maupun tasawwuf. Beliau memahami kondisi masyarakat yang bermacam-macam, sehingga tidak menyamaratakan, santri tidak sama dengan pegawai kantor, pedagang bakso, atau musafir yang kebetulan mampir di masjid untuk shalat Jum'at. Terkadang tema yang dibahas oleh Mbah Zainal adalah bab Thoharoh alias 'sesuci', tentang apa itu air musta'mal, juga air mutanajjis, tema dan gaya khutbah semacam ini di Jakarta, di Kairo, atau di Saudi Arabia... Atau seperti kisah KH Abdul Jalil Mustaqim, pengasuh pesantren PETA Tulungagung. Beliau disowani seorang wanita yang ber-'profesi' sebagai penjaja seks yang minta doa penglaris. Kyai Jalil hanya manggut-manggut, menasehati dan mendoakan seperti apa yang diminta wanita itu, laris. Beberapa hari kemudian, beliau disowani oleh wanita yang sama, namun kali ini berbeda, wanita itu merengek-rengek minta bertaubat. Wanita itu berkisah, sangkin larisnya, sampai-sampai tidak kuat, merasa tersiksa, dan muncul keinginan untuk bertaubat.. wuih.. Wallahu A'lam... Dari contoh-contoh yang banyak dikisahkan itu, kita bisa melihat bagaimana para Kyai bergaul dengan masyarakat, merangkul, mendengarkan, memahami, dan memberi nasehat serta solusi bagi masalah mereka, dibalut dengan keikhlasan dan sikap 'ngemong', tidak menghakimi. Ibarat gula, mereka rela meleburkan diri di tengah masyarakat sebagai airnya, sehingga masyarakat pun turut menjadi manis. Sehingga, seperti dikatakan Gus Mus, dari wajah beliau-beliau itu tersirat cahaya kedamaian yang menular ke hati kita yang memandangnya. Beliau mencontohkan, setiap orang yang sowan ke ndalem Kyai Qodir (KHR. Abdul Qodir Munawwir), meski membawa berbagai macam kegundahan di hati, akan merasa plong, lega, ayem, ketika memandang wajah Sang Kyai yang disowani, seakan-akan semua masalahnya telah beres. Sangkin ayemnya... Nah, di ujung kisahnya, Gus Mus menyatakan kerinduannya terhadap sosok-sosok Kyai masa lalu... serta menawarkan satu definisi kata "Kyai" dalam konteks keindonesiaan, beliau (kira-kira) berujar begini; *"Saya punya definisi gelar 'Kyai' menurut versi saya sendiri, yakni ALLADZIINA YANDZURUUNAL UMMAH BI 'AYNIR ROHMAH; mereka yang memperhatikan Umat dgn pandangan Rahmat (Kasih Sayang). Kalau ada orang, pakaiannya ala Nabi, sorbannya lebar, jenggotnya panjang, tetapi nggak menyayangi umat, biarpun saya ditawari duit sejuta, nggak bakal mau manggil dia 'Kyai'.. Tetapi kalau ada orang yang ilmunya nggak terlalu tinggi, tetapi mengayomi umat, dicintai umat, dia pantas disebut 'Kyai'..."* Ungkapan Gus Mus ini sesuai dengan asal mula kata "Kyai" berupa kata "Ki" dan "Yai". Dalam kebudayaan kita, setiap hal yang memiliki kelebihan dalam sisi spiritual bisa digelari "Ki-Yai" atau "Kyai", tidak hanya sosok manusia, bahkan benda anorganik pun bisa, sebut saja Kyai Pleret si tombak, Kyai Cubruk si keris, atau Kyai Nogo Wilogo dan Kyai Guntur Madu si gong istimewa yang ditabuh saat Sekaten di Yogyakarta. Kata "Kyai" itu sebenarnya, sebagaimana diungkapkan KH Abdullah Faqih Langitan, adalah sinonim dari kata "Sheikh" dalam bahasa Arab. Secara terminologi (istilahi), arti kata "Sheikh" itu sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Bajuri adalah "man balagha rutbatal fadli", yaitu orang-orang yang telah sampai pada derajat keutamaan, karena selain pandai (alim) dalam masalah agama (sekalipun tidak 'allamah atau sangat alim), mereka mengamalkan ilmu itu untuk dirinya sendiri dan mengajarkan kepada murid-muridnya. Penyebutan "Kyai" itu berasal dari inisiatif masyarakat, bukan dari dirinya sendiri atau media massa. Sementara itu, makna kiai atau "Sheikh" dalam pengertian etimologi (lughotan) adalah "man balagha sinnal arbain", yaitu orang-orang yang sudah tua umurnya atau orang-orang yang mempunyai kelebihan, misalnya dalam hal berbicara atau mengobati orang (nyuwuk), tapi tidak pandai dalam masalah agama. Makanya, ada ungkapan begini: “AL-'AALIMU SYAIKHUN WALAW KAANA SHOGHIIRON” (Orang pandai itu "sheikh" walaupun masih kecil/muda).. “ WAL JAAHILU SHOGHIIRUN WALAU KAANA SYAIKHON” (dan orang bodoh itu kecil walaupun sudah tua).. Jadi, gelar "Kyai" sebenarnya memang diperuntukkan bagi mereka yang memiliki kelebihan dalam hal spiritual, dan kemudian diakui masyarakat. Berbeda dengan "Ulama" yang merupakan bentuk jamak dari kata "Alim" (orang yang berilmu), atau istilah kita "Ilmuwan". Gelar "Ulama" ini adalah gelar religius, sedangkan "Kyai" tidak. Kata "Ulama" jelas-jelas disebukan dalam surat Fathir ayat 28, “Innamaa Yakhsyalloohu Min 'Ibaadihil 'Ulamaa”. Dan di ayat itu tersurat secara gamblang bahwa kriteria Ulama yang dimaksud adalah berpengetahuan, kemudian pengetahuannya menjadi sebab dia mengenal serta bertaqwa kepada Allah. Jadi, ulama sudah tentu kyai, sedangkan kyai belum tentu ulama. Sehingga, konsekuensinya, gelar "Kyai" tidaklah seperti pengertian masyarakat dewasa ini. Pada umumnya, masyarakat menilai bahwa "Kyai" adalah gelar bagi orang yang ahli agama Islam. Kesimpulan ini mungkin didapatkan dari keadaan selama ini bahwa yang namanya kyai ya mesti berpengetahuan agama luas, akibat generalisasi obyek. Padahal pengertian Kyai lebih luas dari itu. Kita melihat manusia mengunyah dengan rahang bawah, begitu pula kambing, begitu pula sapi, begitu pula kucing, kemudian kita menyimpulkan bahwa semua makhluk hidup mengunyah dengan rahang bawah. Lalu, ketika kita melihat buaya misalnya, maka kita sadar bahwa kesimpulan kita salah, buktinya buaya mengunyah dengan rahang atas. Nah, kesimpulan macam ini, generalisasi, dalam bahasan ilmu Manthiq disebut metode Istiqro-i yang rentan salah. Nah, ocehan saya ini hanya bermaksud mendukung dhawuh Gus Mus di atas, bahwasanya Tokoh Spiritual Panutan Masyarakat alias "Kyai" adalah mereka yang mengayomi masyarakatnya dengan penuh kasih sayang, pengertian, mengikat namun tidak mengekang. Di kala menegur pun, ibarat memukul, adalah bagaikan pukulan sebiting sapu lidi, menyengat tapi tidak menyakitkan.. Sosok-sosok pengayom ibarat pohon beringin seperti inilah yang masyarakat rindukan. Tidak hanya bergelut di ranah pembahasan kitab dan penetapan hukum-hukum formal agama. Tetapi juga turut membaur bersama masyarakat, memberikan solusi bagi permasalahan mereka. Serta mau dan mampu membimbing masyarakat untuk memanfaatkan potensi yang dimiliki, terutama potensi intelektual dalam bidang apapun, demi kemaslahatan hidup masyarakat itu sendiri. Sehingga, Rahmah (kasih sayang) yang dimaksudkan tidak hanya berrotasi di lingkup manusia sebagai naas, basyar, maupun insan, tetapi juga melingkupi orbit yang jauh lebih luas yakni Alam Semesta... Rahmatan lil 'Aalamiin…

Semua Amalan NU Ada Dalilnya

Warga NU harus bangga dan mantap dengan semua amalan atau tradisi keagamaan yang dijalankan. Tak perlu menghiraukan kicauan kelompok yang gemar menuding bid’ah karena semua amalan dan tradisi itu ada dalilnya.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menyampaikan hal itu di hadapan mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta dalam kegiatan Kuliah Umum di Aula gedung PBNU, Kamis (17/10).
Kang Said, memulai penjelasan dengan membahas bab Sunnah Nabi. Dijelaskannya, sunnah itu terbagi menjadi 3 bagian, yaitu sunnah qauliyah (ucapan), sunnah fi`liyah (perilaku/pekerjaan) dan sunnah taqririyyah (pembenaran).
Ia menekankan penjelasan tentang sunnah taqririyah. “Kalau yang melakukan itu orang lain dan telah mendapatkan pembenaran dari Rasulullah, mendapat legitimasi, maka menjadi sunnah taqririyyah,” jelasnya.
“Contoh, sahabat Bilal setelah wudlu melakukan shalat dua rakaat lalu  Nabi malah tanya itu, shalat apa Bilal? Shalat ba’diyah wudu. Lalu kata Nabi, ya kamu benar, ayo kita menjalankan itu,” papar Kang Said di hadapan ratusan mahasiswa STAINU Jakarta.
Contoh yang paling penting, lanjut Kang Said, banyak sahabat yang memberikan pujian dan sanjungan kepada Rasulullah, lalu Rasulullah membenarkan hal itu, padahal Rasulullah tidak pernah memuji diri sendiri dan tidak pernah memberikan perintah itu. Ketika para sahabat memuji dan menyanjung Rasulullah, beliau membenarkan, seandainya hal itu tidak benar, pasti Rasulullah melarangnya.
“Contoh ada seorang penyair namanya Ka`ab Bin Zuhair memuji-muji Nabi setinggi langit, engkau orang hebat, engkau orang mulia, orang engkau orang yang gagah berani, engkau orang luar biasa,” tukas Kang Sadi sambil membaca syi`irnya Ka`ab Bin Zuhair
Kalau memuji-muji itu salah, tambah Kang Said, itu pasti dilarang. Rasulullah tidak melarangnya malahan Ka`ab Bin Zuhair diberi kenang-kenangan berupa selimut bergaris-garis (burdah) yang sedang dipakai oleh Rasulullah.
“Kalau nggak percaya, selimut itu masih ada di Museum Topkapi, Istambul, Turki, fakta masih ada, saya dua kali sudah lihat, jadi memuji-muji Nabi Muhammad, baca Diba, Barjanzi, Syarfulanam, Simtudduror, Burdah lilbusaeri, itu sunnah, bukan bid`ah!” tegasnya
Untuk memantapkan penjelasan sunnah taqririyah ini, Kang Said melanjutkannya dengan persoalan tawasul. Diceritakan, Suku Mudhar sedang dilanda paceklik selama 7 tahun karena tidak ada air, tidak ada gandum, untuk mengatasi hal itu tokoh-tokoh Suku Mudhar yang dipimpin oleh Labid Bin Rabi`ah datang menghadap kepada Rasulullah di Madinah, Rasulullah pun bertanya kepada rombongan ini.
“Ada apa datang kemari? Ataina, kami datang kepadamu, litarhamana, agar Engkau merahmati kami, jadi orang ini minta rahmat sama Rasulullah, bukan sama Allah. Kalau salah, pasti dilarang, enggak tuh, enggak dilarang,” tegas Kang Said seraya membaca syiiran Arab yang dibawakan oleh suku Mudhar tersebut.
Setelah mendapat penjelasan dari suku Mudhar ini, Nabi Muhammad kemudian berdoa kepada Allah agar segera menurunkan hujan di daerah suku Mudhar itu, hujan yang membawa rezeki dan berkah, bukan hujan banjir dan membawa malapetaka. Tidak lama kemudian rombongan suku Mudhar pulang, sebelum mereka sampai di  rumahnya masing-masing, di sana sudah turun hujan.
“Kalau mau tahu sejarah ini baca Al-Kamil fittarikh lil imam ibnil Atsir, 13 jilid, Tarikhul umam walmuluk Abu Ja`far Ibnu Jarir Athabari, 10 jilid, Tarikhul hadhar Islamiyah, Prof. Dr. Ahmad Syalabi, 9 jilid, Tarikh Ibnu Khaldun, 14 Jilid, baru tahu cerita ini, maka minta pada Allah lewat Nabi Muhammad itu sunnah, bukan bid`ah,” imbuhnya.
Untuk itu, Kang Said, menegaskan kepada para mahasiswa untuk tetap bangga menjadi warga NU, karena semua amalan-amalan warga NU memiliki dalil-dalil yang kuat.

Kamis, 17 Oktober 2013

WANITA PENGGODA YANG BERTAUBAT

Wanita penggoda yang bertaubat

يُحكى: أن قوما أمروا امرأة ذات جمال بارع أن تتعرض للربيع بن خثيم فلعلها تفتنه، وجعلوا لها إن فعلت ذلك ألف درهم، فلبست أحسن ما قدرت عليه من الثياب، وتطيبت بأطيب ما قدرت عليه، ثم تعرضت له حين خرج من مسجده، فنظر إليها فراعه أمرها،
Diceritakan : Suatu kaum memerintahkan seorang wanita cantik jelita untuk menggoda Rabi' bin khutsaim, dengan harapan wanita itu dapat menggodanya. Kaum itu menyediakan hadiah sebanyak seribu Dirham kepada wanita itu, jika ia berhasil melakukan hal tersebut. Ia pun memakai pakaian yang paling indah dan menggunakan parfum yang paling harum. Kemudian mulailah ia menggoda Rabi' bin Khutsaim saat Rabi' keluar dari Mesjid. Rabi' pun memandangnya dengan tetap waspada dari tipu daya wanita itu.

فأقبلت عليه وهي سافرة، فقال لها الربيع: كيف بك لو قد نزلت الحمى بجسمك، فغيرت ما أرى من لونك، وبهجتك؟ أم كيف بك لو قد نزل بك ملك الموت، فقطع منك حبل الوتين؟ أم كيف بك لو قد ساءلك منكر ونكير؟ فصرخت صرخة فسقطت مغشيا عليها، فوالله لقد أفاقت وبلغت من عبادة ربها
Wanita itu lalu mendekati Rabi'. Rabi' kemudian berkata kepadanya, "Apa yang akan terjadi denganmu jika kamu terkena demam yang dapat menjadikan warna kulit dan wajahmu berubah (buruk)? Apa yang akan terjadi denganmu jika malaikat Maut datang mencabut nyawamu? Apa yang akan kamu lakukan jika malaikat Mungkar dan Nakir bertanya kepadamu?"
Wanita itu berteriak histeris dan jatuh pingsan. Setelah sadar ia pun bertobat dan beribadah kepada Tuhannya. 

Sumber :
صفوة الصفوة - عبد الرحمن بن علي بن محمد أبو الفرج (3/ 191).
Shofwatus Shofwah - Abdurrahman bin Ali bin Muhammad Abu Farraj : 3/191

KISAH SYEKH BARSHISHA (AHLI IBADAH YANG SU'UL KHOTIMAH)

Bismillahirrohmanirrohim......

قال ابن عباس في قوله تعالى : كمثل الشيطان : كان راهب في الفترة يقال له : برصيصا ; قد تعبد في صومعته سبعين سنة ، لم يعص الله فيها طرفة عين ، حتى أعيا إبليس ، فجمع إبليس مردة الشياطين فقال : ألا أجد منكم من يكفيني أمر برصيصا ؟ فقال الأبيض ، وهو صاحب الأنبياء ، وهو الذي قصد النبي صلى الله عليه وسلم في صورة جبريل ليوسوس إليه على وجه الوحي ، فجاء جبريل فدخل بينهما ، ثم دفعه بيده حتى وقع بأقصى الهند فذلك قوله تعالى : ذي قوة عند ذي العرش مكين فقال : أنا [ ص: 35 ] أكفيكه ; فانطلق فتزيا بزي الرهبان ، وحلق وسط رأسه حتى أتى صومعة برصيصا فناداه فلم يجبه ; وكان لا ينفتل من صلاته إلا في كل عشرة أيام يوما ، ولا يفطر إلا في كل عشرة أيام ; وكان يواصل العشرة الأيام والعشرين والأكثر ; فلما رأى الأبيض أنه لا يجيبه أقبل على العبادة في أصل صومعته ; فلما انفتل برصيصا من صلاته ، رأى الأبيض قائما يصلي في هيئة حسنة من هيئة الرهبان ; فندم حين لم يجبه ، فقال : ما حاجتك ؟ فقال : أن أكون معك ، فأتأدب بأدبك ، وأقتبس من عملك ، ونجتمع على العبادة ; فقال : إني في شغل عنك ; ثم أقبل على صلاته ; وأقبل الأبيض أيضا على الصلاة ; فلما رأى برصيصا شدة اجتهاده وعبادته قال له : ما حاجتك ؟ فقال : أن تأذن لي فأرتفع إليك . فأذن له فأقام الأبيض معه حولا لا يفطر إلا في كل أربعين يوما يوما واحدا ، ولا ينفتل من صلاته إلا في كل أربعين يوما ، وربما مد إلى الثمانين ; فلما رأى برصيصا اجتهاده تقاصرت إليه نفسه . ثم قال الأبيض : عندي دعوات يشفي الله بها السقيم والمبتلى والمجنون ; فعلمه إياها . ثم جاء إلى إبليس فقال : قد والله أهلكت الرجل . ثم تعرض لرجل فخنقه ، ثم قال لأهله - وقد تصور في صورة الآدميين - : إن بصاحبكم جنونا أفأطبه ؟ قالوا : نعم . فقال : لا أقوى على جنيته ، ولكن اذهبوا به إلى برصيصا ، فإن عنده اسم الله الأعظم الذي إذا سئل به أعطى ، وإذا دعي به أجاب ; فجاءوه فدعا بتلك الدعوات ، فذهب عنه الشيطان . ثم جعل الأبيض يفعل بالناس ذلك ويرشدهم إلى برصيصا فيعافون . فانطلق إلى جارية من بنات الملوك بين ثلاثة إخوة ، وكان أبوهم ملكا فمات واستخلف أخاه ، وكان عمها ملكا في بني إسرائيل فعذبها وخنقها . ثم جاء إليهم في صورة رجل متطبب ليعالجها فقال : إن شيطانها مارد لا يطاق ، ولكن اذهبوا بها إلى برصيصا فدعوها عنده ، فإذا جاء شيطانها دعا لها فبرئت ; فقالوا : لا يجيبنا إلى هذا ; قال : فابنوا صومعة في جانب صومعته ثم ضعوها فيها ، وقولوا : هي أمانة عندك فاحتسب فيها . فسألوه ذلك فأبى ، فبنوا صومعة ووضعوا فيها الجارية ; فلما انفتل من صلاته عاين الجارية وما بها من الجمال فأسقط في يده ، فجاءها الشيطان فخنقها فانفتل من صلاته ودعا لها فذهب عنها الشيطان ، ثم أقبل على صلاته فجاءها الشيطان فخنقها . وكان يكشف عنها ويتعرض بها لبرصيصا ، ثم جاءه الشيطان فقال : ويحك ! واقعها ، فما تجد مثلها ثم تتوب بعد ذلك . فلم يزل به حتى واقعها فحملت وظهر حملها . فقال له الشيطان : ويحك ! قد افتضحت . فهل لك أن تقتلها ثم تتوب فلا تفتضح ، فإن جاءوك وسألوك فقل جاءها شيطانها فذهب بها . فقتلها برصيصا ودفنها ليلا ; فأخذ الشيطان طرف ثوبها حتى بقي خارجا من التراب ; ورجع برصيصا إلى صلاته . ثم جاء الشيطان إلى إخوتها في المنام فقال : إن برصيصا فعل بأختكم كذا وكذا ، وقتلها ودفنها في جبل كذا وكذا ; فاستعظموا [ ص: 36 ] ذلك وقالوا لبرصيصا : ما فعلت أختنا ؟ فقال : ذهب بها شيطانها ; فصدقوه وانصرفوا . ثم جاءهم الشيطان في المنام وقال : إنها مدفونة في موضع كذا وكذا ، وإن طرف ردائها خارج من التراب ; فانطلقوا فوجدوها ، فهدموا صومعته وأنزلوه وخنقوه ، وحملوه إلى الملك فأقر على نفسه فأمر بقتله . فلما صلب قال الشيطان : أتعرفني ؟ قال : لا والله ، قال : أنا صاحبك الذي علمتك الدعوات ، أما اتقيت الله أما استحيت وأنت أعبد بني إسرائيل ثم لم يكفك صنيعك حتى فضحت نفسك ، وأقررت عليها وفضحت أشباهك من الناس ، فإن مت على هذه الحالة لم يفلح أحد من نظرائك بعدك . فقال : كيف أصنع ؟ قال : تطيعني في خصلة واحدة وأنجيك منهم وآخذ بأعينهم . قال : وما ذاك ؟ قال : تسجد لي سجدة واحدة ; فقال : أنا أفعل ; فسجد له من دون الله . فقال : يا برصيصا ، هذا أردت منك ; كان عاقبة أمرك أن كفرت بربك ، إني بريء منك ، إني أخاف الله رب العالمين

Terjemahan Bebas

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menceritakan, ada seorang ahli zuhud bernama Barshisha. Dia beribadah dalam kuil selama tujuh puluh tahun yang tidak pernah bermaksiat sedikitpun. Lalu iblis ingin menggoda dengan ilmu hilah (rekayasa), maka pada suatu saat dia mengumpulkan para pembesar setan dan berkata, “Adakah di antara kalian yang mampu merusak Barshisha?” Setan putih berkata kepada Iblis, “Saya sanggup merusaknya.” Lalu ia berangkat ke tempat Barshisha dengan mengenakan pakaian ulama dan mengenakan sesuatu di atas kepalanya, lalu datang ke kuil Barshisha dan memanggilnya. Tetapi dia tidak menjawabnya.
Barshisha tidak berhenti dari beribadah kecuali setiap sepuluh hari sekali. Tidak pula dia berbuka puasa, kecuali setelah berlalu sepuluh hari. Tatkala setan putih tak mampu mengambil perhatian Barshisha, maka dia berpura-pura shalat dan beribadah di dalam kuil itu. Maka setelah Barshisha selesai dari shalat dan ibadahnya, dan ingin beranjak keluar, dia melihat setan putih itu tampil seperti ulama yang sedang shalat dan beribadah dengan bentuk yang sangat bagus. Lalu Barshisha bertanya kepadanya, “Kamu tadi memanggilku sementara aku sedang sibuk shalat, apa yang kamu perlukan?”
Dia menjawab, “Saya ingin bersamamu untuk belajar ilmu dan menirukan amalmu serta kita bersama beribadah sehingga aku bisa mendoakanmu dan kamu juga mendoakanku.”
Barshisha berkata, “Saya tidak bisa bersamamu, jika kamu seorang mukmin, maka kamu mendapatkan bagian dari doaku yang kutujukan bagi semua orang mukmin.” Kemudian dia beranjak shalat dan meninggalkan setan itu. Maka setan itu pun beranjak shalat dan setelah itu Barshisha tidak menoleh kepadanya selama empat puluh hari.
Setelah Barshisha selesai shalat, dia melihat setan sedang berdiri shalat. Tatkala dia melihat kesungguhannya, maka dia berkata kepadanya, “Apa yang kamu butuhkan?” Setan menjawab, “Saya ingin kamu memberi izin kepadaku untuk naik ke kuil bersamamu.” Lalu dia memberi izin naik di kuil dan beribadah bersama Barshisha beberapa waktu, tidak berbuka dan tidak berhenti dari ibadah kecuali setelah empat puluh hari bahkan terkadang sampai delapan puluh hari. Maka tatkala melihat kesungguhan dia dalam beribadah, Barshisha merasa rendah hati berada di hadapannya dan kagum terhadap kehebatan ibadah setan putih itu. Dan setelah lama beribadah bersama Barshisha, setan berkata kepadanya, “Saya ingin pergi karena saya memiliki teman selain kamu. Saya mendapat berita kamu lebih baik daripadanya, ternyata saya mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan perkiraan saya sebelumnya.”
Kemudian Barshisha merasakan sesuatu yang besar dalam batinnya sehingga tidak mau berpisah dengannya karena dianggap lebih baik ibadahnya daripada dirinya. Ketika setan hendak meninggalkannya, Setan berkata kepada Barshisha, “Sesungguhnya aku mempunyai beberapa doa yang akan aku ajarkan kepadamu supaya kamu dapat beramal dengannya, karena doa itu lebih baik dari apa yang engkau kerjakan. Dengan doa ini Allah akan menyembuhkan orang sakit dan menyembuhkan orang gila.” Barshisha menjawab, “Aku tidak ingin menjadi tabib atau menjadi orang yang dapat menyembuhkan orang lain, karena hal ini akan menyibukkanku dari ibadah. Aku khawatir kalau manusia akan mengetahui hal ini, maka mereka akan menggangguku dalam peribadatanku.” Namun, setan tetap saja mengajarinya. Kemudian kembalilah setan kepada Iblis, lalu Iblis berkata, “Demi Allah! Engkau telah menghancurkan lelaki itu.” Iblis pun berkata lagi, “Pergilah wahai Abyadh! (setan putih)!”
Ia pergi kepada seorang lelaki lalu ia mencekiknya, kemudian ia menjelma seorang tabib lalu berkata kepada keluarganya, “Sesungguhnya anakmu ini dalam keadaan gila, apakah kamu ingin ia diobati?” Mereka menjawab, “Ya.” Ia berkata, “Namun aku tidak mampu mengobati penyakit ini, tetapi akan aku tunjukkan kepada seseorang yang apabila dia berdoa kepada Allah, maka sembuhlah ia. Pergilah kamu kepada Barshisha, sesungguhnya dia memiliki beberapa doa yang apabila dia berdoa kepada Allah niscaya akan dikabulkan.” Mereka pun pergi kepada Barshisha dan meminta untuk diobati. Barshisha pun berdoa dengan doa yang telah diajarkan setan putih tadi, lalu setan pergi meninggalkan anak itu.
Demikianlah, setan putih terus mengganggu manusia lain dan menyuruhnya untuk berobat kepada Barshisha dan meminta doa kepadanya untuk kesembuhan (dengan tujuan untuk mengganggu peribadatan Barshisha).
Kemudian setan putih itu mengganggu seorang gadis Bani Israil yang memiliki tiga saudara laki-laki. Dahulu bapak mereka adalah raja Bani Israil, setelah bapaknya meninggal, ia digantikan saudara laki-lakinya, yaitu paman gadis itu. Setan menyiksa dan mencekik gadis tersebut. Lalu setan datang kepada keluarga tersebut dengan menjelma menjadi seorang dukun. Ia bertanya kepada saudara-saudaranya, “Inginkah kalian agar saudarimu itu aku obati?” Mereka menjawab, “Ya.” Ia berkata, “Penyakit yang menimpa saudarimu itu sangat keras yang tidak mampu aku mengobatinya, namun aku akan menunjukkan kepadamu seorang yang dapat dipercaya, yang mana engkau dapat meminta doa kepadanya. Apabila ilmu ghaibnya datang, niscaya dia akan berdoa untuk kesembuhannya itu, hingga nanti engkau akan yakin bahwa saudarimu akan sehat kembali dan hilang penyakitnya.”
Mereka berkata, “Siapakah orang itu?” Setan menjawab, “Barshisha.” Kemudian mereka bertanya, “Bagaimana kami dapat menghadapnya, sedangkan ia orang yang tinggi martabatnya dalam ibadah?” Setan menjawab, “Hendaklah kamu berada disamping peribadatannya hingga mendekatinya, lalu engkau menemuinya. Kalau engkau tidak menemuinya, maka tinggalkanlah saudarimu itu disampingnya. Kemudian katakanlah kepadanya, saudariku ini sebagai amanah bagimu, maka hendaklah engkau obati dia.”
Mereka pun menuruti nasihat setan putih untuk pergi ke tempat Barshisha itu, kemudian dia meminta Barshisha untuk mengobatinya. Barshisha pun enggan dan menolak permintaan mereka. Namun mereka berdiam sementara di dekat kuilnya sebagaimana yang diperintahkan oleh setan putih, lalu meninggalkan saudarinya itu di dekat kuilnya, seraya berkata, “Ini saudari kami.” Setelah selesai dalam shalatnya, ia menoleh kepada gadis yang begitu cantik itu, kemudian ia meninggalkannya walaupun tersentuh dalam hatinya sesuatu yang lain.
Datanglah setan mengganggu gadis itu dengan mencekiknya, lalu Barshisha berdoa dengan doa yang diajarkan setan dahulu. Setan itupun keluar dan pergi dari gadis itu. Kemudian dia mulai shalat lagi, setan itu datang kembali dan mengganggu sang gadis. Maka tanpa sengaja tubuh gadis itu terbuka dan setan membisikkan Barshisha, “Gaulilah gadis itu dan setelah itu kamu bisa bertaubat.” Dan setan pun berhasil, Barshisha menggauli gadis tersebut sehingga gadis itu hamil dan terlihat mengandung.
Kemudian setan berkata kepada Barshisha, “Celaka kamu Barshisha, bila perbuatanmu itu terungkap. Maukah kamu membunuhnya dan setelah itu kamu bisa bertaubat. Dan apabila keluarganya menanyakan, maka katakan pada mereka bahwa gadis itu dibawa kabur oleh setan yang telah mengganggunya dan kamu tidak kuasa melawannya.” Maka Barshisha masuk ke tempat gadis itu dan membunuhnya, lalu dikuburkan di lerang gunung. Pada saat Barshisha mengubur gadis itu, setan datang dan menarik ujung pakaian gadis itu sehingga tidak tertimbun tanah dan nampak. Kemudian Barshisha kembali ke kuil dan beribadah, tiba-tiba ketiga saudara gadis itu datang untuk menjenguk adik mereka. Mereka menanyakan keadaannya, “Wahai Barshisha, apa yang telah kamu lakukan terhadap adik kami?” Dia menjawab, “Setan datang dan aku tidak mampu melawannya.” Maka mereka percaya dan pulang. Pada saat malam hari dalam suasana duka, setan datang dalam mimpi saudara gadis itu yang paling besar dan memberitahukan kejadian yang menimpa adiknya. Namun, orang tersebut tidak mempercayai mimpi itu dan meyakininya berasal dari setan. Setelah tiga malam berturut-turut datang dalam mimpi saudara paling besar tadi, namun tidak dihiraukan maka setan mendatangi kakak yang kedua dan ketiga, memberitahukan seperti yang disampaikan kepada kakak yang pertama. Kemudian ketiganya saling menceritakan apa yang dilihat dalam mimpi mereka dan ternyata sama.
Pergilah mereka kepada Barshisha, lalu bertanya, “Apa yang engkau kerjakan dengan saudari kami?” Ia menjawab, “Bukankah telah aku beritahukan tentang hal itu, yakni dia dibawa setan?” Mereka merasa malu dengannya, lalu mereka mengatakan, “Demi Allah kami tidak menuduhmu,” Mereka pun pergi.
Lalu setan mendatangi mereka dan memberitahukan tempat dikuburnya adik mereka dengan ujung pakaiannya yang masih kelihatan. Lalu mereka pergi ke tempat yang ditunjukkan setan dan mendapati apa yang diberitakan olehnya.
Kemudian mereka pulang kepada keluarga dan familinya, lalu mereka bersama pasukan dan para pemuda mendatangi kuil Barshisha dengan membawa linggis dan kapak. Mereka menghancurkan kuil Barshisha dan menangkapnya lalu dibawa di hadapan raja. Setan kembali membisiki Barshisha, “Kamu membunuhnya kemudian kamu ingkar, akuilah perbuatan itu,” sehingga akhirnya Barshisha mengakui perbuatannya. Lalu sang raja menjatuhkan hukuman mati kepadanya dengan disalib di kayu.
Pada saat disalib, setan putih mendatanginya seraya berkata, “Apakah engkau mengenalku?” Barshisha menjawab, “Tidak.” Setan berkata lagi, “Akulah temanmu yang telah mengajarkanmu beberapa doa, lalu doa itu dikabulkan bagimu. Tapi alangkah sayangnya tatkala engkau diberi amanah, engkaupun berkhianat kepada keluarganya. Aku menyangka engkau adalah orang yang paling kuat beribadah diantara Bani Israil, bukankah engkau masih hidup?”
Iapun terus menggodanya, kemudian dia berkata lagi kepada Barshisha, “Tidaklah cukup dengan kesalahan yang engkau perbuat hingga engkau telah menyiksa dirimu. Jiwamu tertawa, demikian pula kamu telah ditertawakan oleh kebanyakan manusia. Apabila engkau mati dalam keadaan seperti ini, maka kamu tidak akan mendapatkan keberuntungan.” Barshisha menjawab, “Jadi apa yang harus aku perbuat?” Setan putih mengatakan, “Maukah kamu aku beri kesempatan, sehingga aku mampu menyelamatkanmu dari keadaan seperti ini. Aku akan memalingkan mata pasukan tentara itu, dan aku akan melepaskanmu dari tempat ini.”
Lalu Barshisha mengatakan, “Apa perbuatan itu?” Setan putih mengatakan, “Engkau harus sujud kepadaku.” Barshisha mengatakan, “Aku akan melakukannya.” Maka Barshisha pun sujud kepadanya. Kemudian setan putih berkata, “Hai Barshisha! Inilah yang aku kehendaki darimu sebagai kesudahan dari ibadah-ibadahmu, kamu telah mengingkari Tuhanmu. Sekarang aku melepaskan diri dari apa yang engkau perbuat, sesungguhnya aku takut kepada Allah Rabb semesta alam.”
(Kitab Tafsir Imam Al Qurthubi dalam tafsir QS. Al-Hasyr: 16-17 di Juz 18)

KISAH PANGGANG AYAM & PANGGANG MANUSIA

Seorang lelaki soleh melewati seorang yang sedang memanggang daging, lalu ia menangis.

Orang itu bertanya: kenapa engkau menangis? apakah engkau butuh daging?

Orang soleh itu menjawab: tidak... tetapi aku menangisi anak Adam. Binatang memasuki api dalam keadaan mati, sementara anak Adam memasuki api (neraka) dalam keadaan hidup."

Wahai Rabb... jasad kami tidak kuat menahan api neraka...

Ya Allah, haramkanlah api neraka atas jasad kami dan jasad setiap orang yang mengucapkan "aamiin"

Rabu, 16 Oktober 2013

Sayyidina Ali Jual-Beli dengan Dua Malaikat

Kisah ini diriwayatkan Ja’far bin Muhammad, yang memiliki sanad dari ayahnya, lalu dari kakeknya. Suatu ketika, cerita kakek Ja’far, Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramaLlahu wajhah mengunjungi rumahnya selepas silaturahim kepada Rasulullah.

Di rumah itu Ali menjumpai istrinya, Sayyidah Fathimah, sedang duduk memintal, sementara Salman al-Farisi berada di hadapannya tengah menggelar wol.

“Wahai perempuan mulia, adakah makanan yang bisa kau berikan kepada suamimu ini?” tanya Ali kepada istrinya.

“Demi Allah, aku tidak mempunyai apapun. Hanya enam dirham ini, ongkos dari Salman karena aku telah memintal wol,” jawabnya. “Uang ini ingin aku belikan makanan untuk (anak kita) Hasan dan Husain.”

“Bawa kemari uang itu.” Fathimah segera memberikannya dan Ali pun keluar membeli makanan.

Tiba-tiba ia bertemu seorang laki-laki yang berdiri sambil berujar, “Siapa yang ingin memberikan hutang (karena) Allah yang maha menguasai dan mencukupi?” Sayyidina Ali mendekat dan langsung memberikan enam dirham di tangannya kepada lelaki tersebut.

Fatimah menangis saat mengetahui suaminya pulang dengan tangan kosong. Sayyidina Ali hanya bisa menjelaskan peristiwa secara apa adanya.

“Baiklah,” kata Fathimah, tanda bahwa ia menerima keputusan dan tindakan suaminya.

Sekali lagi, Sayyidina Ali bergegas keluar. Kali ini bukan untuk mencari makanan melainkan mengunjungi Rasulullah. Di tengah jalan seorang Badui yang sedang menuntun unta menyapanya. “Hai Ali, belilah unta ini dariku.”

”Aku sudah tak punya uang sepeser pun.”

“Ah, kau bisa bayar nanti.”

“Berapa?”

“Seratus dirham.”

Sayyidina Ali sepakat membeli unta itu meskipun dengan cara hutang. Sesaat kemudian, tanpa disangka, sepupu Nabi ini berjumpa dengan orang Badui lainnya.

“Apakah unta ini kau jual?”

“Benar,” jawab Ali.

“Berapa?”

“Tiga ratus dirham.”

Si Badui membayarnya kontan, dan unta pun sah menjadi tunggangan barunya. Ali segara pulang kepada istrinya. Wajah Fatimah kali ini tampak berseri menunggu penjelasan Sayyidina Ali atas kejadian yang baru saja dialami.

“Baiklah,” kata Fatimah selepas mendengarkan cerita suaminya.

Ali bertekad menghadap Rasulullah. Saat kaki memasuki pintu masjid, sambutan hangat langsung datang dari Rasulullah. Nabi melempar senyum dan salam, lalu bertanya, “Hai Ali, kau yang akan memberiku kabar, atau aku yang akan memberimu kabar?”

“Sebaiknya Engkau, ya Rasulullah, yang memberi kabar kepadaku.”

“Tahukah kamu, siapa orang Badui yang menjual unta kepadamu dan orang Badui yang membeli unta darimu?”

“Allah dan Rasul-Nya tentu lebih tahu,” sahut Ali memasrahkan jawaban.

“Sangat beruntung kau, wahai Ali. Kau telah memberi pinjaman karena Allah sebesar enam dirham, dan Allah pun telah memberimu tiga ratus dirham, 50 kali lipat dari tiap dirham. Badui yang pertama adalah malaikat Jibril, sedangkan Badui yang kedua adalah malaikat Israfil (dalam riwayat lain, malaikat Mikail).”

Kisah yang bisa kita baca dari kitab al-Aqthaf ad-Daniyah ini menggambarkan betapa ketulusan Ali dalam menolong sesama telah membuahkan balasan berlipat, bahkan dengan cara dan hasil di luar dugaannya.

Keluasan hati istrinya, Fathimah, untuk menerima keterbatasan juga melengkapi kisah kebersahajaan hidup keluarga ini. Dukungan penuh dari Fathimah telah menguatkan sang suami untuk tetap bermanfaat bagi orang lain, meski untuk sementara waktu mengabaikan kepentingannya sendiri: makan.

Mbah Wahab dan Mbah Bisri Tentang Kurban 1 Sapi

Cerita ini mengisahkan tentang perbedaan jawaban antara dua tokoh pendiri NU asal Jombang, yakni KH Bisri Syansuri dan KH Abdul Wahab Hasbullah ketika ditanya seseorang tentang bolehkah berkurban 1 sapi tapi untuk 8 orang.

Mbah Bisri dan Mbah Wahab adalah teman seperjuangan sewaktu belajar di Makkah. Selain itu, Mbah Bisri adalah adik ipar Mbah Wahab sendiri.

Sudah bukan rahasia lagi, meski akrab, keduanya sering berbeda pendapat dalam menentukan suatu perkara. Bahkan keduanya pernah menggebrak meja dalam sebuah forum musyawarah karena perbedaan tersebut. Tapi selesai musyawarah, mereka kembali rukun selayak kakak adik.

Orang itu bertanya pada Mbah Bisri terlebih dahulu, "Yai, bolehkah saya berkurban 1 sapi untuk 8 orang?"

Mbah Bisri menjawab, "Tidak boleh, 1 sapi itu hanya untuk 7 orang, yang 1 nanti kurban pakai kambing." Ketentuan fiqih memang mengajarkan sebagaimana yang diungkapkan Mbah Bisri.

Mbah Bisri memang dikenal sebagai orang yang teguh memegang ilmu fiqih, sampai-sampai cucunya sendiri, KH Abdurraman Wahid (Gus Dur) dan juga Rais 'Aam PBNU KH Sahal Mahfudz, menyebut beliau sebagai "Pecinta Fiqih Sepanjang Hayat".

Setelah mendengar jawaban dari Mbah Bisri orang itu merasa belum puas. “Bagaimana mungkin satu keluarga yang 7 naik sapi tapi yang 1 naik kambing. Alangkah kasihan yang 1 orang itu,” pikirnya.

Akhirnya orang itu bertanya pada Mbah Wahab dengan pertanyaan yang sama, seperti yang diajukan pada Mbah Bisri.

Lalu dijawab oleh Mbah Wahab, "Boleh saja."

"Tapi katannya 1 sapi itu hanya utuk 7 orang Yai?" orang itu bertanya lagi.

"Iya, memang untuk 7 orang," lalu beliau berbalik bertanya, "shahibul qurban yang terakhir itu umurnya berapa?"

"Masih kecil, Yai."

"Ya, kalau begitu kan nanti kambingnya itu untuk pijakan (ancek-ancek, dalam bahasa jawa) anak yang masih kecil itu, kalau dia mau naik sapi kan kasihan dia belum sampai jadi harus ada pijakannya dulu".

Mbah Wahab memang dikenal sebagai kiai yang diplomatis, tapi bukan berarti beliau tidak ahli fiqih. Jawaban dari Mbah Bisri dan Mbah Wahab sebenarnya intinya sama, cuma mereka berbeda cara dalam menghadapi umat.

Perbedaan cara bersikap antara Mbah Biri dan Mbah Wahab menunjukkan adanya perbedaan karakter kepribadian di antara kedua ulama kharismatik ini. Kepekaan membaca psikologi orang dan kepandaian diplomasi Mbah Wahab telah menghadirkan jawaban yang lebih menentramkan dan “rasional” menurut ukuran lawan bicaranya, tanpa sedikit pun menyimpang dari aturan fiqih yang ada. Semoga Allah melimpahkan rahmat pada keduanya. Aamin...

Gus Mus: Islam Kita Bukan ‘Islam Saudi Arabia’

Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH A Mustofa Bisri kembali menegaskan perbedaan antara muslimin Indonesia dan Arab Saudi. Meski keduanya menganut agama yang sama tapi masing-masing memiliki kekhasan budaya.

“Islam kita itu ya Islam Indonesia bukan Islam Saudi Arabia, bukan berarti kalau tidak pakai jubah dan sorban Islam kita tidak diterima,” katanya saat membuka Pameran Seni Rupa Nasirun di Bentara Budaya Yogyakarta, Selasa (2/10).

Kiai yang akrab disapa Gus Mus ini berpesan kepada umat Islam di Indonesia untuk meneladani Nabi Muhammad SAW secara tepat. Menurut dia, Nabi termasuk pribadi yang menghargai tradisi setempat dan berperangai menyenangkan.

“Rasulullah SAW memakai jubah, sorban dan berjenggot ya karena tradisi orang Arab seperti itu. Abu Jahal juga berpakaian yang sama, berjenggot pula. Bedanya kalau Rasul wajahnya mesem (sarat senyum) karena menghargai tradisi setempat. Nah, kalau Abu Jahal wajahnya kereng (pemarah). Silahkan mau pilih yang mana?” katanya disambut gelak tawa hadirin.

Gus Mus membuka pameran yang hadir dalam bentuk tabligh seni Rubuh Rubuh Gedhang itu dengan menabuh beduk. Ia menilai, acara sejenis seharusnya diadakan bukan hanya di Yogyakarta namun juga di seluruh penjuru Nusantara. Hal ini sebagai wujud kecintaan masyarakat pribumi terhadap tradisi dan budaya di Tanah Air.

Turut mengisi pada acara ini dalang Wayang Suket Slamet Gundono, Yusuf Chudlori (Gus Yusuf) Tegalrejo, Romo Sindunata, Kirun, Marwoto, Den baguse Ngarso, Djadug dan lainya. 

Sumber : nu.or.id

Senin, 14 Oktober 2013

Enam Amalan Sunnah di Idul Adha

Idul Fitri dan Idul Adha datang sekali dalam satu tahun. Keduanya adalah hari besar Islam dengan fadhilah yang berbeda. Masing-masing memiliki keutamaannya sendiri dan juga memeiliki kesunnahan yang berbeda. 
Ibadah sunnah tahunan ini mempunyai ciri khas masing-masing, Hari Raya Idul Fitri misalnya ditengarai dengan saling bermaaf-maafan, berkunjung kesanak family dan para kerabat. Berbeda dengan Hari Raya Idul Adha yang dikenal dengan Hari Raya Kurban atau Hari Raya Haji, karena pada hari itu kegiatan kurban dan ibadah haji dilaksanakan.
Sebagai ibadah tahunan, maka hendaknya kita laksanakan dengan sesempurna mungkin dengan menjalankan semua amalan-amalan sunnah pada hari tersebut dengan niat tulus dan mengharap pahala dari Allah SWT. Berikut kesunahan yang dianjurkan oleh para ulama’,
Pertama, Mengumandangkan takbir di Masjid-masjid, Mushalla dan rumah-rumah pada malam hari raya, dimulai dari terbenamnya matahari sampai imam naik ke mimbar untuk berkhutbah pada hari raya idul fitri dan sampai hari terakhir tanggal 13 Dzulhijjah pada hari tasyriq. Karena pada malam tersebut kita dianjurkan untuk mengagungkan , memuliakan dan menghidupkannnya, anjuran ini sebagaimana terdapat dalam Kitab Raudlatut Thalibin
فَيُسْتَحَبُّ التَّكْبِيرُ الْمُرْسَلُ بِغُرُوبِ الشَّمْسِ فِي الْعِيدَيْنِ جَمِيعًا، وَيُسْتَحَبُّ اسْتِحْبَابًا مُتَأَكَّدًا، إِحْيَاءُ لَيْلَتَيِ الْعِيدِ بِالْعِبَادَةِ
 Disunahkan mengumandangkan takbir pada malam hari raya mulai terbenamnya matahari, dan sangat disunahkan juga menghidupkan malam hari raya tersebut dengan beribadah.
Sebagian fuqaha’ ada yang memberi keterangan tentang beribadah dimalam hari raya, yaitu dengan melaksanakan shalat maghrib dan isya’ berjama’ah, sampai dengan melaksanakan shalat subuh berjama’ah.
Kedua, mandi untuk shalat Id sebelum berangkat ke masjid, hal ini boleh dilakukan mulai pertengahan malam, sebelum waktu subuh, dan yang lebih utama adalah sesudah waktu subuh, dikarenakan tujuan dari mandi adalah membersihkan anggotan badan dari bau yang tidak sedap, dan membuat badan menjadi segar bugar, maka mandi sebelum waktu berangkat adalah yang paling baik. Berbeda jika mandinya setelah pertengahan malam maka kemungkinan bau badan akan kembali lagi, begitu juga kebugaran badan.
يُسَنُّ الْغُسْلُ لِلْعِيدَيْنِ، وَيَجُوزُ بَعْدَ الْفَجْرِ قَطْعًا، وَكَذَا قَبْلَهُ، ويختص بالنصف الثاني من الليل
Disunnahkan mandi untuk shalat Id, untuk waktunya boleh setelah masuk waktu subuh atau sebelum subuh, atau pertengahan malam.
Kesunahan mandi adalah untuk semua kaum muslimin, laki-laki maupun perempuan, baik yang akan akan berangkat melaksanakan shalat Id maupun bagi perempuan yang sedang udzur syar’I sehingga tidak bisa melaksanakan shalat Id.
Ketiga, disunahkan memakai wangi-wangian, memotong rambut, memotong kuku, menghilangkan bau-bau yang tidak enak, untuk memperoleh keutamaan hari raya tersebut. Pada hakikatnya hal-hal tersebut boleh dilakukan kapan saja, ketika dalam kondisi yang memungkinkan, dan tidak harus menunggu datangnya hari raya, misalnya saja seminggu sekali saat hendak melaksanakan shalat jum’at. Dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab terdapat keterangan mengenai amalan sunnah ini,
والسنة أن يتنظف بحلق الشعر وتقليم الظفر وقطع الرائحة لانه يوم عيد فسن فيه ما ذكرناه كيوم الجمعة والسنة أن يتطيب
Disunnahkan pada hari raya Id membersihkan anggota badan dengn memotong rambut, memotong kuku, menghilangkan bau badan yang tidak enak, karena amalan tersebut sebagaimana dilaksanakan pada hari jum’at, dan disunnahkan juga memakai wangi-wangian.
Keempat, memakai pakaian yang paling baik lagi bersih dan suci jika memilikinya, jika tidak memilikinya maka cukup memakai pakaian yang bersih dan suci, akan tetapi sebagian ulama’ mengatakan bahwa yang paling utama adalah memakai pakaian yang putih dan memakai serban.
Berkaitan dengan memakai pakaian putih, ini diperuntukkan bagi kaum laki-laki yang hendak mengikuti jama’ah shalat Id maupun yang tidak mengikutinya, semisal satpam atau seseorang yang bertugas menjaga keamanan lingkungan, anjurannya ini tidak terkhususkan bagi yang hendak berangkat shalat saja, melainkan kepada semuanya.
Sedangkan untuk kaum perempuan, maka cukuplah memakai pakaian yang sederhana atau pakaian yang biasa ia pakai sehari-hari, karena berdandan dan berpakaian secara berlebihan hukumnya makruh, begitu juga menggunakan wangi-wangian secara berlebihan. Dalam Kitab Raudlatut Thalibin dijelaskan,
وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَلْبَسَ أَحْسَنَ مَا يَجِدُهُ مِنَ الثِّيَابِ، وَأَفْضَلُهَا الْبِيضُ، وَيَتَعَمَّمُ. فَإِنْ لَمْ يَجِدْ إِلَّا ثَوْبًا، اسْتُحِبَّ أَنْ يَغْسِلَهُ لِلْجُمُعَةِ وَالْعِيدِ، وَيَسْتَوِي فِي اسْتِحْبَابِ جَمِيعِ مَا ذَكَرْنَاهُ، الْقَاعِدُ فِي بَيْتِهِ، وَالْخَارِجُ إِلَى الصَّلَاةِ، هَذَا حُكْمُ الرِّجَالِ. وَأَمَّا النِّسَاءُ، فَيُكْرَهُ لِذَوَاتِ الْجَمَالِ وَالْهَيْئَةِ الْحُضُورُ، وَيُسْتَحَبُّ لِلْعَجَائِزِ، وَيَتَنَظَّفْنَ بِالْمَاءِ، وَلَا يَتَطَيَّبْنَ، وَلَا يَلْبَسْنَ مَا يُشْهِرُهُنَّ مِنَ الثِّيَابِ، بَلْ يَخْرُجْنَ فِي بِذْلَتِهِنَّ.
Disunnahkan memakai pakaian yang paling baik, dan yang lebih utama adalah pakaian warna putih dan juga memakai serban. Jika hanya memiliki satu pakaian saja, maka tidaklah mengapa ia memakainya. Ketentuan ini berlaku bagi kaum laki-laki yang hendak berangkat shalat Id maupun yang tidak. Sedangkan untuk kaum perempuan cukupla ia memakai pakaian biasa sebagaimana pakaian sehari-hari, dan janganlah ia berlebih-lebihan dalam berpakaian serta memakai wangi-wangian.
Sabda Nabi SAW berikut memberi penjelasan tentang memakai pakaian yang paling baik, riwayat dari Sahabat Ibnu Abbas RA,
كَانَ يلبس في العيد برد حبرة
Rasulullah SAW di hari raya Id memakai Burda Hibarah (pakaian yang indah berasal dari yaman).
Kelima, ketika berjalan menuju ke masjid ataupun tempat shalat Id hendaklah ia berjalan kaki karena hal itu lebih utama, sedangkan untuk para orang yang telah berumur dan orang yang tidak mampu berjalan, maka boleh saja ia berangkat dengan menggunakan kendaraan. Dikarenakan dengan berjalan kaki ia bisa bertegur sapa mengucapkan salam dan juga bisa bermushafahah (Bersalam-salaman) sesama kaum muslimin. Sebagaimana sabda Nabi SAW riwayat dari Ibnu Umar,
كَانَ يَخْرُجُ إلَى الْعِيدِ مَاشِيًا وَيَرْجِعُ مَاشِيًا
Rasulullah SAW berangkat untuk melaksanakan shalat Id dengan berjalan kaki, begitupun ketika pulang tempat shalat Id.
Selain itu dianjurkan juga berangkat lebih awal supaya mendapatkan shaf atau barisan depan, sembari menunggu shalat Id dilaksanakan ia bisa bertakbir secara bersama-sama di masjid dengan para jama’ah yang telah hadir. Imam Nawawi dalam Kitabnya Raudlatut Thalibin menerangkan anjuran tersebut,
السُّنَّةُ لِقَاصِدِ الْعِيدِ الْمَشْيُ. فَإِنْ ضَعُفَ لِكِبَرٍ، أَوْ مَرَضٍ، فَلَهُ الرُّكُوبُ، وَيُسْتَحَبُّ لِلْقَوْمِ أَنْ يُبَكِّرُوا إِلَى صَلَاةِ الْعِيدِ إِذَا صَلَّوُا الصُّبْحَ، لِيَأْخُذُوا مَجَالِسَهُمْ وَيَنْتَظِرُوا الصَّلَاة
Bagi yang hendak melaksanakan shalat Id disunahkan berangkat dengan berjalan kaki, sedangkan untuk orang yang telah lanjut usia atau tidak mampu berjalan maka boleh ia menggunakan kendaraan. Disunnahkan juga berangkat lebih awal untuk shalat Id setelah selesai mengerjakan shalat subuh, untuk mendapatkan shaf atau barisan depan sembari menunggu dilaksanakannya shalat.
Keenam, untuk Hari Raya Idul Adha disunnahkan makan setelah selesai melaksanakan shalat Id, berbeda dengan Hari Raya Idul Fitri disunahkan makan sebelum melaksanakan shalat Id. Pada masa Nabi SAW makanan tersebut berupa kurma yang jumlahnya ganjil, entah itu satu biji, tiga biji ataupun lima biji, karena makanan pokok orang arab adalah kurma. Jika di Indonesia makanan pokok adalah nasi, akan tetapi jika memiliki kurma maka hal itu lebih utama, jika tidak mendapatinya maka cukuplah dengan makan nasi atau sesuai dengan makanan pokok daerah tertentu.
 عن بريدة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يخرج يوم الفطر حتى يطعم ويوم النحر لا يأكل حتي يرجع
Diriwayatkan dari Sahabat Buraidah RA, bahwa Nabi SAW tidak keluar pada hari raya Idul Fitri sampai beliau makan, dan pada hari raya Idul Adha sehingga beliau kembali kerumah.
Diriwayatkan juga dari Sahabat Anas RA,  
أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا يَخْرُجُ يوم الفطر حتى يأكل تمرات ويأكلهن وترا
Rasulullah SAW tidak keluar pada hari raya Idul Fitri sampai beliau makan beberapa kurma yang jumlahnya ganjil.
Dengan demikian, anjuran makan pada hari raya Idul Adha adalah setelah selesai melaksanakan shalat Id, alanglah lebih baik jika ia makan kurma sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, akan tetapi jika tidak mendapati kurma, bolehnya ia makan dengan yang lain, misalnya nasi bagi rakyat Indonesia, disesuaikan dengan makanan pokok daerah tertentu.

Selasa, 08 Oktober 2013

KATA-KATA MUTIARA GUS MUS

1. Kebenaran kita berkemungkinan salah, kesalahan orang lain berkemungkinan benar. Hanya kebenaran Tuhan yang benar-benar benar.

2. Jangan banyak mencari banyak, carilah berkah. Banyak bisa didapat dengan hanya meminta. Tapi memberi akan mendatangkan berkah.

3. Tidak ada alasan untuk tak bersedekah kepada sesama. Karena sedekah tidak harus berupa harta. Bisa berupa ilmu, tenaga, bahkan senyum.

4. Apa yang kita makan, habis. Apa yang kita simpan, belum tentu kita nikmat. Apa yang kita infakkan justru menjadi rizki yang paling kita perlukan kelak.

5. Abadikan kebaikanmu dengan melupakannya.

6. Tawakkal mengiringi upaya. Doa menyertai usaha.

7. “Berkata baik atau diam” adalah pesan Nabi yang sederhana tapi sungguh penting dan berguna untuk diamalkan dan disosialisasikan.

8. Janganlah setan terang-terangan engkau laknati dan diam-diam engkau ikuti.

9. Mau mencari aib orang? Mulailah dari dirimu!

10. Hati yang bersih dan pikiran yang jernih adalah sesuatu anugerah yang sungguh istimewa. Berbahagialah mereka yang mendapatkannya.

11. Meski sudah tahu bahwa memakai kaca mata hitam pekat membuat dunia terlihat gelap, tetap saja banyak yang tak mau melepaskannya.

12. Awalilah usahamu dengan menyebut nama Tuhanmu dan sempurnakanlah dengan berdoa kepadaNya.

13. Wajah terindahmu ialah saat engkau tersenyum. Dan senyum terindahmu ialah yang terpantul dari hatimu yang damai dan tulus.

14. Ada pertanyaan yang ‘tidak bertanya’; maka ada jawaban yang ‘tidak menjawab’. Begitu.

15. Sambutlah pagi dengan menyalami mentari, menyapa burung-burung, menyenyumi bunga-bunga, atau mendoakan kekasih. Jangan awali harimu dengan melaknati langit!

16. Kalau Anda boleh meyakini pendapatmu, mengapa orang lain tidak boleh?


(Dikutip dari: Mencari Bening Air Mata Renungan A Mustofa Bisri karya Gus Mus dan di twitter beliau serta di website beliau www.gusmus.net).

Senin, 07 Oktober 2013

Sidang Itsbat: 1 Dzulhijjah Ahad, Idul Adha 15 Oktober 2013

Pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) menetapkan 1 Dzulijjah 1434 H jatuh pada Ahad, 6 Oktober 2013. Penetapan ini sekaligus menegaskan bahwa hari raya Idul Adha (10 Dzulhijjah) dilaksanakan 15 Oktober 2013.
Keputusan tersebut disepakati dalam Sidang Itsbat Awal Dzulhijjah 1434 H yang diselenggarakan Kemenag di Jakarta, Sabtu (5/10) setelah menerima laporan dari beberapa titik pemantauan hilal (rukyatul hilal) di Indonesia.

Sidang Itsbat dipimpin Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kemenag Abdul Djamil. Dia menuturkan, penetapan awal bulan haji ini didasarkan hisab yang menyatakan ketinggian hilal lebih dari dua derajat, sudut elongasi lebih dari tiga derajat, dan umur bulan lebih dari delapan jam, serta laporan tim rukyat yang berhasil melihat hilal.

“Maka diputuskan awal Dzulhijah jatuh pada Ahad, 6 Oktober 2013 dan Hari Raya Idul Adha jatuh pada Selasa, 15 Oktober 2013," katanya.

Sebelumnya, sebagaimana dilansir situs resmi Bimas Islam Kemenag, Kasubdit Pembinaan Syariah dan Hisab Rukyat Kemenag Dr H Ahmad Izzuddin menjelaskan, Tim Hisab Rukyat Kemenag berkesimpulan bahwa ijtimak menjelang awal Zulhijjah 1434 H M terjadi Sabtu ini, bertepatan pada 29 Zulqa’dah 1434 H sekitar pukul 07.35 WIB.

Saat matahari terbenam pada tanggal tersebut, papar Izzuddin, posisi hilal antara 02° 48' 52.33” (dua derajat empat puluh delapan menit enam detik) sampai 04° 44' 00.00 (empat derajat empat puluh empat menit).

Tim Hisab Kemenag juga menilai, penetapan ini sudah memenuhi syarat dengan kriteria penetapan awal bulan hijriyah tentang posibilitas keterlihatan bulan sabit (imkanur rukyat) dua derajat.

Selasa, 01 Oktober 2013

Kenapa Orang Gila Selalu Sehat?

Pernahkah anda berpikir, mengapa orang gila selalu sehat? Apa rahasianya? Beberapa kali kita berusaha memikirkan mengapa orang gila tidak pernah sakit? Tidak pernah kita melihat sekali pun ada orang gila kerokan di pinggir jalan, meminum obat, memakai koyok, atau bahkan sakit gigi sekalipun. Jawabannya adalah KARENA MEREKA TIDAK PERNAH STRESS !!!


Orang gila tidak pernah sakit karena mereka tidak pernah stress. Mereka tidak pernah berpikir macam-macam. Makanan apa pun mereka makan. Tidak seperti kita. Sudah ada ayam goreng, masih mencari sate kambing. Sudah ada soto kerbau, masih mencari pizza, hotdog, dan lain sebagainya. Sedangkan orang gila tidak pernah minta makanan macam-macam. Makanan apapun asal namanya makanan tetap mereka makan. Bahkan nasi basi pun mereka makan.

Kedua, orang gila itu selalu qona'ah. Mereka itu triman. Menerima apa pun pemberian Allah kepadanya. Tidak pernah menuntut macam-macam. Tidak seperti kita. Sudah diberi sepeda, masih minta motor. Sudah punya motor, masih minta mobil. Rumah sudah bagus, masih saja selalu merasa ada yang kurang. Akhirnya beli ini beli itu, renovasi ini renovasi itu. Ujungnya hutang sana sini untuk kebutuhan tersebut. Nah, ketika hutangnya sudah menggunung, jatuh sakitlah dia.

Orang gila itu entah punya pakaian ataupun tidak, mereka santai saja. Kalau mengantuk, ya tidur saja. Mereka tidak butuh tikar, apalagi kasur atau springbed. Ada lho diantara kita yang tidak bisa tidur di atas tikar. Gara-garanya karena sudah terbiasa tidur di springbed. Tidur tanpa AC juga tidak bisa.

Orang gila jarang sakit juga adalah karena mereka selalu berbahagia. Nyatanya mereka tampak selalu tersenyum. Betul kan? Orang yang selalu tersenyum pasti hatinya bahagia dan tenteram. Everething is running well, bahasa kerennya. Semuanya berlalu dengan baik-baik saja. Tidak pernah ada masalah. Kalaupun ada masalah, dia menganggap itu sebagai hiburan yang menyenangkan. Makanya dia senantiasa tersenyum.



Nah, kalau anda semua ingin selalu sehat jadilah "orang gila". Maksudnya, hiduplah dengan qona'ah, narimo, tidak usah punya keinginan macam-macam dan selalulah tersenyum. Mudah-mudahan anda sehat selalu walaupun selalu dan terus tersenyum.

--